[12] Cinta vs Obsesi

106 6 0
                                    

Penerbangan Asti delay hampir 12 jam. Ia baru datang pukul 22.00 wib di rumah. Terlalu malam baginya mendatangi Rian. Ia harus rela menunggu hingga besok.

Tapi mata Asti tak jua mau terpejam. Meski sudah coba berbaring tapi akhirnya ia menyerah. Bangun dari ranjang, Asti menatap foto pertunangannya dengan mata nanar.

Asti tak habis pikir bagaimana Rian bisa selalu mengambil keputusan sesuka hati begini? Asti bahkan baru lulus kuliah beberapa hari lalu. Rian juga baru menyelesaikan program masternya. Bukankah harusnya ini kesempatan untuk melakukan sesuatu berarti lainnya dalam hidup mereka?

Rian bisa melanjutkan bisnis arsitektur keluarganya. Asti juga masih ingin melanjutkan kuliahnya. Beberapa waktu lalu, dia bahkan sudah mengajukan lamaran ke Twente University di Belanda.

Asti frustasi!!

Sejujurnya ia belum siap menikah. Terlebih menikahi Rian. Mereka pacaran setahun. Bertunangan hampir 6 tahun. Tapi yang diingat Asti dari hubungan mereka hanya pertengkaran yang melelahkan!

🍀🍀🍀

Jam 8 pagi...

Heidi sedang lelap tidur karena baru pulang piket di IGD saat Asti mengambil kunci mobilnya. Dia tak bisa menunggu diantar lagi!

Tapi setelah sampai rumah Rian, dia masih harus berhadapan dulu dengan Bunda Rian. Rincian rencana pernikahan lagi-lagi menahannya cukup lama sebelum menemui lelaki itu. Hanya saja, Asti tak terlalu bisa berkonsentrasi dengan semua informasi yang diberikan karena kepalanya terlalu sibuk menahan keinginan untuk segera mencari Rian!

Setelah satu jam, akhirnya Bunda Rian melepaskannya. Asti lari ke lantai tiga, tapi kata Mbok Inah, pengasuh Rian sejak kecil, tunangannya yang sejak beberapa hari lalu tak bisa dihubungi itu, saat ini sedang berenang.

Asti agak kesal mendengarnya. Terlebih setelah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Rian menikmati paginya dengan santai sambil menghindarinya.

"Kapan datang?", ujar Rian kalem.

"Kenapa kita harus menikah secepat itu?", Asti tak menjawab. Dia langsung protes pada keputusan sepihak Rian.

"Dan kenapa kita harus menunda lebih lama lagi?", jawab Rian.

"Kak...yang menikah itu kita berdua. Harusnya ada kesepakatan bersama sehingga bisa menjalankannya kan?", Asti menyabar-nyabarkan diri!

"Oh...jadi kamu nggak setuju? Ya udah, kalau gitu kamu tinggal bilang sama keluarga kita kalau kamu mau menunda pernikahan ini", ujar Rian santai. "Jadi biar mereka bisa batalin semuanya!"

Asti diam. 7 tahun bersama. Rian pasti tahu setiap titik lemahnya. Mana berani gadis itu mengecewakan kedua orang tua mereka, terutama ketika semua berharap pernikahan ini segera terlaksana.

Jika harus menunda, maka harus Rian lah yang melakukannya. Bukan Asti! Jadi dia harus mencari cara agar lelaki itu mau mendengarkannya.

"Kak, beri aku kesempatan melakukan hal lain dulu..."

"Memangnya kamu nggak bisa melakukan apa kalau menikah?"

Asti mencoba mengingatkan dirinya. Ini rumah Rian dan ada anggota keluarga lainnya disini. Tapi dia sepertinya tak bisa lagi mengendalikan diri!

"Sebenarnya kamu menikah denganku karena cinta atau obsesi saja?", Asti gagal menahan emosi.

Kalimat ini sukses membuat Rian bangkit dari bangku di pinggir kolam renang itu dan meninggalkan Asti.

Ahhh, kenapa juga dia harus berkata begitu? Asti langsung menyesalinya. Sekilas ia bisa melihat mata Rian yang terluka.

Harusnya dia camkan dalam kepala, bukan hanya pisau yang bisa membunuh manusia! Nyatanya, kata-kata yang diasah tajam pun bisa melukai lawan bicara.

"Kapan datang?", Raka datang menyapanya beberapa menit kemudian.

"Baru aja...", sahut Asti gagap.

"Rian mana?", tanya Raka.

"Ke dalam...", sahut Asti lemah.

"Kalian bertengkar lagi?", tebak Raka. Dia tak asing dengan ekspresi Asti yang seperti itu.

"Pastiii...", Raya yang baru hadir di sekitar kolam renang langsung ikut nimbrung percakapan mereka.

Asti menarik nafas panjang. Tapi kemudian tertawa lemah.

"Kenapa sih kalian selalu mengira kami bertengkar?"

"Kalian berdua tuh dari dulu selalu penuh drama...", ujar Raya yang kemudian langsung nyemplung ke kolam.

Asti dan Raka hanya tertawa mendengarnya.

"Jadi kalian segera menikah?", tanya Raka.

Asti mengangkat bahunya tapi ia tersenyum.

"Aku dari dulu nggak ngerti, kenapa sih kalian nggak bisa melepaskan diri satu sama lain?", gumam Raka.

"Mungkin karena kami saling berhutang...", sahut Asti sambil menarik nafas panjang.

🍀🍀🍀

*ditulis dengan cinta...💕

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang