"I guess we're trapped here, haha."
"Bangsat!" Roman menampar wajah Elios sekuat tenaga. Bagaimana tidak? Dengan suasana yang super menyeramkan di tempat yang asing itu, serta tawa kaku Elios cukup mampu membuatnya ketakutan.
"Anjing!" pekik Elios sembari mengelus pipinya, memekik kencang dengan kata kasar adalah hal yang langka untuk Elios lakukan. "Lo kenapa sih?" tanyanya heran.
"Lo yang kenapa!" balas Roman tak kalah galak. "Lo serem anjing, lo kayak bukan Elios. Tiba-tiba ngomong pake Bahasa Inggris, mana pake ketawa gitu lagi. Aneh!" jelasnya.
Elios mengembuskan napasnya kasar. "Yaudah sorry. Gue cuma mau nutupin rasa panik gue aja," ujarnya mengklarifikasi apa yang ia lakukan sebelumnya. Sepertinya tertawa memang bukan hal yang pantas ia lakukan.
"Kalo panik ya bilang aja panik, gak usah ditutup-tutupin," balas Roman ketus. Ia merogoh saku celananya dan mengambil ponsel untuk memberikan sumber cahaya.
Ia mengarahkan cahaya itu ke sekeliling lantai 9. Hanya sebuah lorong yang tidak ada properti apa pun. Pintu menuju ruangan lain pun tidak ada. Gedung Ragair memang sangat misterius, hanya orang-orang tertentu yang mengetahui semua kejanggalan ini.
"Mau jalan? Mumpung udah di sini," tawar Roman.
"Yaudah ayo." Begitu mendapatkan persetujuan dari Elios, mereka berjalan berdampingan ke depan. Melewati jalanan kosong. Langkah demi langkah terdengar sangat jelas karena tidak ada suara lain selain sepatu mereka yang beradu dengan ubin lantai.
"Ngapain, El?" tanya Roman begitu ia menyadari Elios tengah sibuk dengan ponselnya.
"Ngechat yang lain, tapi gak ada sinyal," balas Elios pasrah. Malam ini Elios nobatkan sebagai malam paling buruk di hidupnya. Ia tidak akan pernah menyetujui ajakan Radi dan Gara lagi, catat itu.
Tanpa aba-aba Roman menepuk pundak Elios berkali-kali. "El! Ada pintu, El!" Ia mengarahkan sinarnya ke depan, sebuah pintu besi berwarna hitam terlihat jelas di mata mereka. "Itu pintu ke mana ya?" tanyanya menerka-nerka.
Elios mengendikkan bahunya. "Coba aja liat. Siapa tau nembus tangga, pengen cepet balik ke kamar gue," ujarnya. Ia berjalan mendahului Roman dan melangkah cepat mendekati pintu itu.
Ia membuka pintunya perlahan, berusaha agar decitan engsel pintunya tidak terlalu nyaring. Di balik pintu terdapat beberapa pintu lain dengan jendela di bagian tengahnya. Ia tidak habis pikir sebenarnya ia sedang ada di mana.
"Serem banget anjir," gumam Roman merinding. Ia mengikuti Elios yang berjalan di depannya, menjelajah bagian lain yang baru saja mereka temukan. Kedua matanya memonitor setiap sudut tempat itu.
Rasa penasaran mendorong Roman untuk mengintip ke salah satu jendela pintu. Ia memicingkan matanya, mendapati beberapa orang dengan pakaian laboratorium serta masker hitam dan kacamata hitam. Tidak ada setitik pun kulit mereka terlihat, semuanya tertutup.
"Liatin apaan lo?" tanya Elios. Ia ikut mengintip dan melihat pemandangan yang sama. Tetapi orang-orang itu terlihat tidak asing di matanya. Ia merasa pernah melihat mereka tetapi entah di mana.
"Lo ... ngerasa gak asing gak sih sama orang itu?" tanya Roman ragu.
Elios mengangguk. "Lo juga ngerasa pernah liat mereka?"
"Aneh banget. Gue yakin gue gak pernah liat mereka sebelomnya, tapi mereka kayak gak asing," jelas Roman, ia sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang ada di pikirannya saat melihat orang-orang itu.
Elios mengangguk setuju untuk kedua kalinya. "Iya, gue juga mikir kayak gitu."
Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, memutar ulang semua ingatan mereka, mencoba mengingat di mana mereka pernah melihat orang bermasker hitam serta kacamata hitam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Évasion : To Another Dimensions
FantasySemuanya terulang, beberapa dari mereka terlihat familiar, kali ini nama mereka tidak berubah, tapi ingatan mereka menghilang. Mereka melupakan tujuan utama mereka. Bagaikan sebuah robot yang diriset ulang dan diatur untuk melakukan tugas yang baru...