Lyn keluar dari kamarnya, ia menghampiri Clara dan juga Lewis.
"Hai Clara, apa kabarmu?" Lyn merengkuh lengan kekar Lewis dan menyapa Clara dengan manis."Hm, baik. Pukul berapa kalian akan berangkat?"
"Oh, masalah kapan kami berangkat itu belum kami pikirkan, karena kami belum sempat berbincang selain menikmati malam pertama. Bagaimana Lewis, apa kita akan membicarakan sekarang?" Lyn mengeratkan dekapannya sehingga menjadikan perhatian bagi Lewis.
"Tentu, kita akan bicarakan sebentar lagi." Lewis menguasai diri untuk tidak gugup.
Lyn bisa melihat kalau Clara tidak suka melihat Lyn tersenyum sangat manja di hadapan Lewis.
"Aku akan pergi dulu. Sampai jumpa," katanya cepat dan berlalu.
Lyn melihatnya sangat kesal. Itu jelas kecemburuan, tapi kenapa Lewis menyangkal?
"Lewis, kita akan bersiap sekarang bukan?"
"Tentu, mari kita bersiap."
Di kamar, mereka sibuk menyiapkan perbekalan yang harus dibawa. Dua koper besar telah siap menemani perjalanan mereka.
"Aku membutuhkan beberapa buku panduan wisata, apakah kau memilikinya?" Lyn bertanya kepada Lewis.
"Ya, tapi ada di kamar atas. Sebentar aku mengambilnya," Lewis hendak keluar dan menatap Lyn saat Lyn hendak mengekor di belakangnya.
"Boleh 'kan aku ikut ke kamarmu? Aku istrimu sekarang, aku ingin berada di kamarmu," Lyn menegaskan.
"Tentu," katanya kemudian.
Meskipun sebenarnya Lyn sedikit memaksakan diri, Lyn harus banyak tahu tentang Lewis yang baru dikenalnya selama tiga bulan itu.
Dia mengikuti Lewis, ingin memasuki jati diri Lewis yang sebenarnya, Lyn sungguh tak yakin kalau kamar itu tak ada kaitannya dengan Clara.
Lyn dikejutkan saat pertama kalinya membuka pintu kamar, karena yang dilihatnya pertama kali adalah potret Lewis bersama Clara.
"Kalian sangat serasi," Lyn mengatakan sesuatu yang sebenarnya sangat melukai perasaannya sendiri.
"Itu hanya foto kenangan sebelum Clara dikirim ke Amsterdam. Maaf aku belum memindahkan, karena pernikahan kita mendadak, sehingga belum sempat memberesi kamar ini," katanya menyesal.
"Aku tahu, mari kita bereskan setelah kita kembali dari bulan madu."
"Tidak Lyn, kakek berencana memberikan kamar ini untuk Clara, sebenarnya seluruh isi kamar ini kebanyakan Clara yang lebih memiliki."
"Tapi kau suamiku, aku tak mau melihat suamiku berfoto pasangan dengan wanita lain alih-alih untuk hiasan dinding ruangan mereka."
"Baiklah, nanti aku akan meminta Clara melepaskannya."
Lyn menyusuri setiap sudut ruangan yang tertata rapi. Sebenarnya Lyn merasa tak ada pakaian Clara di kamar tersebut, tapi ia masih menahan diri untuk tidak bertanya.
"Apa kakek ingin kalian menikah?" tanya Lyn dengan masih kembali memandangi foto Lewis dan Clara yang berpelukan, mereka tersenyum manis bersama.
"Itu dulu, sebelum kejadian aku berkencan dengan Laura."
"Jadi kalian batal menikah karena kau berselingkuh dengan Laura?" Lyn menarik kesimpulan.
"Kami, aku dan Clara dijodohkan, dan aku tak bisa menerima Clara, itu saja."
Lyn terkejut mendengar pengakuan Lewis. Karena Clara sebenarnya adalah wanita yang dijodohkan untuk Lewis.
"Tapi kalian berpacaran bukan?"
"Lyn, bisakah kau tak terlalu banyak berpikir tentang Clara. Hadapi keadaan kami dengan tenang. Aku mohon pengertianmu karena Clara menderita gangguan kecemasan, ia belum bisa sepenuhnya melupakan perjodohan itu."
Lyn terdiam, ia tak mau lebih pusing memikirkannya. Ia menunggu Lewis membongkar kotak penyimpanan buku dalam diam, hingga Lewis menyerahkan sebuah buku untuknya.
"Kau bisa melihatnya di kamar. Ayo kita pergi dari sini sebelum Clara datang," katanya kemudian.
