Ayah Lyn bercerita tentang sebuah perusahaan besar di New York yang tidak bisa menyelesaikan pesanan dalam waktu yang ditentukan. Produk tersebut seharusnya bisa mereka selesaikan dengan mudah karena pemasok dari negara Asia juga sangat banyak. Sangat mudah bagi ayah Lyn untuk mengambil langkah sendiri, tapi ia memberikan peluang untuk perusahaan lain sebagai efisiensi.
"Kenapa mereka bersikap seperti itu?"
"Karena lalai, mereka punya sifat meremehkan."
Lyn melihat proyek tersebut. Itu adalah produk turunan kelapa yang disebut sebagai briket tempurung kelapa. Produk itu menjadi andalan masyarakat Eropa untuk berbagai kebutuhan sehari-hari dan industri.
"Apa ayah juga menjual sisha dan hookah?" Lyn merasa itu adalah yang terbaru.
Sisha adalah arang tempurung yang dicetak, dan juga hookah biasa dipakai untuk dupa di wilayah Timur Tengah."Benar, kami sedang mengembangkan proyek ini lebih luas, sayangnya pemasok kita mengingkari janji. Ini membuat produksi kita tersendat. Terlebih kita akan memasuki musim dingin, permintaan akan semakin melejit," sesalnya.
"Bolehkah aku tahu perusahaan apa itu, ayah?"
"Hmm, ini adalah Malvin Corporation, lebih dari dua puluh tahun bekerjasama, tapi dua tahun terakhir yang terburuk," terang ayah Lyn.
Lyn terkejut. Tentu saja itu perusahaan kakek Hooper dan Lewis sebagai penanggung jawab perusahaan itu. Terlebih lagi keluarga Clara aktif berperan sekaligus penopang saham perusahaan. Lyn mencermati berkasnya, dan itu memang perusahaan kakek Hooper.
'Apa yang terjadi pada Lewis?' batinnya, karena tak melihat nama Lewis di berkas tersebut. Ia mulai gundah. Bahkan seorang kepercayaannya di hotel Lewis mengatakan Lewis tak pernah datang ke hotel lagi sejak satu bulan terakhir.
Sementara itu Lewis menikmati hidupnya di Las Vegas, bertarung dan bertarung. Ia menikmati berbagai macam kejuaraan dan memenangkannya dengan baik dan tentu saja dengan beberapa kekalahan.
"Aku tak melihatmu bergaul dengan banyak wanita seperti yang lain," tanya Pedro, seorang berkulit hitam yang ia ketahui seorang muslim.
"Ah, itu hak pribadi masing-masing. Aku hanya merasa itu bukan jalanku," katanya.
"Namaku Pedro," Pedro mengulurkan tangannya.
"Aku Lewis."
"Kau sangat hebat, kau bertarung seperti singa. Tenang, tapi mematikan saat menerkam," pujinya.
"Terimakasih, setiap orang punya gaya sendiri. Bagiku mereka lebih hebat dariku," katanya lagi.
"Lihatlah, Tuan Lewis adalah pria baik dan rendah hati." Sekali lagi Pedro memuji Lewis. Tak lama kemudian seorang wanita menghampiri Pedro dan memeluknya.
"Jangan salah faham, ini adalah istriku tercinta satu-satunya. Dia tak pernah absen mendampingiku. Dan bagaimana denganmu, apa kau punya istri?"Lewis termangu, ia hampir lupa bahwa dia pernah memiliki istri, bahkan dua kali.
"Aku Sofia," Wanita itu mengulurkan tangannya, ia juga berkulit hitam seperti Pedro.
"Ah ya, aku Lewis."
"Dimana istrimu? Barangkali ada di sini, aku akan menyapanya," kata Sofia.
"Ah, tidak. Dia tidak bisa bersamaku karena mengalami cedera kaki setelah kecelakaan. Untuk beberapa alasan kami masih belum bisa bertemu," Lewis sedikit berbohong.
"Ouuh, maafkan kami. Kami turut sedih mendengarnya," mereka tersenyum menyesal bertanya tentang istri Lewis.
"Tak apa, aku sudah terbiasa sekarang."
Pedro dan istrinya pergi, Lewis melihat mereka sangat bahagia bersama. Ia mengingat Lyn, baginya Lyn masih istrinya, bukan Clara meski status itu ada padanya.
Seseorang menghubungi Lewis.
"Lewis, apa tidak sebaiknya kau segera pulang?"
"Ada apa Charlotte, kenapa kau menggangguku, akan ada pertandingan beberapa malam ini," katanya.
"Lewis, perusahaan kakek terancam bangkrut. Malvin terkena sangsi karena tidak bisa menepati pesanan, aku kasihan dengan kakek. Pulanglah, dan selesaikan masalah ini."
"Kenapa harus aku? Masih ada ayahku, ayahmu dan juga orang-orang kepercayaan kakek, tak perlu melibatkan aku."
"Tentu saja ini ada kaitannya denganmu, karena ini ada kaitannya dengan Clara. Mereka menarik investasi disaat sangat dibutuhkan, sehingga kita tidak bisa membeli pasokan bahan baku," terang Charlotte.
"Clara?"
"Ya, Clara. Clara sangat marah karena kau selalu meninggalkan dia. Ingat Lewis, perusahaan kakek bisa berdiri lagi dari sebab keluarga Clara."
Lewis mencengkeram ponsel tersebut, ia tak menyangka Clara nekat mengorbankan banyak sekali manusia di perusahaan hanya untuk kepentingan dirinya. Ia hanya ingin dianggap lebih berkuasa dan bisa melakukan apapun untuk menghancurkan keluarga Lewis.
Lewis segera keluar dari arena stadion, ia harus segera mengambil penerbangan tercepat menuju New York dari Las Vegas.
Ia tahu, Clara sengaja melakukannya untuk membuat dirinya pulang. Iapun segera memesan tiket online dan menuju bandara.
Dengan gelisah ia menunggu petunjuk di running text, tapi sebuah pesan singkat membuatnya terkejut.
--Tuan Lewis, informan kami mendapatkan foto ini, tapi kami belum yakin apakah ini nona Lyn Wilson. Ia sedang menjalani pengobatan akupunktur di Siwss--
Lewis melihat foto-foto yang dikirimkan. Hatinya bagaikan disiram air pegunungan yang sejuk.
"Jadi dia berada di Swiss?" gumamnya bahagia, melihat bagaimana Lyn dalam keadaan hidup. Harapannya mulai terbit seperti matahari di pagi hari.