Lyn menangkap siluet gelap di gang sempit menuju rumah Lewis, sepertinya ia mengenal sosok pria itu. Jaket yang dikenakannya dan caranya berdiri tegak, ia sangat paham bahunya yang kokoh meskipun sosok itu jauh darinya. Berdiri diantara gelap dan terang.
Lyn senang, itu pasti Lewis. Senyumnya langsung terbit meskipun di malam yang gelap. Sebab orang yang di tujunya sudah kelihatan.
Dengan langkah yang sedikit dipercepat sosok itu mulai jelas. Tapi siapa dia? Sepertinya ia sedang bertengkar hebat dengan seorang wanita. Lyn ragu, haruskah ia cepat sampai di sana?
Sedetik kemudian wanita di hadapan Lewis menghilang, ia sudah pergi. Lyn memelankan langkahnya, kalau-kalau wanita itu kembali lagi.
Sesaat kemudian Lewis melihatnya, lalu melambaikan tangan untuknya seolah tak terjadi apapun.
"Siapa dia?" Lyn bertanya kepada Lewis, sambil memberikan mini cake muffin dengan toping keju dan kismis kesukaan Lewis. "Kalian seperti bertengkar tadi," katanya lagi.
"Ah, bukan siapa-siapa. Hanya teman saja, kami juga tidak bertengkar. Apakah ini muffin dari toko Silvia? Aromanya tak ada yang menyamai," puji Lewis atas muffin yang Lyn bawa. Tentu saja itu hanya pelarian dari pertanyaan Lyn. Lyn mencoba tenang.
"Lewis, aku mengenalmu. Aku bisa tahu kau berbohong atau tidak, tapi baiklah, aku tak akan bertanya lagi sebelum kau ingin kau bercerita," katanya kemudian.
Lyn sedikit menyesal, sebenarnya ia sungguh ingin tahu dengan siapa Lewis berbicara, lebih tepatnya pembicaraan apa yang mereka bicarakan sehingga Lyn bisa melihat gestur tubuh orang yang sedang berdebat hanya dari gerakan-gerakan mereka.
"Hmm, jangan begitu Lyn. Sungguh tak ada yang perlu dibahas, ayo kita masuk ke dalam. Aku sudah menyelesaikan data yang kau minta tadi."
Lyn tersenyum, ia tak menyangka Lewis sangat pandai dalam menyelesaikan pekerjaan yang ia lakukan. Wajar saja, dia adalah lulusan terbaik di Harvard university. Meskipun jabatan Lewis tak setinggi dirinya di kantor yang sama tempat mereka bekerja, kemampuan Lewis cukup membuatnya diacungi jempol.
Lyn melihat Lewis mengunyah muffin itu dengan malas hanya dari sudut matanya. Seakan sesuatu yang berat melandanya. Lyn diam, ia membiarkan Lewis sibuk dengan pikirannya. Tiba-tiba Lewis menatapnya tajam.
"Lyn," katanya pelan. "Ayo kita menikah sekarang," kata Lewis dengan mimik wajah yang sulit diartikan.Haruskah Lyn senang? Permintaan Lewis yang tiba-tiba, membuatnya tak bisa berpikir. Bahkan mereka baru mengenal tiga bulan.
Lyn menelan salivanya, lalu teringat ucapan papanya saat terakhir kali menelpon.
"Lyn, papa sudah tua. Kamu juga sudah berumur, carilah suami yang bisa membahagiakanmu. Papa akan datang ke New York jika kau telah ada pilihan.""Papa, apa Papa sudah bosan merawatku? Setelah papa menikah, papa sangat jarang menelpon, sekarang papa menelpon untuk mendesak aku menikah?"
"Lyn, kamu tahu Violet tak bisa melahirkan anak untukku lagi, jadi cuma kamu harapanku," rayu papanya.
"Poligami saja, Pa." celetuk Lyn. Ia tahu papanya tak akan mau.
"Jangan banyak alasan Lyn. Papa tunggu dalam satu bulan ini."
Lyn mencerna ingatannya, mengaitkan dengan kejadian di hadapannya. Mungkinkah itu takdir?
"Lyn, apakah kau mendengarku?"
"Ah, Lewis. Bukannya itu terlalu terburu-buru?"
"Kenapa? Apakah kau tak percaya kepadaku untuk mendampingi hidupmu?"
"Bagaimana denganmu? Apa kau siap untuk menjalani hidup bersamaku? Kau bahkan belum mengenal keluargaku. Aku tak seperti keluargamu yang hidup dalam keteraturan sebuah rumah tangga yang harmonis. Keluargaku cukup berantakan," kata Lyn menjelaskan.