"Kalo gue bilang sekarang kita kejebak di sini lo bakal pingsan gak?" ujar Zale mendecit di ujung kalimatnya.
Hera mengerjapkan matanya, berusaha menenangkan sel-sel di otaknya yang tengah menjerit dan berlarian ke sana ke mari mencari pertolongan. Napasnya ia atur setenang-tenangnya.
"Mbak ... gak lucu banget bercandanya," balas Hera lalu tertawa canggung. Ia mencoba menekan tombol lift sekali lagi dan berharap pintu segera terbuka. Tapi nihil, pintu tidak kunjung terbuka.
Lutut Hera lemas, ia terduduk di depan lift dengan tangan yang berpindah memeluk kaki Zale, rasanya nasib hidupnya berubah sekejap mata. "Kalo kita kejebak di sini selama-lamanya gimana, Mbak?" tanyanya dengan suara yang bergetar.
"Hush!" Zale menghentikan kalimat Hera sebelum perempuan itu semakin mengatakan hal yang berlebihan. "Yaudah mending sekarang kita jalan ke sana aja gimana? Siapatau di sana ada tangga darurat," ajaknya sambil mengarahkan sinar ke arah pintu di seberang sana.
"Tar dulu!" Hera mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Sheva. Tapi sayang, tidak ada sinyal sama sekali untuk menghubungi Sheva ataupun yang lainnya.
"Yaudah deh." Hera kembali bangkit dan berjalan bersama Zale menuju pintu. "Kenapa liftnya selalu begitu sih? Tadi kata kak El juga mereka harusnya berempat tapi jadinya cuma berdua gara-gara liftnya tiba-tiba nutup sendiri," tutur Hera bertanya-tanya.
"Gue gak tau, jangan tanya gue," balas Zale. Ia paling malas menerka sesuatu yang tidak jelas seperti kejadian lift tadi. Lebih baik ia menjelajah lantai 8 saja.
Tiba di depan pintu, mereka terdiam sebentar. Mengambil napas setelah berjalan dari ujung ke ujung. Udara dingin yang entah bagaimana bisa muncul seakan-akan menusuk tulang mereka.
"Mbak masuk duluan," pinta Hera.
Zale menghela napasnya. Ia memutar kenop pintu dan mengintip dari sela-sela pintu. Ia melihat beberapa pintu berjendela lain di dalam sana yang entah akan menembus ke mana. Ia menggenggam lengan Hera dan membawanya masuk ke dalam.
Si tertua mengintip jendela salah satu pintu yang dekat di tempat ia berdiri. Pemandangan yang sama seperti apa yang Elios dan Roman lihat, namun Zale tidak merasa pernah melihat orang-orang itu.
"Liatin apaan, Mbak?" tanya Hera. Otomatis ia ikut mengintip. Alisnya spontan bertaut. "Kayak pernah liat, tapi di mana ya?" ujarnya.
"Lo pernah liat, Her?" tanya Zale.
Hera mengerucutkan bibirnya dan menusuk pipinya dengan jari telunjuk. "Gak tau sih, tapi kayak gak asing. Mbak juga pernah liat?"
Zale lantas menggeleng. "Gak pernah sama sekali. Lagian aneh banget gila itu, lo pernah ketemu di mana sama orang yang serba tertutup gitu?"
"Ya gak tau, tapi perasaan kayak pernah liat gitu loh, Mbak," balas Hera. Ia juga tidak mengerti kenapa otaknya berpikir kalau dirinya pernah melihat orang-orang dengan masker hitam dan kacamata hitam itu.
"Ayo lanjut jalan aja." Zale memimpin untuk maju ke depan, matanya melirik setiap jendela pintu. Hingga sampai ia menemukan satu ruangan yang tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Ia mendekati pintu itu dan masuk ke dalam bersama Hera.
Sebuah monitor besar yang menempel di dinding semakin menarik perhatian mereka. Rasa penasaran Zale menggebu-gebu. Ia memandangi apa yang terpampang di layar monitor itu. Rekaman-rekaman dari berbagai tempat ditampilkan.
"Ragair Academy? Ada juga sekolahnya?" tanya Zale saat ia melihat rekaman sebuah gedung sekolah. Ia mencoba menyentuh layar, begitu jarinya bertemu dengan layar, banyak bagian lain yang muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Évasion : To Another Dimensions
FantasySemuanya terulang, beberapa dari mereka terlihat familiar, kali ini nama mereka tidak berubah, tapi ingatan mereka menghilang. Mereka melupakan tujuan utama mereka. Bagaikan sebuah robot yang diriset ulang dan diatur untuk melakukan tugas yang baru...