Raden#1

3.3K 184 5
                                    

"Apa salahnya, Minah?"

Semua orang nampak tegang menyaksikan keturunan biru itu berbicara menggebu. Dari wajahnya yang merah, dapat disimpulkan seberapa besar amarah yang merasuki wanita penyabar yang sangat diidolakan itu.

"Aku bertanya apa salahnya, Minah?! Siti?! Atau kamu Tonah?!" Nafasnya memburu memenuhi ruangan tua yang selalu mereka gunakan untuk belajar.

Hatinya begitu sakit. Nyeri luar biasa.

"Aku tanya pada kalian sekali lagi, apa salahnya?" Nada suara yang semula tinggi kini melunak diiringi embun yang menumpuk di pojok mata bening itu.

Salah seorang wanita dengan pakaian kumal khas rakyat jelata beringsut dari duduknya, " Ndoro? Kami—kami tidak ingin menyulitkan Ndoro . Kami masih ingat bagaimana Kanjeng Tumenggung menghukum Ndoro  kemarin lalu"

Ratri tersenyum sinis, "Dengarkan aku, Tini. Hal demikian biarkan aku menanggungnya! Tugas kalian hanya belajar! Tunjukkan bahwa kalian berhak! Bukan hanya kaum bangsawan yang bahkan tak mengenal harkat manusia," ia memandang murid-muridnya yang menunduk dalam penuh kesedihan.

Bahunya bergetar. Sanggul indah yang dikenakannya turut berguncang, "Tolong, jangan begini"

"Ndoro?" Setiap pasang mata menguraikan cairannya sesenggukan. Mereka tak dapat menghalau perasaan sedih melihat tuan sekaligus gurunya menangis sedemikian pilu.

Tak ada seorang pun yang menyamainya! Putri keraton yang amat cantik! Luar dan dalam! Kaum bangsawan satu-satunya yang menganggap keberadaan rakyat jelata seperti mereka nyata adanya. Sang Malaikat berwujud manusia! Raden Ajeng Kusuma Ratri Kartika Sasmi! Putri bungsu Prabu Maharaja Sostroadji Hardijayakusuma Jaya Danandiningrat, penguasa tanah Rindu Siwi yang disegani.

"Saka ndi kowe?"

(Dari mana kamu?)

Ratri memandang sumber suara, "Kula saking griyane Mbak Raras, Rama."

(Saya dari rumahnya Kak Raras, Bapak.)

Lagi. Kebohongan lagi!

Ia berlalu dengan kepala tertunduk. Ayahnya adalah raja yang disegani negara lain. Di tangannya lah bumi Rindu Siwi mencapai jaya. Hampir semua sektor di kerajaan maju berkembang kecuali dua hal, kebodohan dan kemanusiaan. Siapa yang peduli pada hal kecil semacam itu? Asalkan negara mencapai cita dan kehormatan, hal-hal sepele seperti begitu tak akan terlihat barang secuil.

Berbeda sekali dengan cara pandang Ratri yang mati-matian memperjuangkan rakyat! Seluruh tenaga dan pikiran ia sumbang, hukuman dan cemooh pun tak terelakkan. Terutama dari ayahnya sendiri. Oleh karenanya acap kali ia menyembunyikan misi yang diemban setelah lulus pendidikan terdahulu.

"Diajeng?" Ketukan pintu membuyarkan lamunan di tengah temaram kamarnya. Hari ini benar-benar melelahkan untuk dirinya, "Nggih, Biyung Emban."

(Iya, Ibu Pengasuh/ Bibi)

Wanita setengah baya membawa nampan berisi makanan,

"Perlu Simbok pijat? Pasti lelah to, mulang seharian?"

(Ibu, mengajar)

Gadis itu menggeleng. Wanita ini, pengasuhnya dari semasa lahir. Sama seperti kakak-kakaknya yang lain, Raden Danu Adijaya Wirahadikusuma dan Raden Pandji Raka Wirahadikusuma, yang kini menjadi kepala wilayah di daerah waris masing-masing. Wanita ini sangat memahaminya, beliau memerankan peran ibu yang hilang karena ibu kandungnya, Gusti Ratu Sabdini Jaya Danandiningrat mengambil bagiannya sebagai ratu yang amat disegani.

"Diajeng, Raden Sanu baru saja mampir sebelum diajeng pulang,"

Bibirnya berkedut tipis, "Apa yang disampaikan, Mbok? Apa dia membawa putri kerajaan lain?"

RadenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang