30. Lawan

79 23 9
                                    

"Jangan bunuh saya, Mbak. Saya juga sama kalian, saya cuma main game ...."

Pria tua yang awalnya sedang beristirahat terbangun dan menjelajah seisi UFO hingga akhirnya memilih untuk menghampiri ruang utama dan diam-diam menguping pembicaraan anak-anak muda di dalam yang ingin mengeksekusinya.

"Hah?!" Aisy dan Reo beradu tatap dengan mulut yang menganga. Benarkah? Orangtua itu juga manusia biasa yang tertarik dengan permainan yang dianggap buang-buang waktu oleh kebanyakan orang dewasa?

"Jiwa muda saya kayaknya masih melekat, jadi saya tertarik sama game ini," ujar pria itu kikuk.

"Gimana ini, Kak?" tanya Reo berbisik. Aisy hanya menggeleng, ia tidak pernah membayangkan kalau seorang pria dewasa yang mungkin seumuran dengan ayahnya ada di dalam permainan ini.

"Yaudah ayo masuk dulu aja deh, Pak," ujar Reo. Ia memimpin jalan pria itu untuk bertemu Nathan. Begitu ia tiba di meja bundar, semua mata terpaku padanya dan Pak Logan.

"Kok dibawa ke sini?" tanya Nathan.

Reo mendekati Nathan dan menjelaskan semua kejutan ini. Bahkan Nathan sendiri tidak percaya. "Bapak beneran dari dunia asli? Bukan orang ciptaan pak Azri?" tanya Nathan kepada pria itu.

Walaupun Pak Logan sudah mengangguk, Nathan belum bisa percaya semudah itu. Mungkin saja ini sebuah tes atau tantangan bagi para pemain agar lupa dengan kata terlarang dan berakhir tidak sengaja menyebutkan kata itu.

"Saya beneran dari dunia asli, Nak. Tolong jangan bunuh saya, saya mau pulang," pinta pria itu memelas.

Nathan memijat pelipisnya, mengurangi rasa frustrasi serta rasa bingungnya. Beginilah risikonya kalau mereka menyadari ini hanya mimpi, mereka tidak bisa mengesampingkan rasa iba mereka dan misi pun berujung terbengkalai.

"Gue punya ide!" seru Gara seraya menggebrak meja bundar. Semuanya spontan menoleh ke arahnya. "Nanti pake alat teleport punya Nathan terus kita kasih sisa bunga aureolus kita ke pak Azri, gimana?" usulnya dengan mata yang berbinar.

"Bener juga!" sahut Kian. "Jujur aja gue beneran kecewa sama dia. Gue udah gak peduli kalo ini termasuk pembunuhan atau bukan, lagian ini juga bukan dunia asli," lanjutnya.

Kian menyenggol lengan Ison yang sedari tadi terlihat pucat dan suram. "Son, gimana? Setuju gak?" Lo kenapa diem aja?" tanyanya khawatir.

Perlahan Ison menatap Kian, ia meneguk ludahnya sebelum berbicara. "Yan ... kok gue ngerasa gak aman ya di sini?" ujarnya lirih. Tangannya meremas celana piyamanya erat.

Hera yang duduk di samping Ison tidak sengaja mendengarnya, ia mendekati lelaki itu. "Gimana, Mas? Gak aman kenapa?" tanyanya. Ia tidak sedikitpun merasa ada ancaman di tempat ia berdiri.

"Gue gak tau gimana jelasinnya, tapi gue yakin banget kita gak aman. Sebentar lagi," jelas Ison membuat Kian dan Hera semakin sulit untuk berpikir positif. Ditambah dengan wajah Ison yang semakin mendukung kalau sebentar lagi akan ada bahaya.

Elira tidak bisa melakukan apa pun selain menutup telinganya. Ada suara ribut yang semakin lama semakin mendekat. Benar apa yang Ison katakan, ada bahaya yang akan datang.

"Mas Kian, gimana ini?" tanya Hera mendesak.

Suara dentuman di luar ruangan mengejutkan semua orang di sana. Mereka semua menjerit ketakutan. Terkadang terjadi guncangan kecil membuat mereka kehilangan keseimbangannya. Benar apa yang Ison katakan, mereka sedang dalam bahaya.

"Nathan! Ini ada apa?!" tanya Zale. Ia berlindung di bawah meja bersama dengan Sheva dan Elira.

"Gue lupa kalo kita punya lawan! Ini kayaknya lawan kita mau ngambil kalian semua yang punya jiwa emas!" jelas Nathan di tengah kerusuhan yang terjadi.

Évasion : To Another DimensionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang