Sebagai manusia normal, aku juga pernah percaya mitos bintang jatuh. Yang aku pikirkan, apakah mitos itu bisa jadi fakta? karena masih banyak harapanku yang harus menjadi nyata. –Reza.
****Dimalam hari yang lumayan dingin ini, aroma kopi latte yang Wanda pesan menyeruak memenuhi ruangan. Hangat dan nikmatnya kopi latte itu, membuat Wanda tak henti-hentinya menyeruput hingga sisa setengah cangkir.
Berbeda dengan Wanda, Reza memilih untuk bermain game mobile di ponselnya. Jetpack Joyride, menjadi game favoritnya belakangan ini. Bahkan anak itu bisa menghabiskan waktu seharian, hanya untuk menaikkan level gamenya. Wanda sampai geram dibuatnya, ingin rasanya ia melempar jauh ponsel sang adik, agar adiknya tidak jadi kecanduan.
Cita-cita Reza yang semula ingin menjadi doujinshi, kini berubah. Anak itu malah ingin menjadi gamers profesional, yang memainkan semua game tanpa terkecuali.
"Rasanya gue pengen pergi lama, sampe lupa kalo ternyata gue punya rumah" ujar Luki setelah menyesap secangkir caramel latte hangat.
Mendengarnya, Reza melirik sekilas lalu melanjutkan gamenya. Sebenarnya anak itu penasaran, apa yang terjadi dengan Luki. Namun ia memilih untuk diam, ia pikir ia tidak pantas untuk menanyakan apa yang terjadi.
"Kenapa lagi?"
"Banyak yang terjadi di luar kendali gue. Rumah, keluarga, semua. Berantakan" laki-laki itu nanar.
Wanda mengangguk tipis. Ternyata sama saja. Alasan Luki memilih untuk tetap tinggal disini, tidak lain dan tidak bukan adalah keluarga. Wanda tidak tau sebesar apa masalahnya, seberantakan apa keluarganya. Luki tidak pernah menceritakan secara terperinci, yang laki-laki itu ceritakan hanyalah serpihan-serpihan kecil dari masalahnya.
Hal itu membuat Wanda berpikir, dari milyaran masalah di bumi ini, Pasti mayoritasnya adalah keluarga. Dari banyak temannya, mereka juga menceritakan hal yang sama, keluarga. Sampai Wanda menjadi bimbang, apa arti dari sebuah keluarga yang sebenarnya.
"Gue ngga tau seberapa berantakannya keluarga lo. Ki, tunggu mereka capek dulu, baru dibereskan. Kalo ngga gitu, lo sendiri yang capek"
"Gue tau, Wan. Gue menghindar bukan karena gue pengecut, tapi karena gue udah males, ngurusin hal-hal kaya gitu" Jeda sejenak.
"Lagian kalo kita terus-terusan ikut campur sama urusan orang tua, malah kita yang bakal kena batunya. Gue sendiri ngerasain, urusan orang tua emang ngga ada abisnya"
Wanda mengangguk setuju "Bener Ki. Tapi untungnya lo anak tunggal, jadi lo bebas mau kaya gimana aja"
"Justru karena gue anak tunggal, gue jadi bingung. Mau certia gimana, sama siapa. Akhirnya, gue selalu simpen sendiri" Luki menghela napas.
"Sorry, gue ngga pernah cerita secara gamblang sama kalian. Karena gue emang ngga bisa percaya sama siapa-siapa, sekalipun itu kalian"
"Gue ngerti, Ki."
Wanda kembali menyesap kopi latte miliknya. Ia melirik Reza seklias, anak itu masih sibuk dengan ponselnya. Alhasil, Wanda menggelengkan kepalanya, padahal laki-laki itu membawa Reza kesini bukan untuk ikut turnamen game, tapi mengapa Reza malah fokus sekali dengan gamenya, seolah ia bakal mendapatkan hadiah puluhan juta jika menang.
"Eh Ki! lo udah baca bertia belum? yang tertulis di artikel, katanya anak remaja mendadak kena serangan jantung gara-gara main game" tanya Wanda.
Awalnya Luki kebingungan, namun setelah ia menerima kode dari Wanda, ia langsung paham dan spontan mengangguk dengan antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISASTER || Renjun
Ficção Adolescente[ sedang dalam tahap revisi] Ini adalah karya pertama saya yang mengangkat isu Mental Health dan Bullying, dimana itu sering kali terjadi bahkan di sekitar kita. Melalui karya ini saya hanya ingin menyadarkan betapa pentingnya menghargai dan meman...