[23] Pengumuman Pertama

80 6 0
                                    

"Kami berdua sudah memutuskan untuk berpisah...", pernyataan Rian sukses membuat semua orang ternganga!

Raya bahkan ikut-ikutan menjatuhkan ponselnya ke lantai. Bunyi retakan alat komunikasi itu seketika menyadarkan Asti. Dia seketika berdiri kemudian menyeret lengan baju Rian ke taman belakang.

"Kamu kenapa sih??", Asti berusaha menahan emosi.

"Menurutmu?", Rian bertanya balik.

"Mana aku tahu kalau kamu nggak ngasih tahu, Kak...", jawab Asti putus asa.

"Aku hanya menuruti permintaanmu...", ujar Rian tenang. "Bukankah menyenangkan mendengar pernikahan kita batal seperti harapanmu?"

Asti menarik nafas panjang. Kadang dia sungguh tak mengerti isi hati lelaki yang sedang berdiri di hadapannya ini.

"Kapan tepatnya aku bilang mau membatalkan??", Asti emosi karena kata-katanya terus diartikan secara berbeda oleh Rian.

"Nggak perlu marah. Bukankah kesepakatan kita adalah kamu yang memulai tapi aku yang mengakhiri?", ujar Rian tenang.

Asti terdiam. Ya, Rian benar. Dia sendiri yang menjanjikannya pada Rian saat memintanya jadi pacar.

"Jadi...kamu...membatalkan pernikahan? Lalu pengen kita putus?", Asti meyakinkan lagi maksud Rian.

"Ya!", jawab Rian tegas.

"Kamu mau putus denganku?", tanya Asti lagi.

"Hmmm...", Rian mengangguk tanpa ragu.

"Ohh...jadi kamu mau putus", suara Asti bergetar. "Kenapa?", tanyanya penasaran.

Asti tahu, meski ada kebencian di hati Rian, namun lelaki itu juga mencintainya. Bahkan cintanya mungkin lebih besar daripada rasa bencinya hingga mampu menolerir semua perbuatan Asti padanya.

"Bukankah kamu muak? Setiap bertemu selalu ada saja yang membuat kita tidak sependapat kemudian bertengkar hebat..."

"Lalu?", tuntut Asti. Dia masih tak bisa mengerti.

"Katamu juga, jika jarang bertemu saja hubungan kita begitu buruk, bagaimana nanti jika bertemu setiap hari setelah menikah?", jawab Rian lagi. "Kupikir, dalam hal ini kamu benar!"

"Lagipula, bukan hal aneh jika pernikahan batal meski kita sudah lama bertunangan kan?", tambahnya. "Toh akhirnya kita sadar bahwa hubungan ini hanya membuat kedua pihak tidak bahagia"

Asti menelan ludah. Tak menyangka pembayaran hutangnya bisa seperti ini ragamnya!

"Jadi kamu yakin mau putus?", tanya Asti sekali lagi.

"Ya. Aku mau kita putus dengan tenang seperti janji kita dulu...", sahutnya.

Asti menatap ke dalam mata Rian. Tampaknya keputusan lelaki itu sudah final. Asti mengangguk.

"Baiklah, aku mengerti!", ujar Asti. "Tapi tolong izinkan aku yang menjelaskan semuanya dengan keluarga kita..."

🍀🍀🍀

"Kalian bertengkar?", tanya Heidi pada Rian keesokan harinya.

Dia sudah diberitahu bagaimana rapat keluarga bubar tanpa kejelasan apakah pernikahan itu batal atau tetap berlanjut, padahal tanggal pernikahan tinggal sebulan lagi. Asti berjanji akan menjelaskan semuanya nanti dan meminta semua orang beristirahat sambil menenangkan diri dulu.

"Seingatku akhir-akhir ini kami sangat akur...", jawab Rian dengan senyum lebar.

Justru itu yang aneh, pikir Heidi. Sepanjang mengikuti perjalanan hubungan mereka, kondisi ini lebih mirip ketenangan sebelum badai besar datang! Dan kecurigaannya itu pun terbukti!

"Jadi kenapa kalian mau putus?", tanya Heidi.

Rian diam.

"Kamu tahu kan, meski Asti adikku, tapi aku juga selalu di pihakmu?", Heidi meyakinkannya.

Rian tersenyum. Ya, dia tahu persis itu!

"Apakah kamu masih akan berteman denganku jika kami berpisah?"

"Hei, sejak dulu aku tak pernah memaksamu menikahinya", ujar Heidi sambil tertawa. "Sudah kubilang juga, kalian nggak cocok!"

Mau tak mau Rian tertawa. Heidi benar. Dia sendiri lah yang menerima tawaran Asti dan terus menahannya dengan ikatan pertunangan mereka.

"Kenapa kamu terus berpihak padaku?", Rian heran. "Kamu nggak takut aku menyakiti adikmu?"

Heidi menarik nafas panjang. "Aku tahu kamu takkan melakukannya!", sahutnya yakin. "Dan kalau pun ternyata kamu menyakiti Asti, aku tetap akan menimbang keberpihakanku secara rasional..."

Heidi sudah mengenal Rian sejak mereka remaja. Dia punya segalanya. Tapi tak pernah melakukan hal buruk dengan bekal yang dimilikinya itu. Meski terbukti pintar, dia tetap rajin belajar. Meski orang tuanya sudah kaya raya, namun dia tetap bersemangat merencanakan masa depannya. Meski bisa memanfaatkan penampilannya untuk mempermainkan hati banyak perempuan, namun dia tak sekali pun berpaling dari Asti.

Tentu saja, Rian tak sempurna. Dia sama seperti manusia lainnya. Bisa marah, merajuk, tersinggung, kadang juga bersikap keras terutama jika ada yang berani mengusik ketenangannya. Tapi dia jelas bukan tipe orang jahat!

"Asti terkadang memang keterlaluan. Tapi dia tak pernah berpikir meninggalkanmu..."

Rian mengangguk. "Aku tahu. Karena itulah, aku yang akan melepaskannya..."

"Kenapa?"

"Sepertinya aku tak cukup pantas mendapatkan Asti..."

"Alasannya?"

"Sepertinya dia menginginkan laki-laki yang lebih religius sebagai pendampingnya"

"Dia bilang gitu?"

"Enggak langsung, sih! Tapi dia minta aku ikut kajian pra-nikah dan materinya semua mengarah kesana...", Rian menarik nafas panjang. "Trus aku baru sadar, adekmu sudah berubah jauh. Dia pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik daripada aku..."

"Memangnya kamu kenapa?"

Rian lagi-lagi menarik nafas panjang. "Aku jauh dari kata baik", gumamnya sedih!

🍀🍀🍀

*ditulis dengan cinta...💕

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang