Yaksa tengah berhadapan dengan Langit sekarang di ruang konselingnya. Kali ini bukan karena Langit bermasalah, entahlah remaja itu hendak apa karena Yaksa sendiri tidak tahu.
"Saya harap apa yang saya pikirkan salah, Pak. Saya tanya, apa ketika teman saya mengadakan party anda datang?" tanya Langit dengan pelan.
Yaksa paham. Dengan tegas Yaksa menganggukan kepalanya seraya mengamati Langit yang terlihat sangat gugup, Yaksa melihat Langit beberapa kali meremas telapak tangannya.
"Beberapa orang mengatakan anda yang membawa saya ketika saya mabuk, apa.." Langit menelan salivanya dengan susah payah, hingga akhirnya Yaksa membuatnya semakin murka karena jawabannya.
"Ya, ke salah satu room. And we.."
"Berengsek." lirih Langit namun Yaksa masih bisa mendengarnya dengan jelas. "Anda adalah orang paling jahat yang saya kenal."
Yaksa terdiam sejenak, sementara Langit mulai terisak. Beberapa kali remaja tersebut terlihat menarik keras rambutnya sendiri berharap hal tersebut berhasil membuat emosinya tersalurkan.
"Sorry." ucap Yaksa.
Langit terisak, lagi-lagi dia membuat orang yang masih dia sayangi menangis, pikir Yaksa.
Langit benci, kenapa takdir senang sekali bermain dengan dia? Kenapa Yaksa? Kenapa harus dengan Yaksa?
"Saya minta maaf, saya—"
Langit berdiri lalu dengan tergesa berlari keluar dari keluar dari ruangan Yaksa. Setidaknya Langit sudah tahu, meski sebenarnya Langit berharap itu hanyalah sebuah kesalahpahaman, Yaksa tidak benar-benar memerkosa dirinya.
Pemerkosaan? Memang yakin bisa dikatakan begitu? Langit tidak menikmatinya 'kan malam itu?
Kini tujuan Langit adalah rooftop, seperti biasa tempat pelariannya adalah itu.
"Gue benci sama diri gue sendiri! Gue benci!"
Langit terduduk dengan tangisannya yang semakin keras, ia merasa sangat sesak begitu mengingat berita yang kemarin dia lihat.
Perihal kehamilan Alina, istri Yaksa.
"Lalu bagaimana dengan hidup gue? Kenapa takdir jahat banget sih sama gue?" isakan Langit sedikit mereda karena panggilan dari teleponnya, itu panggilan dari Jeff.
Langit mengabaikan panggilan tersebut, hingga membuat Jeff berkali-kali menghubunginya setelah panggilan pertama terputus. Tetap saja, hal tersebut tidak membuat Langit mengangkat panggilan telepon tersebut.
Langit lelah, tangisannya telah usai namun wajahnya masih penuh dengan air mata. Kenapa makin kesini makin banyak hal yang membuat Langit benci dengan dirinya sendiri?
Langit berbaring, dia menarik napasnya berkali-kali guna membuatnya sedikit lebih rileks. Pikirannya menerawang mengingat kembali kenangan-kenangan di masa lalunya. Sialnya, kenangan bahagianya di masa lalu hanyalah ada kenangan bersama dengan Yaksa. Nyatanya hanya Lelaki Dewasa tersebut yang rela menciptakan bahagia untuk Langit, sebelum akhirnya Langit dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya oleh sosok yang sama.
Langit mengerutkan bibirnya, Yaksa baru memberi kabar bahwa mereka gagal pulang bersama karena guru-guru akan ada meeting, termasuk Yaksa juga harus andil ikut. Sialnya, Langit sudah mengusir teman-temannya karena dia pikir dia jadi pergi bersama Yaksa.
"Gue balik sama siapa kalau gini, sialan," gerutu Langit.
Langit berada di halte sekarang. Keadaanya sudah cukup sepi karena sudah pada pulang. Langit melirik arlojinya sekali lagi, benar saja kini sudah pukul 18.03.
KAMU SEDANG MEMBACA
FALL | WinBright
Fanfiction𝐌𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍𝐓𝐈𝐒𝐈𝐏𝐀𝐒𝐈 𝐀𝐆𝐀𝐑 𝐓𝐈𝐃𝐀𝐊 𝐓𝐄𝐑𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐊𝐄𝐒𝐀𝐋𝐀𝐇𝐏𝐀𝐇𝐀𝐌𝐀𝐍, 𝐒𝐈𝐋𝐀𝐇𝐊𝐀𝐍 𝐒𝐄𝐁𝐄𝐋𝐔𝐌 𝐌𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐈𝐍𝐈 𝐔𝐍𝐓𝐔𝐊 𝐌𝐄𝐋𝐈𝐇𝐀𝐓 '𝐓𝐀𝐆' 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐓𝐄𝐑𝐋𝐄𝐁𝐈𝐇 𝐃𝐀𝐇𝐔𝐋𝐔. 𝐓𝐄𝐑𝐈�...