Udara dingin menerobos masuk celah kamar Lin, ia terduduk di dekat jendela dengan memegang buku tentang perkembangan janin di dalam perut, sayangnya ia tertidur.
Suara-suara itu membawa Lyn dalam suasana mencekam, lalu kesunyian di sebuah ruangan gelap tak bercelah. Lyn melihat Lewis menggapai -gapai melangkah mendekatinya dengan lentera kecil yang nyaris padam.
"Lewis, kaukah itu?" lirih Lyn.
"Lyn, Lyn, Lyn...," hanya itu yang Lewis katakan, suara itu sangat samar.
"Tidak Lewis, jangan kesini."
Tiba-tiba sebuah lubang hitam menganga ada di hadapan mereka. Lyn bingung, khawatir kalau Lewis tak melihat lubang tersebut. Ia terpaku dengan kaki Lewis yang mulai terangkat sebelah, hendak melangkah.
"Tidak Lewis! Jangan lakukan itu Lewis!" Lyn menggelengkan kepalanya ketakutan.
"LEWIS!!"
Lyn tersentak hingga buku yang di pegangnya terlempar. Keringat dingin bercucuran membanjiri celah anak rambut di dahinya. Ia mengalami mimpi buruk.
Lyn melihat jam dinding yang menunjukkan pukul empat dinihari. Itu berarti di New York masih sekitar pukul tujuh malam atau lebih.
Ia merasa bergidik memikirkan Lewis yang terperosok ke dalam lubang hitam yang menganga.
"Kenapa aku bermimpi buruk, Lewis?" batinnya. Tiba-tiba sebuah tendangan kecil mengejutkannya yang berasal dari dalam perutnya.
"Tenanglah sayang, ayahmu pasti baik-baik saja. Ayahmu orang yang kuat, ia pasti menjalani hidupnya dengan baik. Jangan salahkan mommy, oke? Mommy hanya ingin ayah kalian tidak banyak mendapatkan tekanan. Ayah kalian pasti telah menikah dengan wanita kaya dan cantik," kata Lyn sambil mengelus perutnya.
Lyn tak bisa tidur. Ia mulai melancong dengan ponselnya mengunjungi banyak sekali situs di kota New York dimana mereka pernah menghabiskan waktu bersama. Ia ingin mengingat Lewis dengan baik. Lalu ia mengunjungi perusahan Malvin dimana Lewis bekerja, sayangnya tak ada satupun yang memberitakan tentang Lewis Hooper.
"Apa dia baik-baik saja sekarang?" bisiknya sambil meletakkan ponselnya.
*
Ibu Lewis tampak kesal saat melihat wajah Lewis seperti disengat puluhan lebah karena bengkak di sana sini.
"Sejak kapan kau melakukan yang begini lagi?" cecar ibunya sambil mengompres wajah Lewis dengan air es.
"Akhh, pelan dikit napa sih Ma. Ini cuma olah raga aja, kok."
"Olah raga katamu? Sebentar lagi kamu harus keluar memakai baju pengantinmu, bagaimana bisa wajahmu sampai hancur begini," ocehnya.u
"Ya Elah, Ma. Menikah kan atas maunya kalian, cobalah sedikit mengerti bagaimana yang aku mau."
"Emangnya kau mau apa? Menentang kakek? Itu tak ada untungnya buatmu. Lihat pernikahanmu dengan Lyn, hancur dan kuwalat karena kau tak menurut dan mengabaikan wasiat."
"Apa menurut Mama, pernikahanku dengan Clara akan baik-baik saja dan bahagia?"
Charlotte yang sedang menguping percakapan mereka menatap jengah ke arah sepupunya itu. Sudah jelas ia menganggap pernikahan itu cuma main-main saja tapi orang tuanya masih memaksakan putranya.
Pada akhirnya Clara berdiri dengan senyum puas saat tubuhnya berbalut gaun pengantin berwarna putih bersih. Sebuah Khabar mengatakan Lewis baru saja kembali dan bersiap memakai pakaiannya.
"Paman, aku bersyukur kita bisa menunaikan wasiat ayah ibu untuk menunaikan pernikahan ini," katanya sambil melihat pantulan mereka di dalam cermin.
"Tentu Clara, aku juga merasa tenang dan tidak seperti dikejar hutang janji. Kami berusaha untuk mewujudkan semua keinginan mendiang ayah dan ibumu," kata Richard.
"Apa paman senang, sekarang?"
"Tentu saja. Apa paman ingat dengan hotel Lewis itu? Itu adalah hotel yang benar-benar milik Lewis. Aku tak menyangka Lewis bisa mengembangkan bisnisnya sendiri tanpa bantuan kita. Dia memang pria yang sempurna dan rendah hati, bahkan semua itu menjadi rahasia di rumah ini," kata Clara.
"Apa maksudmu dengan hotel milik Lewis, Clara?"
Mereka tak menyadari bahwa kakek Lewis sedang berdiri di sana untuk melihat kesiapan Clara.
"Oh, Kakek. Itu memang benar, Kakek. Kami bahkan melihat sendiri. Itu sangat keren."
"Benarkah?" Kakek Lewis masih mengerutkan keningnya karena heran. Bagaimana mungkin Lewis memiliki uang sebanyak itu sampai bisa membeli hotel.
"Baik, sekarang sudah siap Kakek. Mari kita mulai. Masalah hotel itu bisa kakek tanya sendiri kepada Lewis."
Clara melangkah pasti keluar ruangan dengan wajah yang berbinar. Setidaknya tahap ini akan menjadi kemenangan besar untuknya. Ia berhasil memiliki Lewis.
Beberapa tamu melihat ke suatu arah yang membuat mereka berbisik dan tertawa alih-alih memperhatikan dirinya dengan penampilan sempurna. Clara jadi penasaran tentang apa yang membuat mereka memperhatikan sesuatu.
Di sana Lewis sedang berbincang dengan temannya. Seolah tidak ada yang aneh, akan tetapi betapa terkejutnya Clara melihat wajah Lewis yang mengerikan.
Kedua matanya bengkak, bibirnya pecah sehingga lebih mirip dengan bokong babi. Belum lagi salep berwarna putih menempel di sudut bibirnya. Tangannya berbalut perban.
"Apa kau sedang membuat lelucon, Lewis?" geram Clara dengan mata melotot dan berkilat.
Clara bagaikan ditimpa mimpi buruk.