Bernard menggenggam tangan Charlotte yang berekspresi tak biasa. Sengaja ia membuat Charlotte bertanya-tanya, apakah ini serius untuk memeriksakan dirinya.
"Bernard, aku 'kan cuma bercanda, aku cuma bohongan kalau kena sindrom seperti itu," lirihnya dan Bernard berhenti mendadak membuat tubuh Charlotte menabrak tubuhnya.
"Benarkah? Aku takut itu menjadi serius, kau tahu kan aku seorang dokter, aku harus meneliti lebih lanjut tentang penyakit ini," ujarnya.
Charlotte mengibaskan tangannya. Bagaimana bisa Bernard tidak mengerti maksudnya? Ia sudah bilang kalau itu karena Dimitri.
"Aku cuma pura-pura supaya Dimitri tidak menggangguku," ujarnya."Jadi, pria tadi mengganggumu?"
Charlotte mengangguk.
"Kenapa? Dia ingin kembali menjalin hubungan denganmu?"
Lagi, Charlotte mengangguk.
"Bagus."
Bernard melangkah meninggalkan Charlotte. "Bagus? Apa maksudmu?"
"Sebentar, kita harus segera masuk ke dalam ruangan ini. Bersikaplah yang baik."
"Kenapa?"
"Kau akan tahu nanti," katanya kemudian.
Charlotte semakin kesal, tujuan datang ke rumah sakit sangat tidak jelas dan transparan. Bahkan terkesan ia sedang dipermainkan Bernard.
Bernard memutar handle pintu, diikuti Charlotte di belakangnya.
Di dalam sana duduk seorang pria tua dengan wajah yang tampan sedang sibuk dengan pekerjaannya. Charlotte memperhatikan sebentar dan matanya mengitari ruangan luas dan bersih itu. Sepertinya ini adalah ruangan paling bagus di rumah sakit ini. Ia melihat nama yang tertera di atas meja, direktur Dr. Gerrard.
'Hmm, pantas saja, ini ruangan direktur rupanya,' batin Charlotte.
"Ayah, apakah ada sesuatu?" tanya Bernard kepada pria itu.
"Hmm, duduklah," kata pria itu.
'Ayah, katanya? Astaga! Kenapa ia bahkan tak mengatakan sesuatu kepadaku?' batin Charlotte makin tak karuan.
"Ayah, kenalkan, ini adalah Charlotte," ujar Bernard kemudian memperkenalkan Charlotte kepada ayahnya.
Dengan ragu Charlotte mengulurkan tangannya untuk ayah Bernard.
"Charlotte," lirihnya."Duduklah, aku Gerrard, ayah Bernard."
Charlotte tersenyum canggung dan duduk di samping Bernard.
"Apa yang akan kau katakan, ayah?"
"Hmm, masalah temanmu Lyn Wilson. Dia memiliki teman bernama Clara yang akan melakukan pencangkokan ginjal karena penyakit lupusnya. Apakah kau mengetahui hal ini?"
Bernard menggelengkan kepalanya.
"Lalu, apa kaitannya denganku, ayah?"
"Aku membutuhkan orang yang profesional dalam hal ini, kuharap kau mau melakukannya sekali ini saja," pinta ayahnya.
"Ayah, ada banyak dokter di sini yang lebih profesional dariku, aku tak bisa melakukannya, ayah."
"Bernard, pekerjaan ini sedikit rumit dan dikhawatirkan ada komplikasi, setidaknya ada orang yang bisa kami andalkan untuk ini."
"Tapi ayah, ayah harus tahu bahwa Clara adalah penyebab Lyn celaka, untuk apa aku harus menolongnya? Seandainya rumah sakit ini telah dimintai untuk menolongnya, maka ini tak ada kaitannya denganku bukan?" ujar Bernard kesal.
"Kau adalah seorang dokter, Bernard. Ini masalah nyawa manusia, apa kau masih berpikir bahwa ini tak ada kaitannya denganmu setelah aku sebagai pimpinan dokter memintanya kepadamu?"
Bernard terdiam. Ia masih kesal jika harus menolong orang yang mencelakai Lyn.
"Aku tak menyukainya karena ada kaitannya dengan Lyn," lirihnya.
"Hmm, kau harus tahu bahwa Lyn yang meminta ini. Ia ingin pelayanan yang terbaik untuk Clara. Dan satu lagi, seandainya tidak ada yang cocok dalam pendonoran ginjal, ia bersedia untuk menyumbangkan satu ginjalnya untuk Clara," terangnya.
"Apa?!" pekik Bernard dan Charlotte bersamaan.
Bernard menggelengkan kepalanya. "Apa dia bodoh, Charlotte?" ujarnya kepada Charlotte.
Charlotte mengedikkan bahunya.
"Baiklah, kau bisa menemui Lyn dan katakan semua yang ingin kau tanyakan. Dan Charlotte, sebenarnya Bernard sempat bercerita sedikit tentangmu kemarin, jadi kapan kalian akan menikah?" tanya Gerard yang membuat Charlotte gugup.
Bernard meremas dagunya, ia menyesali ayahnya yang ikut campur urusannya. Ia segera berdiri dan mencekal tangan Charlotte.
"Ayo kita keluar, Charlotte," katanya dan memberikan tatapan tajam pada ayahnya.
Gerard hanya bisa tersenyum melihat tingkah putranya yang ketakutan kalau ditanya soal menikah. Setidaknya ia senang Bernard tampak ceria dan bersemangat.
Bernard mencari ruangan dimana Lyn berada bersama Lewis setelah ia menelponnya. Tampak Lewis sedang menggendong Alex di tangannya dan Lyn berada di sampingnya di sebuah sudut rumah sakit.
"Apa yang terjadi, kalian mengasuh Alex?"
"Hmm, David sedang melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk pendonoran ginjal. Jadi, kami yang akan mengasuh Alex."
Bernard masih sedikit infil dengan situasi yang tak bisa dipercaya. Clara sakit, toh harus merepotkan Lyn dan Lewis.
"Aku salut pada kalian," kata Bernard yang sedikit kesal.
Lyn yang melihat ekspresi Bernard segera faham apa yang dimaksudkan Bernard. Sahabatnya itu paling membenci Clara.
"Bernard, jangan memprovokasi, oke?"
Charlotte hanya bisa mendesah. Selain tak menyangka bahwa Clara sakit sangat parah, kenyataan Lyn menjadi orang yang paling bersemangat untuk membantunya tentu membuatnya juga kesal seperti Bernard.
"Apa kau malaikat?" kesal Charlotte.
"Charlotte, kau tahu bahwa aku orang yang sangat naif dan bodoh. Tapi aku tak bisa menyesali sesuatu yang harus kuingat seumur hidupku."
Lewis tak bisa berkata-kata. Ia hanya menepuk nepuk punggung Lyn dengan lembut. Dendam itu tak pernah berlaku untuk Lyn.