"Rhegina! Lo yang bener aja?!" Kian memandangi pintu rumahnya yang hancur karena perempuan yang ia teriaki namanya tadi. Untung saja mereka sudah berpindah dari rumah tempat keluarga Kian tinggal. "Makanya gue bilang apa, mending kita di lapangan."
Egi tersenyum kaku. "Maap, Mas. Gue mana tau kalo kekuatan gue nyembur laser panas begini." Ia mengepalkan tangannya, khawatir kekuatannya keluar tanpa aba-aba.
"Roman! Lo pilih gue gebuk apa gue giling?" ancam Radi yang sejak tadi dipusingkan oleh Roman karena lelaki itu tidak hentinya berlari dengan kecepatan di atas rata-rata mengelilinginya. Bahkan Radi sudah merasa mual sekarang.
"Bang Roman! Lari boleh tapi jangan nubruk-nubruk gue bisa gak?!" seru Niran kesal. Dihantam dengan kecepatan tinggi seperti itu memberikan rasa sakit yang bukan main.
Tidak diduga, Roman berhenti saat itu juga dan diam tegak. "Tumben nurut lo sama gue," ujar Niran bangga. Ia menoleh ke arah meja kecil yang dipenuhi dengan gelas-gelas dan camilan. Pandangannya beralih pada Sheva yang duduk di dekat meja itu.
Belum Niran berbicara pada perempuan itu, Sheva bergerak mengambil segelas es jeruk dan beberapa buah biskuit dan memberikannya pada Niran. Tak lama Sheva tersadar dengan apa yang ia lakukan barusan.
"Hah! Kok aku ngasih Niran minuman sama makanan sih?" ujar Sheva heran. Di lubuk hatinya yang terdalam ia tidak terpikirkan sedikit pun untuk berbaik hati pada lelaki itu.
Niran menyunggingkan senyum liciknya. "Kayaknya gue udah tau kekuatan gue apa," ucapnya sambil menatap yang lainnya. Rasanya seperti baru saja menjadi manusia yang paling kuat semuka bumi, kini tidak ada yang perlu Niran takuti.
"Nir, pake kekuatan lo buat yang baik-baik. Ini amanah dari Tuhan lo," titah Ison sebelum bocah itu bertingkah di luar nalar dan merugikan mereka semua.
"Iyaaa, Mas. Pada takut amat sih ah," ujar Niran sambil menyesap es jeruk dengan nikmat.
Pekikan Gara mencuri perhatian mereka semua. Lelaki itu memandangi Hera dengan wajah yang suram ketakutan. "Hera kok kepalanya ilang?!"
Bukan hanya kepala, lama kelamaan seluruh anggota tubuh perempuan itu tidak terlihat. "Ternyata kekuatan gue begini, guys!" seru Hera kegirangan. Ia menepuk pelan pundak Gara sampai lelaki itu memekik ketakutan lagi. "Bang Gara! Ini Hera elah, bukan setan!"
"Tetep aja! Serem anjir," gerutu Gara. Ia kembali fokus dengan dirinya sendiri, berusaha mencari tahu apa efek dari bunga aureolus yang telah ia konsumsi.
"Lir? Pusing?" tanya Elios begitu ia menyadari Elira memegang kepalanya dengan kedua tangannya dan sedikit menunduk. "Guys, jangan berisik dulu dong," pinta lelaki itu kepada yang lain.
"Kenapa, Kak Lir?" tanya Egi dari jauh, ia belum cukup berani mendekat dengan teman-temannya.
Elira menggeleng pelan. "Gue cuma pusing. Gue kayak denger semuanya, suara orang-orang yang gak ada di sini, suara kucing, suara burung ... semuanya," ujarnya lirih.
"Pasti itu kekuatan Kak Lir, jadi lebih peka sama suara. Mending mulai sekarang kita jangan berisik, kasian Kak Lir," usul Egi. Ia mengalihkan pandangannya pada Niran. "Nir! Pake tuh kekuatan lo!" perintahnya mendesak.
Niran yang belum sepenuhnya menguasai kekuatannya berusaha untuk memberi perintah lewat pikirannya agar semuanya lebih tenang dan tidak berbicara dengan volume keras.
"Rad, lo gimana? Udah tau?" tanya Gara penasaran karena ia sendiri belum mengetahui apa kekuatannya. Ia memandangi Radi yang sibuk menoleh sana-sini mencari sesuatu.
"Not sure ... tapi tadi gue kayaknya nemu. Kayak some kind of telekinesis?" ujar Radi. Beberapa waktu sebelumnya ia berhasil memindahkan kotak tissue tanpa menyentuh walaupun sedikit sulit.
Masing-masing dari mereka berusaha mencari tahu apa kekuatan mereka. Mereka yang sudah mengetahui kekuatannya belajar untuk mengontrol dan menguasai kekuatannya agar tidak lepas kendali.
"AKH!" Pekikan kencang Elios mengagetkan seluruh orang di rumah itu. Mereka menoleh ke arah lelaki itu, mendapati Elios yang meringkuk lemas dan Elira yang terdiam kaku memandangi kedua tangannya.
"Elios kenapa?" tanya Kian khawatir. Perlahan ia menghampiri Elios, memeriksa apakah ada luka di tubuhnya. Hasilnya tidak ada sama sekali, lantas ia menoleh ke arah Elira. "Elios kenapa, Lir?"
Elira perlahan mendongak, memberikan Kian tatapan cemas sekaligus takut. "Mas ... kayaknya tadi gue nyetrum deh," ujarnya lirih. Ia bisa melihat percikan listrik yang mengalir dari telapak tangannya saat ia hendak menyentuh pundak Elios.
Spontan yang lainnya berdecak heran. Beberapa dari mereka bahkan belum tahu apa kekuatannya, tetapi Elira sudah mendapatkan dua, namun bukan berarti Elira senang dengan hadiah yang ia dapatkan, ia mendapatkan beban untuk menguasai dua kekuatan itu.
"Kalo gini mah tembakan listrik yang Elira bikin udah gak guna, tinggal pake tangan sendiri aja," celetuk Roman.
"Gapapa, Kak Lir. Kan gak sengaja." Sheva menghampiri Elira yang terlihat sangat merasa bersalah karena sudah menyakiti Elios. Tanpa rasa takut sama sekali ia merangkul Elira dan mengelus pundaknya.
Kian mengantar Elios untuk beristirahat di dalam kamarnya. Setelah itu ia kembali berkumpul dengan yang lain. "Lanjut besok aja kali ya, guys? Lagian tujuan kita makan bunga aureolus kan buat ketemu sama Zale, bukan buat dapetin kekuatan," ujarnya.
"Bener sih, Mas. Yaudah deh Hera mau ganti baju dulu," ujar Hera beranjak pergi dari tempatnya lalu mengambil piyama di tasnya.
Egi perlahan mendekat kembali kepada teman-temannya, ia juga bersiap untuk istirahat. Semoga saja kekuatannya tidak keluar tanpa izin saat tertidur nanti.
Kian berjalan menuju kamarnya, entah kenapa langkahnya terasa lebih ringan, bahkan terasa seperti melompat. "Gue gak sabar banget ketemu Zale. Apa kabar coba dia?" ujar Kian lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur bersama Ison dan Niran.
Niran menyenggol lengan Kian pelan. "Kangen ya, Mas?" tanyanya mengejek.
"Emangnya kalian gak kangen?" tanya Kian kembali.
"Ya kangen lah," timbrung Ison. Sudah lama ia tidak mendengar omelan Zale atau merasakan pukulan Zale yang super menyakitkan. Aureolus terasa sepi walau hanya kurang satu orang.
"Bayangin ternyata mbak Zale gabung sama sekte-sekte terus jadi berubah penampilannya," ujar Niran sembarangan.
Kian mengusak rambut Niran. Omongannya selai saja tidak masuk akal. "Gak usah ngaco."
Malam itu, mereka tidak ada hentinya menerka apa yang akan terjadi esok hari atau tengah malam nanti. Apakah mereka akan dibawa pergi ke tempat yang sama seperti Zale? Seperti apa tempatnya? Sejauh apa mereka akan pergi?
Sama seperti malam sebelum hilangnya Zale, sebuah sinar muncul di langit-langit kamar. Menyadarkan seseorang dari tidurnya yang merasakan ada bahaya akan datang. Ia memandangi sinar itu sesaat.
"Kian! Niran! Bangun buruan!" Ia berusaha membangunkan semua anggota Aureolus yang lain. Ia pergi ke kamar yang lain, menemukan sinar yang sama seperti di kamarnya. Perlahan sinar itu seperti menghisap semua temannya dan melayang termasuk dirinya sendiri.
Di udara ia terus berusaha menyadarkan teman-temannya. Namun semakin lama kesadarannya menipis, untuk membuka mata saja ia tidak sanggup. Satu hal yang ia tahu saat itu, ia dan dirinya sedang dalam bahaya.
○●
KAMU SEDANG MEMBACA
Évasion : To Another Dimensions
FantasySemuanya terulang, beberapa dari mereka terlihat familiar, kali ini nama mereka tidak berubah, tapi ingatan mereka menghilang. Mereka melupakan tujuan utama mereka. Bagaikan sebuah robot yang diriset ulang dan diatur untuk melakukan tugas yang baru...