Clara menyerahkan kartu debit pada kasir. Ia membeli beberapa kotak susu formula untuk putranya. Dan juga beberapa kebutuhan untuk mandi yang kini memenuhi keranjang belanjanya.
"Maaf, Nona. Kartu debit anda tidak mencukupi untuk membayar total belanja anda," kasir itu memberi informasi.
Setelah bercerai dengan Lewis, bisa dibilang keungannya sedikit kacau. Itupun masih bersyukur karena Lewis memberinya tunjangan meski ia tahu Alex bukan putranya. Itu sebagai kompensasi pengakuannya pada kejadian malam itu.
Clara mengambil satu kotak susu formula dan mengembalikan pada kasir. Namun tiba-tiba seseorang memintanya untuk tetap berada pada kasir.
"Biar aku yang membayar semuanya," kata pria itu.
"David?" Clara terkejut bukan main karena ternyata David datang dan membayar semua belanjaannya.
"Iya Clara, biarkan aku membayar semuanya."
Clara hanya diam tak bergeming. Ia tak menyangka akan bertemu dengan David di swalayan seperti ini. Berita tentang David keluar dari penjara sudah ia dapatkan enam bulan yang lalu, tapi Clara tak berniat menemui pria itu. Begitu juga David tak menemuinya.
Setelah pembayaran selesai David membantu Clara mengangkat kantong belanja ke mobil.
David menggendong Alex dengan gemas. Bocah ini juga terlihat senang dengan candaan David. Tapi Clara melihatnya dengan cemberut.
"Apa Mommy marah?" Ia berbicara dengan Alex, tapi menyindir Clara.
"Tidak."
"Kalau begitu, mari kita pergi bersama. Bagaimana kalau ke taman bermain? Aku ingin berbicara denganmu," ujarnya sambil masuk ke dalam mobil.
'Kiamat,' batin Clara.
Clara terpaksa menuruti, ia tahu bagaimana sifat David yang bisa bertindak arogan dan memerkosanya kapanpun dia mau, dia memang bajingan!
Beberapa kali mereka bertemu pandang dan Clara melengos. Adapun David hanya bisa menahan senyum.
"Ini bagus," gumam David dan mereka turun di area permainan anak.
Alex juga tampak menyukainya. Bocah itu melompat lompat kegirangan melihat banyak sekali permainan.
"Terimakasih karena telah merawat putraku dengan baik. Siapa namanya?"
"Alex," jawab Clara singkat.
"Hmm, cukup lama aku dipenjara. Kau tak berterima kasih kepadaku?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Kau juga memerkosa aku, aku juga korban. Anggap saja kita impas," pungkasnya.
"Itu sangat berbeda, Clara."
"Apanya yang beda?"
"Kau dapat keuntungan, dan aku tidak."
Clara memutar bola matanya jengah, sejak kapan diperkosa mendapatkan keuntungan?
"Tak masuk akal!" sungutnya.
"Mau es krim? Sepertinya es krim itu enak sekali kalau cuaca panas begini," David ingin mencairkan suasana, barang kali hati Clara meleleh seperti es krim.
Sebelum Clara menjawab, David sudah memesan dua cone es krim vanilla.
Clara terpaksa menerimanya. Mereka duduk di area mandi bola dimana Alex asik memungut bola di tepian kolamnya.
"Kapan kita menikah?" tiba-tiba David melontarkan pertanyaan tersebut.
"Apa? Menikah? Kenapa aku harus menikah denganmu? Bukankah aku bilang tadi kita sudah impas?"
"Ah, itu tidak adil. Bagaimana bisa kau dapat keuntungan sangat banyak? Sedangkan aku?" David merajuk.
"Cobalah pikirkan, aku meringkuk di penjara dua tahun lamanya, aku tak kenal wanita samasekali. Lalu aku tak bisa bekerja di manapun karena punya catatan kriminal, dan sekarang aku harus kehilangan anakku, ah, ini sangat tidak adil, Clara."Clara termenung. Sebenarnya, perjuangan David cukup keras untuk menyelamatkan dirinya dari kesulitan dan juga harga diri keluarganya. Clara sedikit goyah.
"Tidak! Aku belum memutuskan!" pekiknya.
David tertawa, melihat begitu tegangnya Clara. Ia sudah bersiap dengan apapun jawaban Clara. Tentu tak mudah bagi Clara menerima David menjadi pendamping hidupnya.
*
"Lewis, aku harus kembali ke Swiss dalam waktu dekat," kata Diellza memberitahukan Lewis.
"Kalian berbaikan?"
"Begitulah, dan lamaran pekerjaan yang ia ajukan sudah disetujui," ujarnya.
"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku berharap dia tak mengulangi lagi perbuatannya kepadamu. Dia pikir wanita itu bola yang bisa ditendang dan dipukuli?" geramnya.
Diellza hanya tersenyum lucu melihat ekspresi Lewis.
"Kuharap kau tak memancing kecemburuannya," ujarnya sambil tertawa."Hmm, apa dia belum tahu kau adalah mantanku?" selidik Lewis.
"Jangan berani-berani kau mengatakannya!" Diellza tentu saja melotot.
Ia bekerja di kantor Lewis sekarang, menjabat sekretaris kantor cabang. Akan tetapi sesekali ia mengunjungi Lewis di kantornya seperti hari ini.Lewis terkekeh, mengingat begitu pencemburu suami Diellza, sampai tak bisa mengendalikan dirinya.
"Baiklah, aku berharap ini yang terbaik untukmu," kata Lewis kemudian.Lewis melihat Diellza begitu bersemangat menemui Gerald. Terkadang ia merasa heran dengan cinta begitu aneh. Diellza bertahan dengan mencintai Gerald meskipun luka yang selalu Gerald berikan. Begitu juga dirinya yang masih bertahan mencintai Lyn meski itu sangat menyakitkan.
"Siapa sebenarnya pria itu? Aku sungguh berharap dia bukan suaminya. Aku berharap dia juga mantan sepertiku. Dan anak itu? Ah, kasihan juga kalau mereka berpisah sudah punya anak ya?" Lewis sungguh seperti orang gila saat berbicara sendiri. Berhalusinasi dengan apapun selama menyangkut Lyn.
Terkadang ia sadar bahwa dirinya terlalu hanyut. Lalu berpikir untuk mendatangi psikiater, namun dia ragu. Apakah aku sudah segila itu?