"Mama bakalan kangen banget nanti sama kamu, El." Wanita itu memandangi wajah anak laki-laki semata wayangnya dengan tatapan bangga sekaligus terharu.
Elios tertawa kecil. Ibunya selalu saja berlebihan jika harus membiarkannya pergi. "Kan sebulan sekali El pulang, Ma. Seminggu pula liburnya. Kita bisa liburan setiap bulan," ujarnya guna meyakinkan ibunya kalau mereka tidak akan berpisah terlalu lama.
Elios mengangkat barang bawaannya dan menaruhnya di bagasi taksi. "Kalo gitu El pamit ya, Ma." Lelaki itu meraih tangan sang ibu dan mencium punggung tangannya. Setelah berpamitan dengan keluarganya, ia masuk ke dalam taksi.
Tujuannya sekarang adalah Gedung Ragair. Tempat itu akan menjadi rumah baru untuk Elios. Tempat di mana Elios akan mendapatkan ilmu-ilmu baru serta tanggung jawab untuk melindungi negara.
Beberapa bulan ini para petinggi negara mulai merekrut beberapa anak muda dan memberi mereka fasilitas untuk bekerja sama dalam melindungi negara, dan Elios salah satu dari anak muda yang direkrut.
Perjalanan selama 30 menit usai, taksi berhenti di depan lobby Gedung Ragair. Beberapa satpam di sana membantu Elios untuk membawa barang-barang miliknya. Ia masuk ke dalam mendapati beberapa anak muda lain yang sedang duduk di sofa.
"Lo juga anggota tim ini, 'kan?" tanya seorang laki-laki berkemeja flanel dan celana jogger coklat.
Elios mengangguk pelan. "Iya ... lo juga?" tanyanya kembali.
"Iya, gue Gara. Salam kenal." Lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Elios. Tak lama Elios membalas uluran tangannya dan berjabat tangan.
"Gue Elios."
"Oke, duduk bareng kita aja, El." Gara merangkul Elios dan mengajaknya menuju sofa yang sudah diisi dengan dua orang lelaki lain. "Ada temen baru nih, guys!" seru Gara penuh semangat, terlihat dari wajahnya yang bersinar.
Dua lelaki yang tadinya duduk di sofa pun beranjak bangun dan mendekati Elios. "Gue Roman, salken ya." Lelaki itu tersenyum tipis lalu menepuk lengan Elios pelan.
"Gue Radian, panggil aja Radi," ucap yang satunya.
Setelah Elios memperkenalkan dirinya dengan dua lelaki itu, mereka duduk bersama dan berbincang santai mengenai latar belakang mereka masing-masing. Awalnya Elios sedikit kaku karena sifatnya yang sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, tetapi tiga temannya tidak mendiskriminasikannya.
Ditengah percakapan, seorang pria berpakaian rapi dari atas sampai bawah berdiri di tengah lobi, mencuri perhatian semua orang di sana. "Para anggota baru harap menemui pak Azri di ruangannya. Mari saya antar," ucap pria itu.
"Kita, Pak?" tanya salah satu perempuan yang memakai kupluk hijau duduk tak jauh dari kursi Elios.
Pria itu mengangguk. "Iya, kalian semua yang sedang berkumpul di sini." Lantas mereka semua dengan total 12 orang berjalan menuju ruangan yang pria tadi sebutkan. Sepanjang lorong rasanya dingin, terlebih lagi saat mereka masuk ke dalam salah satu ruangan, rasanya seperti sedang di kutub utara.
"Selamat siang, semuanya," sapa seorang pria berumur 40-an yang duduk di sebuah kursi empuk.
"Siang ...," jawab Elios dan yang lainnya kompak.
Pria itu berdiri dan menghampiri anak muda di hadapannya. Ia berdiri tepat di tengah dan melakukan sikap istirahat di tempat. "Dingin ya?" tanyanya melihat beberapa anak yang menggigil.
"Iya, Pak. Bapak kok bisa gak kedinginan?" tanya seorang perempuan berambut pendek sepundak.
"Saya sudah biasa di sini. Nanti kalian juga terbiasa," jawab pria itu. "Oh iya, saya lupa. Perkenalkan nama saya Azri. Saya akan menjadi mentor kalian untuk ke depannya," ucap pria itu penuh wibawa. Pak Azri memandangi anak didiknya satu persatu dan meneliti mereka melalui kacamata rancangannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Évasion : To Another Dimensions
FantasySemuanya terulang, beberapa dari mereka terlihat familiar, kali ini nama mereka tidak berubah, tapi ingatan mereka menghilang. Mereka melupakan tujuan utama mereka. Bagaikan sebuah robot yang diriset ulang dan diatur untuk melakukan tugas yang baru...