*
Lewis memeluk Lyn lembut, ia sangat menyayangi Lyn dan memahami kalau Lyn tertekan karena kakek dan juga Clara. Lewis berencana menyewa apartemen sendiri yang jauh dari campur tangan kakeknya dan juga Clara. Tapi sepertinya ia tak berdaya.
"Aku tahu kau sangat tertekan karena masa laluku. Tapi aku belum bisa berbuat apapun untuk membahagiakanmu, tapi bisakah kau percaya padaku?"
"Aku Lyn Wilson, aku adalah istri dari Lewis Hooper, aku berjanji untuk mencintainya dalam suka dan duka, percaya dengan cintanya, percaya bahwa cinta akan melenyapkan masa lalu," ujar Lyn dengan membenamkan wajahnya di dalam dada bidang Lewis.
"Peganglah kata-katamu, Lyn. Aku tahu ini akan sulit."
"Ceritakan padaku, jangan menyisakan teka-teki yang membuatku bingung," kata Lyn kemudian.
"Baik, tapi kita akan terlambat kalau bercerita panjang lebar. Lima menit lagi taksi akan menjemput kita."
Lyn tersenyum. "Baiklah, biarkan aku mengganti pakaian. Kalau dipeluk terus begini, bagaimana bisa aku mengganti pakaianku?"
Lewis tertawa. Gadis imut dan menggemaskan membuat hatinya takluk dan menghangat, tapi senyumnya berubah hambar mengingat ancaman Clara kepadanya pagi tadi sebelum Lyn datang menghampirinya. Clara mengancam bunuh diri kalau Lewis menghindarinya.
Clara sungguh menakutkan. Ia bisa melakukan apapun untuk menyakiti. Lewis trauma dengan kejadian Laura dahulu yang hampir mati karena diracuni Clara.
Anehnya Clara mampu membuat dirinya menjadi tersangka. Itulah sebabnya, kakek Lewis merasa berutang dengan Clara karena membebaskan dirinya dari hukuman. Tak ada seorangpun yang percaya kepadanya saat itu bahkan Laura.
Laura meninggalkan dirinya karena kecewa, Laura percaya bahwa Lewis telah berusaha membunuhnya.
Clara, ia sangat takut gadis itu menyakiti Lyn, itulah sebabnya ia bersikap lembut kepada Clara dan menikahi Lyn secara tiba-tiba. Itu supaya Clara tidak bisa menyakiti Lyn.
"Lewis, taksi sudah datang. Ayo cepat." Lyn menyiapkan koper dengan bersemangat.
"Baik, ayo kita berbulan madu," ledek Lewis membuat Lyn bersemu merah pipinya.
Keluar Lewis tak menghiraukan keberangkatan mereka. Bagi mereka Lewis bukanlah apa-apa, melainkan parasit yang menempel di keluarga. Kasus Laura hampir membuat perusahaan tuan Hooper gulung tikar, dan lagi-lagi Clara menjadi malaikat bagi mereka.
Itulah sebabnya keluarga Lewis kecewa karena Lewis tak menerima Clara sebagai istri.
Di bandara, Lyn mengeluarkan semua tiket yang menjadi hadiah bagi bulan madu mereka.
"Lewis, hadiah ini memang mahal, tapi aku tak berniat memakainya. Bagaimana menurutmu?"
Lewis menautkan alisnya. "Kenapa? Itu cuma tiket, aku sudah bilang jangan hiraukan Clara. Apa ini ada pengaruh dengan cinta yang selama ini aku berikan?"
"Tapi ini sangat dari mantan kekasihmu, aku sedikit terluka."
"Please, kau tentu lebih dari rasional dalam berpikir. Aku tak mampu menghasilkan uang yang sebanyak itu, anggap saja aku mampu, tapi tak sebagus yang ada disini, sekarang kau membuangnya hanya karena cemburu?" protes Lewis.
"Jadi, haruskah aku percaya padamu bahwa kau sungguh tak ada kaitannya dengan hadiah ini? Kau tak mencintai gadis itu bukan?"
"Lyn, jangan bilang kalau kau merasa aku khianati, ayolah. Aku sudah katakan untuk kita hadapi ini bersama, bukan?"
Lyn menatap Lewis tajam. "Hm, baik. Mari kita pakai tiket ini."
Tadinya Lyn berencana merubah rute perjalanan dan menggunakan biaya dari uangnya sendiri secara keseluruhan. Akan tetapi tiket perjalanan akan menjadi sia-sia kalau tidak digunakan. Selain itu akan membuat Lewis terkejut dengan uang yang ia miliki saat ini, Lyn merasa belum saatnya.