Lyn menyiapkan hatinya, ia akan menemui Lewis apapun yang terjadi. Kalaulah Lewis telah menikah, tentu akan tak etis menemuinya di rumahnya, yang sudah pasti adalah rumah kakek Hooper.
Lyn berpikir akan datang ke Perusahaan Malvin dimana Lewis bekerja. Ia bisa meminta dukungan moril dengan akan diberdirikan yayasan penyandang cacat seperti dirinya.
Sebenarnya Lyn sudah bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat penyangga. Namun ia masih phobia kalau-kalau ia tersandung dan terkilir, itu akan lebih menyakitkan.
Kali ini ia akan pergi sendiri tanpa kedua putrinya karena ia akan ke kantor mentereng perusahaan tersebut.
Sesampainya di lobi perusahaan Lyn menemui salah seorang di sana.
"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" tanya seorang wanita cantik menyapanya.
"Saya ingin berjumpa dengan Tuan Lewis," kata Lyn kemudian.
"Apakah sudah ada janji temu, Nyonya?"
"Tidak. Ah, belum. Saya tidak punya janji dengannya," kata Lyn lagi.
"Lalu, adakah sesuatu yang akan disampaikan? Barangkali saya akan menyampaikannya?"
Lyn menatap gadis itu sedikit kesal, meskipun ia bisa mengerti bagaimana dia bersikap mengatasi garis depan perusahaan ini. Karena sebenarnya ini terlalu bertele-tele bagi Lyn.
"Baik, aku akan mengajukan sebuah proposal pendirian yayasan disabilitas, bisakah aku bertemu langsung?"
"Uhmm, begini Nyonya, masalahnya sangat banyak yang datang menawarkan proposal seperti ini, akan tetapi tentu saja kami tidak bisa melayani semua, mohon untuk dimengerti," ujarnya dengan lembut dan sopan.
"Benarkah? Darimana anda tahu bahwa pimpinan anda orang yang akan menolak proposal ini? Apakah anda yang memberikan keputusan?" kesal Lyn. Ia tahu ini tak perlu, tapi Lyn memang sedang ingin cari gara-gara.
Seorang satpam tiba-tiba juga datang menengahi.
"Nyonya, sebaiknya anda meninggalkan saja proposal itu pada kami, dan juga tinggalkan nomor telepon anda disini."
"Kenapa? Lalu kalian akan membuangnya di mesin penghancur kertas? Iya 'kan? Kalian tidak tahu, bagaimana pentingnya proposal ini untuk kelangsungan hidup orang-orang seperti kami!" Lyn mulai terbawa emosi.
"Baik, sekarang telpon pimpinan kalian. Sekarang juga!"
"Kenapa Anda memaksa kami Nyonya?"
Lyn mengeluarkan uang senilai dua ratus dolar. "Ini adalah milik kalian jika tuan kalian tidak mau menerimaku. Tapi, kalau ternyata dia menerimaku, maaf, uang ini adalah milik orang yang membutuhkan," kata Lyn mantap.
Gadis lobi dan juga satpam saling berpandangan, sehingga satpam tersebut menelpon Lewis.
"Halo Tuan Lewis, ada seseorang yang akan menemui anda untuk proposal pendirian yayasan."
"Apa? Apakah seorang peminta-minta?"
"Saya tidak yakin Tuan Lewis, tapi dia sangat memaksa."
Lyn mengambil kesempatan itu untuk meminta ponselnya.
"Maaf, biarkan aku yang berbicara dengannya," kata Lyn.Satpam tersebut tak bisa mengelak dan memberikan ponsel tersebut.
"Selamat siang, Tuan Lewis. Kami dari yayasan penyandang cacat, ingin bertemu dengan Anda, bisakah saya menemui Anda Tuan, Lewis?"Lewis seperti terhipnotis. Ia mengingat suara itu, tapi ia masih kurang yakin dengan pendengarannya.
"Maaf, yayasan yang anda maksud adalah yayasan...," ia gugup.
"Yayasan penyandang cacat, Tuan. Saya harus menemui anda."
"Tapi...siapa...," ia benar-benar gugup.
Lyn memberikan ponsel itu kepada satpam.
"Tuan?"
"Sial! Tanyakan siapa nama wanita itu!!" bentak Lewis.
"Nyonya, siapa nama Anda?"
Lyn memberikan senyuman, "Namaku Lyn Wilson," katanya.
"Dia bilang, namanya adalah Lyn Wilson, Tuan."
"Apa kau bilang?! Lyn Wilson?"
Lewis memutuskan sambungan telepon. Ia berlari seperti seorang anak kecil melewati banyak sekali karyawan perusahaan itu menuju lobi. Mereka menatap Lewis keheranan.
"Sialan! Apa yang kalian lakukan?!" Lewis membentak pegawainya yang tidak segera membawa Lyn ke ruangannya.
Lewis sendiri bingung saat berdiri melihat Lyn yang juga menatapnya. Mereka saling menatap untuk beberapa saat. Lyn akhirnya mengalah, ia membuang muka untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Begitu juga Lewis, ia berdehem karena tiba-tiba tenggorokannya terasa gatal.
Mereka yang melihat keadaan itu, tak mengerti apa yang sedang terjadi. Hingga ada seorang karyawan lain mengatakan pada temannya.
"Bukankah itu Nyonya Lyn, mantan istri Tuan Lewis?""Apa katamu? Istri tuan Lewis? Mati aku!" pekiknya menyesali karena sempat berdebat dengan Lyn tadi.
"Tuan Lewis, saya akan mengajukan proposal untuk perusahaan ini," kata Lyn dengan mengerahkan seluruh keberaniannya.
Lewis mengerjap. Ia masih belum percaya kalau wanita itu berada di hadapannya tanpa ia mencarinya.
"Ba-baiklah, bisakah kita membicarakan ini di kantor?" Lewis berusaha menetralkan dirinya yang shock.
Lyn mengangguk, lalu ia mulai menapaki jalan menuju ruangan Lewis. Lewis berada di belakang Lyn kebingungan, ingin rasanya ia menggendong Lyn sehingga tidak kesulitan berjalan. Sayangnya mereka memiliki jarak yang sulit diartikan.
Lyn duduk di kursi di hadapan Lewis. Sementara Lewis menatapnya dengan tatapan yang menusuk.
"Nyonya Lyn Wilson, benarkah anda kesini untuk mengajukan proposal ini ataukah ada tujuan lain? Ataukah Anda ingin bernostalgia dengan Lewis Hooper?" tatapan Lewis yang mengunci, menuntut Lyn begitu dalam.