"Gue masih gak ngerti sama apa yang kalian bilang," ujar Gara.
"Aku juga," sahut Sheva dengan raut wajah yang ketakutan. Orang baru dan tempat baru yang ia lihat membuatnya khawatir kalau dirinya ternyata sedang dalam bahaya.
Roman berjalan mendekati dua orang yang belum sadar itu. "Gara, Sheva. Kalian gak inget sama Ragair Academy? Tempat kita semua mati-matian buat—"
"Jangan dipaksa." Ucapan Roman disela oleh Nathan. Lelaki itu kini mengambil alih pembicaraan. "Gak semua orang mau sadar di mana mereka sebenernya. Biarin aja mereka nikmatin semua ini," ujarnya memberi nasihat.
"Tapi tujuan kami ini sama, Nath. Kami mau selamatin orang yang gak berhasil di Ragair Academy," debat Egi sampai beranjak dari kursinya agar keberadaan terlihat jelas.
Nathan mendengus, ia tidak mengerti kenapa ada manusia yang mau merepotkan diri sendiri hanya untuk menyelamatkan orang lain. "Tetep aja, biarin dia sadar sendiri. Belum tentu juga kalian bisa ketemu sama orang-orang yang mau kalian selamatin."
Ucapan Nathan membuat Egi dan yang lainnya pesimis. Apakah benar ia tidak akan bisa bertemu dengan temannya sampai ia kembali terbangun? Apa jadinya kalau orang-orang yang mereka cari tetap terjebak dalam dunia mimpi ini?
"Emang sistem permainan ini gimana sih? Lo juga kenapa keliatannya ngerti banget sama permainan ini?" tanya Radi penuh curiga.
"Gue udah veteran di sini. Gue udah sering ketemu banyak orang bahkan udah sering ngerusak dunia yang Mr. Laugh ciptain gara-gara keceplosan nyebutin kata terlarang," jawab Nathan. Ia menghela napasnya, ini sudah kesekian kalinya ia menghabiskan waktunya hanya untuk menjelaskan permainan Évasion.
"Évasion awalnya tempat buat orang yang mau lari dari realita kehidupan aslinya, tapi makin sini orang-orang cuma dateng ke sini gara-gara Évasion lagi ngetren."
Nathan mengedarkan pandangannya. "Coba aja kalian inget-inget, kehidupan kalian di sini sama di dunia asli sama gak?" tanyanya menantang.
"Beda sih ... di sini gue jadi orang kaya, di dunia asli gue lagi kesusahan buat lanjutin hidup gue gara-gara gak punya uang," ujar Kian sendu.
"Gue juga di dunia asli gak sebahagia di sini. Gue baru aja ditinggal pergi adek gue dan semua orang nyalahin gue, padahal kalo aja gue bisa berkehendak, gue mau tukeran nasib sama adek gue."
Pengakuan Ison sedikit menyentuh hati yang lain terutama Hera dan Niran. Tidak mereka sangka kalau Ison hanyalah seorang kakak yang merindukan adiknya, pantas saja mereka dipertemukan di dalam mimpi dan memiliki hubungan layaknya saudara.
"Ya ampun, Mas. Kita tukeran nomor telepon dah, nanti kita ketemuan ya pas udah bangun," ujar Niran sambil menepuk pundak Ison beberapa kali.
"Lo gapapa, Kak?" tanya Egi begitu menyadari kalau Elira sedari tadi hanya diam menunduk, wajahnya pun suram.
Perlahan perempuan berambut pendek itu mendongak. "Gue percaya kalau ini bukan dunia asli, tapi gue gak bisa inget siapa gue di dunia asli. Gimana kehidupan gue di dunia asli juga gue gak inget," ujarnya cemas.
"Gak masalah. Itu tujuan kebanyakan orang yang masuk ke sini, untuk lupain kehidupan mereka," ujar Nathan. Lagipula tidak seharusnya ia membuat orang-orang di sini mengingat kehidupan asli mereka, tapi beberapa dari mereka memaksa untuk menjelaskan tentang permainan ini.
"Pantesan gue bisa ketemu mama gue di sini," gumam Elios yang mungkin tidak ada yang bisa mendengar kecuali dirinya sendiri. Mengetahui kalau selama ini ia hanya memimpikan ibunya sedikit membuatnya kecewa.
"Intinya sekarang gue harus selesain misi gue, kalian mau balik lagi apa gimana? Gue bisa suruh Reo buka portalnya lagi kok," ujar Nathan.
"Gak usah, kita di sini aja. Lagian Aureolus udah dibubarin," balas Kian ketus. Ia masih kesal dengan Pak Azri yang membuat keputusan egois itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Évasion : To Another Dimensions
FantasySemuanya terulang, beberapa dari mereka terlihat familiar, kali ini nama mereka tidak berubah, tapi ingatan mereka menghilang. Mereka melupakan tujuan utama mereka. Bagaikan sebuah robot yang diriset ulang dan diatur untuk melakukan tugas yang baru...