"Please semoga bisa," gumam Elira yang tengah berjalan menuju pintu keluar laboratorium dengan tangan yang membawa beberapa anak panah yang terbuat dari kaca dan busur panah yang terbuat dari besi untuk dicoba oleh Tim Brain.
Beberapa langkah lagi menuju pintu keluar, seseorang menarik kerah jas lab yang Elira kenakan. Lantas perempuan itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. "Apa sih?" tanyanya.
"Dibuka dulu dong jasnya," ujar Elios, pelaku yang menarik kerah jas Elira.
Elira hanya bisa tertawa kikuk menyadari kelalaiannya. "Hehe, sorry. Lupa mulu," ujarnya. Ia pun melepas jas labnya dan menaruhnya di lemari tempat menyimpan jas. Setelah itu Elira pergi menaiki lift menuju lantai 12, tempat di mana Tim Brain berkumpul.
Pintu lift terbuka, matanya tertuju kepada Radi yang berdiri dengan lutut yang disatukan dan sedang mengaduh kesakitan. Elira berjalan menghampirinya dengan pikiran yang penuh tanya.
"Rad, kaki lo napa pengkor style gitu dah? Emang masih jaman ya gaya kek begitu?" tanya Elira heran.
"Kurang ajar lo! Aset gue ditendang Rheginanjing!" pekik Radi penuh emosi membuat Elira tertawa terbahak-bahak. Egi si pelaku yang tidak sengaja menendang aset berharga Radi pun ikut tertawa seakan-akan dirinya tidak bersalah sama sekali.
"Gini nih kalo ngajarinnya gak ikhlas, jadinya aja kecelakaan, 'kan," ucap Egi.
"Gak ikhlas mata lo tiga?! Gue udah bela-belain bangun pagi cuma buat ngajarin lo anjir," bantah Radi. Pada akhirnya lelaki itu mengajari Egi bela diri aikido sejak jam 9 pagi tadi.
Elira hanya menggeleng pelan memperhatikan dua rekannya yang kini lanjut beradu mulut alih-alih beradu ilmu bela diri. "Eh by the way, mbak Zale mana si—astaga!" Belum selesai berbicara, yang dicari mendarat tepat di depan wajahnya dengan alat pelindung yang melekat di kedua sikunya dan lututnya.
"Asik! Udah bisa dipake nih ceritanya senjata lo?" tanya Zale tidak sabar untuk mencoba senjata yang Elira ciptakan.
"Ya ... gak tau. Ini makanya mau nyoba lagi. Nih cobain, Mbak." Elira memberikan busur serta anak panah yang ia ciptakan dibantu dengan rekan-rekan seniornya yang lain di laboratorium.
Elira dan Zale berjalan menuju arena khusus memanah yang terletak cukup jauh dari pintu masuk. Targetnya bukan target biasa yang dipakai saat memanah, tetapi targetnya berbentuk seperti sebuah kepala yang diletakkan di berbagai titik gedung imitasi yang berukuran kurang lebih tiga kali lipat dari tubuh anggota Aureolus.
Zale menaruh anak panah kacanya di busur dan mulai membidik ke salah satu kaca target yang berbentuk gedung itu. Setelah dirasa bidikannya tepat, ia melepas tali busurnya dan membiarkan anak panah melayang dengan kecepatan tinggi menuju arah bidikannya. Di tengah perjalanan sang anak panah menuju target, tenaga listrik serta cahaya muncul dari anak panah itu dan membakar properti tepat saat anak panahnya mendarat.
"Woah! Gila-gila! Elira gila!" pekik Zale terkagum melihat senjata rancangan Elira. "Emang paling kece dah lo!" serunya sambil merangkul Elira dan mengguncangkan tubuh perempuan itu.
"Eh! Gue juga mau dong!" seru Egi yang menyadari ada kobaran api di arena memanah. Perempuan itu berlari meninggalkan Radi yang awalnya sedang mengajari Sian aikido.
"Tar dulu! Tunggu api yang ini reda dulu!" balas Elira sambil memandangi properti memanah yang terbakar karena tenaga listrik dari anak panahnya yang terlalu kuat menggunakan air yang mengalir dari atap.
"Itu gapapa panahnya kena aer?" tanya Zale kepada Elira.
Perempuan berambut hitam panjang itu mengangguk. "Gapapa, gue sengaja bikin anak panahnya gak konslet kalo kena air. Gue juga udah ngatur pas kalian pegang, tangan kalian gak bakal ikut kebakar. Supaya nanti semisalnya ini anak panah beneran kepake, kalian gak ribet ngambilnya. Gue juga udah bikin alat pengisi daya anak panahnya biar bisa dipake berulang-ulang, soalnya kalo bikin lagi rada makan duit, Mbak hehe," jelas Elira panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Évasion : To Another Dimensions
FantasiSemuanya terulang, beberapa dari mereka terlihat familiar, kali ini nama mereka tidak berubah, tapi ingatan mereka menghilang. Mereka melupakan tujuan utama mereka. Bagaikan sebuah robot yang diriset ulang dan diatur untuk melakukan tugas yang baru...