TIGA BELAS

515 56 9
                                    

"Bodoh, hanya urus satu bocah ingusan satu aja nggak bisa!"

"Maaf nyonya, saya sudah berusaha. Hanya saja.."

Belum juga menyelesaikan ucapannya, sambungan telepon tersebut sudah diputus sepihak. Sial, umpat sosok lelaki berbadan kekar tersebut.

"Besok kita nggak boleh gagal lagi." ucal lelaki berbadan kekar tersebut ke beberapa anak buahnya.

・゜✭・.・✫・゜・。.

"Dalam metode periodik, adanya transaksi pembelian tidak didebet pada rekening persediaan tapi pada rekening pembelian."

Bu Melisa, guru akuntansi yang tengah memberikan materi menatap Langit yang tertangkap basah tengah melamun. Langit, lagi.. Langit lagi.

"Regulus Langit Davendra, kalau nggak mau ikuti materi saya bisa keluar sekarang." tegur Bu Melisa.

Langit hanya mengangguk lalu meninggalkan ruang kelas begitu saja, hal tersebut bukan hal baru lagi buat guru-guru sekolah karena sedari dulu itu adalah bad habits Langit.

Langit menghela napasnya lelah. Entahlah rasanya Langit merasa gusar, banyak sekali yang mengganggunya akhir-akhir ini. Dari dia ditipu hingga disekap di salah satu gedung terbengkalai, hingga sore kemarin ada yang memberikan dot bayi berisi cairan merah seperti darah.

Untuk yang terakhir Langit belum memberitahu Jeff, Langit hanya tidak ingin Jeff khawatir dan membuatnya kepikiran. Pikir Langit, selama Si Kembar masih baik-baik saja itu dia masih bisa handle masalahnya sendiri, meski di sisi lain Langit pun tahu jika Jeff mengetahui hal ini Langit tutup-tutupi dari dia, dia akan marah.

Langit duduk di rooftop seperti biasa dan menghela napasnya kembali. Kenapa semuanya begitu berat, ya?

Dari satu tahun lalu, tepatnya semenjak berpisah dengan Adhiyaksa rasanya hidup Langit berat sekali.

"Bolos lagi?"

Langit terhentak mendengar suara baritone yang dulu sangat dia puja-puja. Langit menoleh dan menemukan Adhiyaksa datang menghampiri dirinya.

Mau apa, sih? Pikir Langit.

Langit berusaha cuek dan kembali mengeluarkan sebatang rokok. Persetan dengan Adhiyaksa dengan jabatan guru BK-nya.

"Bodoh, kamu ngerokok lagi?" tegur Yaksa dan mencoba merebut rokok dari Langit. Namun Langit tetaplah Langit, dengan keras kepalanya.

"Kamu punya bayi di rumah, kamu tetap mau ngerokok?" ujar Yaksa.

Langit berdecih. "Gue kan ngerokoknya di sini, bukan depan anak-anak gue. So, it's fine?"

"Lagian guru BK ngapain sih mau ke sini? Mau nangkap saya? Laporin saya ke guru-guru lain juga?" lanjut Langit lagi.

Yaksa menatap Langit dengan dalam. Langit terlihat tidak baik-baik saja, pikirnya. Apa yang mengganggu Langit-nya?

Jika dulu, Yaksa biasanya akan menanyakan masalah apa yang menimpa kekasihnya tersebut. Bahkan Yaksa akan memeluknya agar merasa lebih baik. Namun sekarang, Yaksa sadar bahwa dirinya sudah tidak punya kuasa lagi untuk hal tersebut. Rasanya untuk menanyakan hal sepele seperti 'Sudah makan belum?' saja Yaksa takut dianggap lancang.

"Gue ingkar janji lagi. Gue pernah janji kalau gue nggak mau ngerokok lagi setelah punya anak, tapi sekarang gue ngerokok." lirih Langit yang masih dapat didengar telinga Yaksa.

"Bahkan gue rasa Jeff lebih baik dalam ngurus Eden sama Arash, dibanding orangtuanya sendiri." ujar Langit lagi, selanjutnya ia kembali merokok.

"Gue nggak bisa ngurus anak, Pak Adhi. Anak-anak gue dalam bahaya aja gue bingung harus handle-nya gimana. Gue juga ngerasa belum cukup ngasih mereka kasih sayang."

Lagi-lagi Langit menangis di depan Yaksa, mantan kekasihnya.

Langit melempar sisa rokoknya lalu menginjaknya.

"Ditinggal orangtua kandung karena kecelakaan sejak masih bayi, lalu diasuh ibu tiri yang sialnya dia lacur yang suka bawa laki-laki random ke rumah tiap malam sampai gue remaja, lalu sampai akhirnya gue ketemu lo.." Langit melirik Yaksa yang menatapnya dengan intens. "Gue memusatkan hidup gue sama lo, lalu lo dengan seenak jidat ninggalin gue saat gue.. Ah, sudahlah." Langit terkekeh dengan dirinya sendiri.

"Astaga, apa yang gue omongin barusan." lirih Langit menyesali dengan sikapnya sendiri dan mengusap air matanya dengan kasar.

Langit memusatkan perhatiannya kepada Yaksa. "Gimana dengan Miss Alina? Dia sedang hamil, kan? Kenapa nggak didampingin? Hamil seorang diri itu berat banget rasanya." kata Langit.

Yaksa berdeham. "She's fine. Di sana banyak asisten-asisten yang bakal bantuin dia." jawab Yaksa.

"Rasanya beda, Adhiyaksa. Ketika hamil itu yang orang hamil rasain cuma pengin dekat sama suami, sama ayah dari jabang bayi yang dikandung. Apalagi saat masa morning sickness, ngidam, meski banyak orang lain tetapi yang kita inginkan di sisi kita ya suami sendiri." ujar Langit. Mengingat kembali saat-saat dulu ketika hamil dan sangat menginginkan Yaksa ada di sisinya.

"Aishh.. Sudahlah," Langit melirik arlojinya, benar saja sudah waktunya jam istirahat. "Jangan lupa makan siang."

"Oh iya, hm.. Pak Yaksa," Yaksa menoleh, perhatiannya berpusat kepada Langit yang tengah menggigit bibir bawahnya. "Jangan terlalu banyak minum soda ya." lanjut Langit sebelum akhirnya lelaki yang lebih muda tersebut berlari menuruni anak tangga.

Yaksa tersenyum. Ternyata Langit belum seratus persen berubah, dia masih Langit yang suka sekali mengingatkan dia tentang bagaimana bahayanya terlalu banyak konsumsi soda dan alkohol.

"Thank you, Langit." gumam Yaksa meski tahu Langit tidak akan pernah bisa dengar.

・゜✭・.・✫・゜・。.

"Woi, Langit! Bolos terus lo kerjaanya." kata Ule, masih dengan gorengan yang berada di mulutnya.

"Lo dicariin sama Pak Daus." ucap Jeff sembari memberikan air putih kepada Langit.

Langit yang baru duduk bertanya-tanya, ada apa kenapa Kepala Sekolah mencari dia?

"Lo sih bolos terus!" sergah Willy.

"Gue ke ruang Kepsek sekarang," Langit langsung berjalan ke ruang Kepala Sekolah. Dia tahu ini bukan tentang karena dia sering bolos, pasti ada alasan lain kenapa Pak Daus memanggil dia ke ruangannya.

"Regulus Langit," Pak Daus memutar kursinya menghadapku dengan tatapan tajam dan seringaiannya, yang jelas Langit tidak takut dengan hal itu. "Kamu tahu alasan saya panggil kamu ke sini?" lanjutnya lagi.

Langit tidak gusar, justru remaja tersebut malah duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya seperti sedang bersantai. "Tidak, Anda belum kasih tau."

Pak Daus tertawa, entah apa yang Pria Paruh Baya tersebut ketawakan, yang jelas sangat terdengar menyebalkan di telinga Langit.

"Pelajar kelas dua belas, single parents dari dua anak berusia satu tahun.."

Langit menegakan tubuhnya spontan begitu mendengar kalimat tersebut. Kini Langit sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh 'Tua Bangka' itu.

"Sebenarnya saya bisa dengan mudah drop out kamu dari sekolah ini, apalagi catatan buruk kamu sudah banyak sekali. Bukan hal baru lagi kan jika kamu terkenal dengan sikap berandal selama ini?" kata Pak Daus.

Langit tersenyum, sebuah senyum yang kesannya mengejek. "Lalu?" tanya Langit.

"Saya bisa banget bantu kamu agar bisa lulus dari sekolah ini," Pak Daus berdiri lalu menuju sofa dekat Langit dan duduk di sana. "Tentu saja dengan syarat."



tbc.

FALL  |  WinBrightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang