24. Day One

87 25 0
                                    

"Jadi kerjaan lo pada cuma belek dada orang terus mantengin monitor?" tanya Zale.

Tiga orang di hadapannya mengangguk. "Gampang, 'kan? Kenapa kamu harus kami paksa dulu sih?" tanya Isa heran. Padahal banyak keuntungannya jika makhluk bumi itu bergabung dengannya.

Zale mendengus kesal. Mengingat nyawanya sempat terancam karena ia bersikeras untuk tidak bergabung di Astrola jika ia tidak dipertemukan dengan 11 temannya membuat kembali gusar.

"Ngomong-ngomong nih, lo pada punya baju lebih gak? Minder gue berdiri sama kalian yang kayak mau fashion show," ujar Zale sambil memandangi pakaian tiga anggota Astrola yang sangat nyentrik, berbeda dengan dirinya yang hanya memakai piyama.

Lantas Isa berjalan dari ruang utama menuju kamarnya, ia menyuruh Zale untuk mengikutinya. Naik tangga satu kali dan berjalan sekitar 1 menit, mereka pun tiba di kamar Isa. Kamar dengan nuansa biru muda dan terang sehingga tidak terlihat suram.

Untuk berdecak kagum saja Zale sudah lelah. Semua ruangan di dalam UFO ini sangat cantik. Seperti di gedung yang memakan banyak uang untuk membangunnya. Ia duduk di atas kasur dan menunggu Isa mengambilkannya pakaian.

"Pakai ini aja." Isa menyodorkan sebuah dress bahan kulit berwarna merah marun. Bagian pinggangnya menyempit dan bisa dipadukan dengan gesper. Serta sepatu boots hitam yang menutupi betis.

"Thank youuu," ucap Zale sambil memeriksa pakaian yang ia dapatkan. "Ruang ganti di mana?"

"Di sini aja." Mendengar jawaban singkat itu membuat Zale membelalakkan matanya.

"Yakali di sini. Walopun lo cewek gue juga malu kali, lagian takut juga temen-temen lo—" Belum selesai Zale berbicara. Isa menghentakkan kakinya dua kali, seperti sihir, sebuah tabung menutupi seluruh tubuh perempuan itu.

Zale mengerjapkan matanya. "Anjir ... indahnya kemajuan teknologi." Ia melakukan apa yang Isa lakukan. Menghentakkan kakinya lalu menunggu sebuah tabung muncul dari langit-langit kamar untuk menutupi tubuhnya.

Pakaian yang Isa berikan sudah terpasang sempurna di tubuh Zale. Ia memeriksa penampilannya dari pantulan tabung. "Cantik banget gue." Ia mengetuk pelan tabungnya. "Mbak! Ini cara keluar—" Lagi-lagi ucapannya terpotong. Tabung yang awalnya menutupi tubuhnya lantas menghilang.

Saat itu juga Zale mengerti. "Ooh, diketok."

Isa meninggalkan kamarnya, otomatis Zale juga mengikuti perempuan itu. Mereka pergi menuju ruang monitor yang sempat mereka datangi sebelum Zale mengganti pakaiannya.

Pintu ruangan monitor otomatis terbuka, namun sekeliling mereka hanya tembok. Monitornya berada jauh di atas. "Ini cara kita mantengin monitornya gimana?" tanya Zale sambil mendongak.

Isa menekan tombol yang tersembunyi di balik tembok. Sebuah kursi bulat yang mengambang lama kelamaan turun mendekati mereka. "Duduk aja, nanti kursinya bawa kamu ke atas," jelas Isa singkat.

Zale membelalakkan matanya. "Gile, kalo gue jatoh gimana?"

Isa menggeleng. "Udah naik aja." Ia duduk di kursi miliknya, begitu juga dengan Zale walaupun perempuan itu belum sepenuhnya yakin kursi itu aman. Mereka perlahan melambung ke udara dan berhenti tepat di depan monitor.

Zale duduk di kursi empuk itu, memandangi monitor yang menampilkan berbagai daerah di bumi. Entah bagaimana cara mereka menaruh kamera di banyak titik, Zale tidak mau menghabiskan waktu untuk memikirkan itu.

Zale menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. "Ini temen-temen gue pada nyariin gue gak ya?" gumamnya penasaran. Muncul setitik rasa rindu di benak Zale terhadap 11 temannya.

Évasion : To Another DimensionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang