"Ayo ikut gue."
Seora menggeleng, tanda ia menolak ajakan kakaknya untuk pergi ke rumahnya. "Gak usah, Kak. Mendingan kita gak usah ketemu lagi juga, makasih ya udah jadi kakak aku selama dua hari ini," ujarnya dengan senyum yang dipaksa.
Gara menautkan alisnya. "Kenapa gitu? Gue bikin lo gak nyaman?" tanyanya cemas.
Lagi-lagi Seora menggeleng. "Enggak, malah aku seneng ketemu Kakak. Tapi kalo kita terusin dan bilang ke orangtua Kakak kayaknya bakal nambah masalah, Kakak siap nerimanya?" tanyanya lirih.
Gara tidak mengerti apa yang Seora katakan, bukankah lebih baik semua keanehan ini diselesaikan agar tidak meninggalkan banyak pertanyaan di benak mereka? Atau sejak awal hanya Gara yang memiliki pertanyaan itu?
"Siap. Gue siap nerima apa pun untuk tau sebenernya lo itu siapa dan kita ada hubungan apa. Gak mungkin kita disatuin gitu aja dan punya ikatan kayak sodara," ujar Gara tegas.
Melihat Gara yang masih bersikeras untuk mencari jawaban membuat Seora frustrasi. Ia meraih tangan Gara dan mengajak lelaki itu menjauh dari teman-temannya. Kalau sudah seperti ini lebih baik Gara tahu semuanya mulai dari awal hingga akhir.
Kini mereka berada di bawah pohon rindang. "Aku pernah diceritain sama mama kalau ... mama itu hamil di luar nikah. Anak itu aku. Papa aku itu papanya Kakak," jelas Seora dengan suara yang kelewat pelan. Ia tidak siap melihat reaksi Gara, ia mencuri pandang ke arah kakaknya.
Lelaki itu bergeming. Papanya menghamili wanita lain? Sudah 16 tahun Gara hidup namun tidak mengetahui apa pun tentang keluarganya sendiri.
"Lanjut aja, gue dengerin," ujar Gara menutupi rasa campur aduk di benaknya.
"Pas dua tahun pernikahan orangtua Kakak, akhirnya mamanya Kakak tau kalo papa Kakak selingkuh sama mama aku ...." Seora berhenti sejenak sebelum melanjutkan ceritanya, padahal ia sudah hampir lupa dengan masa lalu yang kelam ini.
"Mamanya Kakak marah besar waktu itu, tapi akhirnya mama Kakak lupain semua ini dan larang papa buat ketemu aku sama mama aku," jelas Seora. Sejak ia dilahirkan ke dunia mungkin bisa dihitung jari berapa kali sosok pria yang ia panggil papa itu muncul di hadapannya, itu pun diam-diam agar tidak ketahuan istri sahnya.
"Aku masih gak ngerti kenapa mama aku ceritain ini waktu umurku baru 10 tahun. Mungkin mama pikir aku udah besar ya waktu itu," ujar Seora dibarengi tawa kecilnya.
Ia menatap Gara lekat-lekat. "Mama juga cerita tentang Kakak, saudara yang satu ayah sama aku, tapi mama bilang Kakak orangnya galak dan benci sama aku. Jadi aku gak pernah tertarik buat deketin Kakak." Senyumnya mengembang, berbanding terbalik dengan Gara yang memasang wajah datar.
"Ternyata Kakak baik. Mama bohong, tapi aku tau itu demi kebaikan aku. Kakak baik belum berarti mamanya Kakak juga baik, mama aku cuma gak mau aku dijahatin," ujar Seora.
Hembusan angin seakan membawa pergi semua ingatan Gara tentang keluarganya yang ia anggap harmonis dan penuh cinta. Ia pikir papanya adalah pria yang mencintai mamanya seorang dan tidak pernah bisa berpaling ke siapa pun selama sisa umurnya.
Gara tidak bisa melihat kedua orangtuanya dengan pandangan yang sama lagi. Ia tidak lagi percaya dengan kalimat 'aku cinta kamu' yang papanya lontarkan kepada mamanya. Semuanya palsu. Semuanya dipaksakan.
Pantas saja saat Gara mengunjungi rumah Seora dan menjelaskan keadaan Seora kepada wanita yang ia tebak adalah ibunya, wanita itu terlihat melongo memandangi wajahnya. Mungkin karena wajah Gara sangat mirip dengan pria yang menjadi ayah dari anak perempuannya.
"Kakak boleh benci aku sama mama aku kok. Kami udah rusak keluarga kecil Kakak, maaf ya, Kak," ucap Seora pahit.
Gara menggeleng. "Gue gak bisa benci sama lo, Seora. Lo adek gue." Ia meraih lengan sang adik lalu menautkan jarinya dengan Seora. "Seora ... kenapa lo bisa kuat banget?" tanyanya pedih.
Membayangkan bagaimana hidup Seora yang harus memikul nasib buruk yang tidak pernah bisa hilang itu membuat Gara tidak tega. Sudah berapa kali Seora diejek atau dihina oleh orang-orang terdekatnya? Tidak menutup kemungkinan kalau mamanya juga salah satu dari orang-orang itu.
"Maafin mama gue kalo mama gue pernah jahat sama lo ya, Seora. Gue minta maaf banget, coba aja gue tau ini dari dulu. Mungkin gue bisa—"
"Gak usah minta maaf. Aku gapapa. Buktinya aku masih bisa hidup sampai sekarang," sela Seora. Senyumnya terlihat manis namun terdapat luka yang bersembunyi. "Mamanya Kakak gak pernah mau ketemu sama aku, tenang aja."
"Seora jangan bikin gue makin sedih ...," lirih Gara dengan wajahnya yang sudah mengkerut.
Seora tertawa kencang. "Kenapa sih, Kak? Apa yang perlu disedihin? Itu masa lalu, sekarang udah beda. Aku udah nerima semuanya, ikhlas. Aku gapapa," ujarnya bersungguh-sungguh.
"Jangan pergi ya. Tetep jadi adek gue, gue masih mau habisin waktu sama lo," pinta Gara memelas.
Seora tidak sampai hati menolak permintaan kakaknya. Lantas ia mengangguk. "Iya. Aku tarik kata-kata aku tadi. Aku masih mau ketemu Kakak."
Gara mengangkat tangannya dan mendarat di pucuk kepala perempuan itu. Ia mengusaknya pelan. "Kalo gitu gue pulang dulu. See you," pamitnya sebelum pergi menghampiri ojek online yang sudah ia pesan.
Perasaan takut dan sedikit amarah menguasainya saat ia menginjakkan kaki di rumah. Ia pikir orangtuanya sudah melupakan kejadian di mana Gara meminta mereka untuk jujur, namun kenyataannya tidak seperti itu.
"Gara, Papa sama Mama mau bicara sama kamu," ujar pria yang duduk manis di kursi ruang tengah.
"Tentang apa?" tanya Gara yang tengah melepas sweater.
"Tentang adik kamu."
Gara menghela napasnya. "Gak usah. Gara udah tau dari Seora," jawabnya dingin.
Mata pria itu melebar. "Dari mana kamu tau kalau dia ... di mana kamu ketemu dia?" tanyanya.
"Papa gak tau Seora sekolah di mana?" tanya Gara. Ia menatap pria itu tajam. Pria itu menggeleng, membuat Gara geram. "Aneh. Kok bisa gak tau sekolah anak sendiri di mana. At least nanya kek, gak ada tanggung jawabnya banget."
Pria itu beranjak dari kursinya. "Gara! Apa-apaan kamu! Kamu gak tau apa-apa! Duduk sekarang supaya Papa bisa jelasin yang sebenarnya!" perintahnya galak.
"Gara udah tau semuanya!" sentak lelaki itu seraya melempar tatapan tajam kepada kedua orangtuanya. "Udah, gak usah omongin ini lagi. Gara mau ke atas, mau tidur," ujar Gara lalu melenggang pergi ke kamarnya. Mengabaikan papa dan mamanya yang terus berusaha memintanya untuk keluar dari kamar.
Di atas kasurnya Gara membenamkan wajahnya dengan bantal. Ia harus segera menerima semua ini atau kehidupannya akan berantakan. Semuanya hanya masa lalu, seharusnya tidak memberikan dampak apa pun untuknya.
Kalau Seora bisa menerima semua ini, Gara juga harus bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Évasion : To Another Dimensions
FantasySemuanya terulang, beberapa dari mereka terlihat familiar, kali ini nama mereka tidak berubah, tapi ingatan mereka menghilang. Mereka melupakan tujuan utama mereka. Bagaikan sebuah robot yang diriset ulang dan diatur untuk melakukan tugas yang baru...