Rasa nyeri menyerang kepalanya, Hera berusaha membuka matanya melawan sinar lampu yang mengarah tepat ke matanya. Udara di tempat ia berada terasa dingin seperti di kamar rumah sakit.
"Hera, you okay?"
Suara itu membuat tubuhnya membeku untuk beberapa saat. Ia mengusak matanya lalu menoleh ke arah suara itu. Samar-samar seorang lelaki terlihat sedang memandanginya intens.
Hera mengenalinya. Tiba-tiba semua yang ia lewati selama ini runtuh di kepalanya, fakta-fakta yang sebenarnya tentang kehidupan asli kembali muncul. Ia bukanlah Hera anggota Aureolus, melainkan Hera murid SMA Belamour.
"Reo? Reo!" Dengan cepat Hera menegakkan tubuhnya sehingga kepalanya kembali merasa nyeri. Ia mencengkeram rambutnya dan mengaduh kesakitan. "Reo ... sumpah jangan pergi ke mana-mana lagi please. Kalo lo ada masalah ngomong ke gue, gue bisa bantuin lo, Reo," gumamnya setengah sadar.
Reo sempat terperangah mendengar kalimat yang Hera ucapkan. Ia mengelus kepala perempuan itu pelan. "Hera ... iya gue di sini terus. Ayo sekarang tenangin diri lo dulu," ujarnya lembut.
Perlahan Hera mengatur napasnya, ia mengamati ruangan asing di sekitarnya. Ada rekan-rekannya yang sekarang juga terasa asing karena mereka bukanlah orang yang Hera kenal di dunia asli.
"Hera ... kita temen, 'kan?" tanya Zale lirih, kedua tangannya mengarah ke depan demi melindungi dirinya. Khawatir emosi Hera akan meledak seperti Aisy.
Hera mengangguk pelan. "Iya, Mbak Zale." Ia kembali memandangi lelaki di sampingnya, napasnya terengah namun perasaannya lega. Ia berhasil menemukan orang yang ia cari.
"Kamu ... apa kabar, Hera?" tanya Reo pelan.
Hera tersenyum sumringah. "Baik, baik banget setelah ketemu kamu, Babe." Tangannya menggenggam tangan Reo erat, matanya yang setengah tertutup karena senyumnya yang lebar membuat Reo tak kuasa menahan senyumnya.
"Balikan ceritanya?" tanya Roman menginterupsi.
Hera dan Reo kompak menoleh ke arah Roman lalu kembali saling bertatapan satu sama lain. Mereka tidak menjawab pertanyaannya, namun dalam hati mereka, mereka tahu betul bagaimana hubungan mereka ke depannya.
Satu persatu anggota Aureolus mulai terbangun. Nathan mengarahkan mereka berkumpul di ruang utama yang luas. Mereka duduk di kursi yang menghadap ke meja bundar yang besar.
"Jadi gimana? Siapa aja yang udah sadar?" tanya Nathan sambil mengedarkan pandangannya. Beberapa dari mereka mengangkat tangannya, dan yang lainnya terlihat kebingungan.
"Sadar apa? Ini gue sadar kok, buktinya gue buka mata" balas Niran angkuh.
Zale tertawa geli. "Bukan itu, Nir. Sadar yang lain." Ia memalingkan wajahnya ke arah Nathan. "Jelasin sekarang aja, Nath," perintahnya.
Nathan sedikit ragu untuk memberi tahu kebenarannya. "Tapi kalo gue ngasih tau, nanti—"
"Kasih tau aja buruan. Gue gak suka dibikin bingung kayak orang bego," sela Kian ketus. Sedari tadi ia hanya melongo seperti anak kecil yang mendengarkan percakapan orang dewasa.
Nathan mengembuskan napasnya frustrasi. Dari mana ia harus mulai menjelaskan? Terlalu banyak sampai ia sendiri tidak yakin sanggup untuk menjabarkan semuanya dan memastikan tidak ada yang gagal paham.
"Kalian kenal Azriel? Atau biasa dipanggil pake nama panggungnya Mr. Laugh," tanya Nathan.
"Tau, dia pelawak yang hilang itu, 'kan?" balas Kian. Untuk beberapa saat ia tidak merasa ada hal yang aneh sampai ia merasa ada sesuatu yang mendorongnya untuk sadar, bukan sadar dalam
artian bangun namun sadar kalau ia berada di alam mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Évasion : To Another Dimensions
FantasySemuanya terulang, beberapa dari mereka terlihat familiar, kali ini nama mereka tidak berubah, tapi ingatan mereka menghilang. Mereka melupakan tujuan utama mereka. Bagaikan sebuah robot yang diriset ulang dan diatur untuk melakukan tugas yang baru...