Setelah kepergian Charlotte dari ruangan, Bernard tak bisa menahan tawa. Ia mengahadap ke cermin dan memaki dirinya sendiri.
"Ngapain kamu? Kamu dokter cabul ya? Kamu membius aku ya? Kamu melecehkan aku?!" Bernard menirukan bagaimana Charlotte menghardiknya dengan mata membola.
Bernard kesal tetapi merasa lucu. Selama jadi dokter ia tak pernah ketemu pasien yang seaneh ini.
Saat asik menatap dan memikirkan Charlotte sebuah nada panggilan berdering. Mata Bernard langsung melihat ke asal suara yang berada di atas tempat tidur pasien.
Bernard menaikkan sudut bibirnya.
"Selain penidur, ternyata kamu adalah pelupa," ujarnya sambil melihat ponsel tersebut. Tertera nama Lewis di sana.Bernard ragu untuk menerima telepon tersebut karena takut ada kesalahan pahaman. Untuk itu ia biarkan dering itu menggelitik telinganya.
Bagaimana tidak, Charlotte memakai lagu Baby Shark untuk ringtone di ponselnya, bukankah itu sekelas taman kanak-kanak?Bernard memasukkan ponselnya ke dalam tas miliknya, ia melepaskan pakaian dokternya dan keluar dari klinik. Ia harus segera menemui Lyn di rumahnya.
Lyn senang karena Bernard bersedia membahas masalah ini di rumah sehingga ia tak perlu bersusah payah memakai tongkat bantu dan membawa kedua anaknya ke pusat keramaian.
"Bagaimana demamnya, apa sudah membaik?"
"Ya, aku memberikan irisan jeruk lemon dan sesendok madu yang dikukus, ternyata sangat ampuh untuk menurunkan panas."
"Ibu cerdas," puji Bernard.
Lyn melihat wajah Bernard yang tampak ceria. Beberapa kali ia menyunggingkan senyum karena mengingat sesuatu.
"Ada apa nih, sepertinya kau sedang bahagia. Aku menangkapnya senyum-senyum sendiri," kata Lyn sambil menyeduh teh hangat untuk Bernard.
"Uhm, dapet pasien aneh hari ini, jadi aku belum bisa melupakan bagaimana anehnya gadis itu."
"Gadis cantik ya?" ledek Lyn.
"Kalau masalah cantik sih, nggak ada yang akan menyangkal, tapi tingkahnya kebangetan," kekehnya.
Lalu Bernard menceritakan kronologis kejadian putri tidur di kliniknya sehingga Lyn ikut tertawa terpingkal-pingkal.
"Jadi kau dianggap dokter cabul?"
"Bisa kau bayangkan betapa emosinya aku sebenarnya, apalagi saat dia menuduh aku membiusnya. Astaga!"
Lyn melihat wajah Bernard yang memerah, karena rasa kesal dan malu.
"Baik, apa rencana awal kita untuk memulai proyek ini?" tanya Bernard.
"Kita akan membeli tempat tentunya. Aku ingin lokasi yang tenang dan aman dari gangguan. Setelah itu, kumpulkan orang-orang yang berpengalaman dalam menangani penyandang disabilitas," ujarnya.
Bernard terkejut karena ternyata Lyn memiliki anggaran yang cukup besar untuk mendanai kegiatan tersebut.
"Aku tak percaya dengan semua ini, Lyn."
"Percayalah, maka semua mungkin akan terjadi," cicitnya.
Sebuah lantunan lagu anak terdengar kembali. Lagu Baby Shark itu juga memancing kedua putri kembar Lyn untuk keluar dan berjoget.
Lyn dan Bernard saling melihat. Sehingga Bernard baru teringat ada ponsel seseorang berada di dalam tasnya sekarang.
"Aku tak tahu kalau kau penggemar lagu anak-anak," goda Lyn pada dokter muda itu.
"Sebenarnya, itu ponsel pasien aneh yang aku ceritakan tadi."
*
Charlotte masih teringat kejadian di klinik yang sangat membuatnya malu.
"Tak akan lagi aku memeriksakan diriku ke dokter sialan itu!" katanya sedikit marah pada dirinya sendiri.
Andaikan dokter tersebut tak mementingkan tamunya, tentu kejadian naas itu tak akan terjadi padanya. "Sangat memalukan!" pekiknya.
Tak lama kemudian Lewis mengetuk pintu kamar Charlotte.
Charlotte segera membuka pintu kamarnya dan membiarkan Lewis masuk. Pasti ada sesuatu yang penting yang akan Lewis ceritakan."Kau senggang, Lewis?"
"Nggak juga, tapi aku mendapatkan informasi yang luar biasa."
"Informasi apa?"
"Tentang Lyn. Lyn ada di New York."
"Lyn ada di New York? Tapi kenapa dia tak menghubungi aku ya? Atau mungkin dia menghubungi Julia?" tanya Charlotte penasaran.
"Tidak, Lyn tak menghubungi Julia. Itulah sebabnya aku merasa aneh. Hanya saja inilah yang aku dapatkan."
Lyn mendapatkan foto dari tangan Lewis yang sudah kusut.
"Kenapa foto ini sangat kusut?" Charlotte berdecih. Ia kesal karena gambar menjadi tidak enak dilihat lagi. "Bukankah ini Lyn? Dan siapa mereka?"
Charlotte melihat dengan seksama.
"Mungkinkah Lyn sudah menikah dan tinggal di New York?""Andai saja aku tahu," sesalnya.
Charlotte ikut prihatin dengan kondisi Lewis yang menyedihkan dan kecewa. Tapi apa yang harus dikatakan kalau kenyataan itu memang menyakitkan?
"Kita belum memastikan bukan?"
Lewis hanya menjawab dengan menghempaskan napas berat.
"Oh ya, aku berkali-kali menghubungimu, tetapi tak sekalipun kau angkat panggilanku," kesal Lewis.
Charlotte menautkan alisnya.
"Kapan kau menelponku? Aku tak mendengar apapun?" Lalu ia berjalan menuju tas yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Ia menumpahkan seluruh isinya dan ternyata benar, ponselnya tak berada di dalam tasnya lagi."Astaga! Aku telah meninggalkan ponsel itu di klinik dokter sialan itu?!" pekiknya tak percaya. Ia baru ingat, semenit sebelum tertidur ia memeriksa ponselnya untuk membaca pesan masuk, lalu rasa kantuk menyerangnya.
Lewis heran dengan perkataan Charlotte. "Dokter sialan?"
Charlotte mengangguk dan menangkup wajahnya.
"Ah, benar-benar sial nasibku," lirihnya kemudian.