Bapak Siaga

918 159 15
                                    

Jangan lupa tekan tanda bintang, isi kolom komentar dan follow penulisnya.

Masih dengan peraturan yang sama

Tidak menerima"NEXT/LANJUT" atau komentar sejenisnya.

Happy reading

🌼🌼🌼🌼🌼

Selepas makan malam Yuki menyempatkan dirinya sejenak untuk bermain bersama Alvaro.

“Jadi, kata sister Ida, Al udah pintar menyebut nama hewan sama udah mengenal banyak warna, mami boleh tahu?”

Alvaro terkekeh geli, “Boleh dong, mami bisa cari gambar di handphone mami, terus tanya deh hewan apa aja, sama warna apa aja itu.”

Yuki mulai berselancar di satu aplikasi mencari kumpulan gambar hewan random.

Dengan lancar bocah lima tahun itu menyebut semua jenis hewan dan warna yang Yuki berikan beserta bahasa Inggris.

“Hebat banget sih, tapi mami sedih deh.”

“Kenapa mami sedih?” Alvaro berpindah duduk di samping Yuki.

“Iya sedih, soalnya mami enggak bisa temani Al belajar mengenal banyak nama hewan dan warna.”

Hehehe… enggak apa, mami kan kerja,” Al mengelus tangan Yuki, selayaknya seorang ibu mengelus putrinya memberikan ketenangan, benar-benar dewasa sebelum waktunya.

“Next mau belajar apa lagi?”

“Al mau belajar ngaji boleh enggak mami?”

Hati Yuki terenyuh mendengar permintaan barusan, sudut matanya mengeluarkan air sedikit, merasa terharu.

“Boleh dong, nanti mami sama daddy cari tempat ngaji yaa. Al tahu mengaji dari mana?”

“Ada liat kakak kakak suka pake baju yang Al pakai kalau mau sholat Jum’at sama kopiahnya juga sambil bawa tas.”

Yuki membawa mahluk kecil itu ke-pangkuannya dengan wajah menghadap ke arahnya.

“Pintar sekali anak mami, nanti kalau udah ngaji, ngaji yang benar yaa biar bisa jadi Hafidz Quran.”

“Hafidz itu apa mami?”

“Hafidz itu seorang penghafal Al-Quran.”

Yuki menepuk pelan punggung rapuh itu, ia berharap Alvaro segera berlayar ke mimpinya sebelum ia pulang ke rumah. Jujur Yuki suka sedih ketika meninggalkan Alvaro, apa lagi harus ‘say bye’ ketika bocah kecil ini ikut mengantar-nya pulang, dari sorot mata bening itu seolah-olah berbicara ‘aku masih mau sama mami’.

Al datang selepas menerima panggilan, tersenyum tipis melihat interaksi dua insan yang saling berbagi kehangatan itu.

“Mau pulang?” tanya Aldevaro.

“Nunggu ini pulas dulu yaa mas,” tunjuk Yuki ke arah Alvaro.

Mereka sama-sama terdiam dengan suara TV yang menemani.

“Tahun depan sudah sekolah, tadi aku sempat terharu, dia mau belajar mengaji.”

Aldevaro memandang punggung putra satu-satunya yang sudah terlelap.

“Dia tahu dari anak-anak yang suka pulang ngaji, dia jadi kepengin belajar juga.”

“Kita cari yang bagus dimana, soalnya saya kurang tahu, kalau untuk sekolah mungkin kita bisa masuki dia ke sekolahan islam.”

Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang