30.🍊

240 31 1
                                    


cinta itu tak perlu dikerjar mati-matian. Bukan berarti kamu lemah atau tak mau berjuang, melainkan cinta itu tau siapa, dimana, pemiliknya.

****

Setelah sekian lama, kata-kata ini ditujukan kepada Reza. Akhirnya kaki kokoh anak itu berdiri didepan rumah yang bisa di bilang ramah lingkungan itu, karena ditumbuhi banyak tanaman-tanaman hias di sekelilingnya.

Sedari tadi, anak itu memandangi sekeliling rumah sang nenek. Seperti Dejavu ke beberapa tahun yang lalu, rasanya sangat sulit dijelaskan. Terdapat beberapa memori-memori yang tiba-tiba berputar di otaknya, membuat anak itu tersenyum simpul, merasakan kerinduan yang begitu mendalam.

Rumah masa kecilnya belum berubah. Semuanya masih terasa sama, hanya saja ada beberapa pohon yang kini sudah tumbuh menjulang dibanding kan dengan dahulu. Tempat duduk yang melingkar di bawah pohon beringin masih ada disana, hanya saja ada beberapa bagian yang tertutup oleh akar.

"Gimana?" Wanda menaikkan sebelah alisnya.

"Semuanya masih terasa sama. Nyaman"

Wanda tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapih. Ia hendak menggandeng tangan Reza, namun urung karena adiknya itu sudah lebih dulu melangkahkan kakinya ke dalam rumah.

Lantas ia menggelengkan kepalanya, memandang gemas kepada anak yang mengenakan kupluk berwarna broken white itu. Suara bandul Boboiboy yang tergantung di tas terdengar nyaring saat Reza berlari kecil untuk memeluk Isma, sang nenek. Perempuan tua itupun, terkejut saat Reza mendekapnya dengan erat. Majalah yang ia pegang pun sampai terjatuh.

"Eh.. ehh.. Siapakah gerangan pemuda yang memelukku ini" ujar Isma. Suaranya begitu lembut dan sangat sopan.

"Ini Reza, cucumu" anak itu bersuara riang.

"Ah benarkah!"

Lantas Isma langsung membalikkan badannya, matanya berbinar menatap Reza. Ciuman bertubi-tubi mendarat di wajah anak itu, menandakan bahwa Isma benar-benar merindukan anak itu. Sudah bertahun-tahun lamanya mereka tak pernah bertemu sapa, jadi wajar saja kalau Isma merasa begitu bahagia dengan kehadiran Reza.

Jarak Jakarta-Bandung memang tidak seberapa, namun dengan jarak itu, Isma merasa sangat jauh dengan Reza. Jauh sekali, bagaikan dipisahkan oleh jarak beribu-ribu kilometer. Hingga hanya suaranya saja yang dapat ia dengar melalui sambungan telepon, setidaknya hanya itu yang membuatnya ingat bahwa ia mempunyai seorang cucu bernama, Reza.

"Kemanakah perginya cucu nenek yang satu ini. Kenapa baru sekarang bisa berkunjung kesini?" Isma menangkup wajah Reza.

"Maaf nek. Setelah sekian lama, Reza baru datang hari ini"

Dari jarak yang tak terlalu jauh, Wanda duduk di sebuah kursi kayu milik sang kakek. Pemuda itu menatap mereka berdua dalam diam. Ia terkikik mendengar percakapan antara keduanya, rasanya seperti menonton film jadul.

"Ichan masih disini, Nek?" Wanda angkat bicara.

"Masih. Dia sedang membakar ikan di pondok belakang"

"Kakak mau ke pondok. Kamu mau ikut ngga? atau disini aja sama nenek?"

"Ikut. Reza juga mau bertemu dengan kakek!"

Mereka berdua meninggalkan Isma sendirian, berjalan menuju pondok. Reza merasa takjub memandangi setiap sudut rumah ini, tidak ada yang berubah. Semuanya masih tetap sama. Koleksi barang-barang antik milik kakek masih tersimpan rapi di almari cokelat tua di ruang tengah. Lukisan kucing abstrak dominan warna hitam itu masih terpajang di tempatnya, sama seperti saat pertama kali ia melihatnya.

DISASTER || RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang