Semenjak mereka menginjakkan kaki di bumi, Zale merasa tidak tenang. Ia tidak bisa berdiam diri menunggu Hera selesai meracik teh yang diberi kandungan bunga aureolus.
"Kenapa, Zal? Gak usah khawatir, kita pasti bisa selesain misi ini," ujar Kian.
"Iya sih, tapi gue gak yakin ... ini gue bukannya mau ngajak lo overthinking ya, cuma ya gitu deh," ujar Zale tidak jelas. Jarinya mengelupas bibirnya tidak tenang, entah kenapa ia merasa rencana ini tidak akan berjalan mulus.
Kian beranjak dari kursi mendekati Zale, tangan Kian mendarat di pucuk kepala Zale. "Iya gue ngerti. Pokoknya kita lakuin aja apa yang kita bisa buat pulang dari sini," ujarnya lembut.
Zale menatap lelaki di sampingnya. Kalau ia terbangun, ia tidak akan lagi bertemu dengan Kian dan yang lainnya. Padahal ia sudah cukup bahagia dikelilingi orang-orang seperti mereka.
"kenapa ngeliatin?" tanya Kian.
"Enggak," balas Zale. Perempuan itu memalingkan wajahnya dari Kian, memilih untuk memandangi ubin ruang tamu. "Pas semuanya selesai berarti kita semua bakalan pisah ya?" tanyanya pelan.
Pandangan Kian perlahan melunak. "Ya ... mau gak mau. Mungkin kalo ada kesempatan kita bisa ketemu lagi," ujar Kian memberi harapan. Sebenarnya ia juga masih ingin berlama-lama di dunia mimpi yang indah ini.
"Udah jadi nih, ayo." Hera datang membawa satu termos berisi teh yang sudah dicampur dengan bunga aureolus. Mereka meninggalkan rumah dan masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh Pak Logan.
"Saya masih gak nyangka loh ternyata Bapak sama kayak kita," celetuk Hera kepada Pak Logan.
"Ya ... biasalah. Jiwa muda saya penasaran," ujar Pak Logan sambil tertawa kecil.
"Pasti anak Bapak juga kayak Bapak nanti, gampang kepo hahaha!" timpal Hera lagi.
Butuh waktu sekitar 30 menit dari rumah Kian menuju Gedung Ragair. Kini mereka melangkah masuk ke dalam, Pak Logan pergi menghampiri Pak Azri sedangkan Kian, Zale, dan Hera menunggu di lobi.
Dengan termos di tangannya, Pak Logan menyusuri lorong menuju ruang Pak Azri yang dingin. Ia mengetuk pintu beberapa kali. Tak lama seorang pria muncul di hadapannya, wajahnya terlihat kaget.
"Pak Logan? Dari mana saja anda?" tanya pria itu, Pak Azri. Lantas ia membuka pintu lebih lebar lagi, mempersilakan sang presiden yang sempat hilang untuk masuk.
"Maaf sempat menghilang. Saya ke sini membawa sedikit oleh-oleh untuk anda," ujar Pak Logan sambil meletakkan termos yang ia bawa di atas meja kaca. Ia duduk di sofa berhadapan dengan Pak Azri.
"Begitu kah?" Pak Azri memandangi termos itu, ia mengambil cangkir dan menuangkan teh yang ada di dalam termos. "Ke mana anda selama ini? Saya sangat khawatir."
Pak Logan tertawa canggung. "Ya ... berlibur."
Tatapan Pak Logan semakin menajam memandangi Pak Azri yang mulai mengangkat cangkir tehnya. Lama kelamaan cangkir itu bergerak mendekati mulut Pak Azri.
Tepat saat cairan itu hendak masuk ke dalam mulutnya, pria itu memiringkan cangkirnya sehingga semua air teh di dalamnya tumpah membasahi lantai. Kejadian yang sangat tidak diduga bagi Pak Logan.
Pria tua itu tersentak, matanya membulat dan tubuhnya spontan bergerak mundur. "Kenapa, Pak? Apa ada yang tidak beres dari minumannya?" tanya Pak Logan menutupi rasa paniknya.
Pak Azri meletakkan cangkirnya dan tersenyum simpul memandangi Pak Logan. "Tidak usah repot-repot. Saya bisa mengembalikan kalian tanpa menyelesaikan misi. Panggil yang lain ke sini!" perintahnya terdengar tidak ingin dibantah sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Évasion : To Another Dimensions
FantasySemuanya terulang, beberapa dari mereka terlihat familiar, kali ini nama mereka tidak berubah, tapi ingatan mereka menghilang. Mereka melupakan tujuan utama mereka. Bagaikan sebuah robot yang diriset ulang dan diatur untuk melakukan tugas yang baru...