Begitu banyak kenangan yang kita buat saja, aku masih bisa dilupakan.*****
Setelah sekian bulan purnama, akhirnya Reza memutuskan untuk kembali ke rumah. Meskipun rumah ini terlihat sama seperti sebelumnya, entah mengapa Reza merasa ada yang berbeda. Rumah ini terasa lebih sunyi daripada sebelumnya, dadanya terasa sesak saat ia berdiri di ambang pintu kamarnya.
Satu hal lagi yang membuatnya ingin mengutuk Wanda. Kenapa saat ia tidak ada dirumah, kamarnya tidak dibersihkan. Malah dibiarkan berantakan seperti ini. Mood-nya tiba-tiba turun. Kenapa sekarang anak itu mudah sekali emosional.
"Kakak mati-matian membujuk Reza untuk pulang. Kakak bilang, kakak menjaga rumah ini dengan baik, kenapa Reza malah percaya dengan omong kosongnya!"
"Apa kakak tidak melihat seberapa kotor dan berantakannya kamar Reza. Hufft... bagaimana pemuda itu bisa sejahat ini!"
Omel Reza sembari membereskan kamarnya. Untung saja hari ini Wanda sedang ada jadwal kuliah, jadi ia bisa selamat dari amukan Reza. Yah, walaupun tidak menyeramkan emm... lebih ke arah menggemaskan.
Beberapa menit telah berlalu, kini Reza sudah berbaring di atas kasurnya. Ia mengambil action figur Boboiboy halilintar dari atas meja belajarnya. Tatapannya penuh arti, ia mengelus pipi boneka itu lembut sembari tersenyum begitu manis.
"Aku katakan padamu, tidak mudah menjadi manusia. Apalagi yang seperti aku. Kamu harus siap menghadapi jutaan karakter di dunia ini. Dan tak selamanya yang kamu hadapi itu baik. Karena itu aku memilih untuk bersembunyi, karena aku belum siap"
"Tetapi aku baru sadar, sejauh apapun aku bersembunyi, itu tidak akan bisa. Sejauh apapun aku berlari mundur, aku akan tetap terluka. Jika aku diam saja, aku hanya akan terbawa arus dan membiarkan jiwaku tercabik-cabik. Sangat menyakitkan bukan?"
"Kadang aku iri sama kamu, hidup sebagai tokoh kartun yang nasibnya diatur oleh penulis. Dan baiknya penulis itu memberimu kekuatan, memberimu teman-teman yang sayang padamu. Meskipun ia juga menciptakan penjahat, namun kamu bisa mengalahkannya dengan kekuatanmu–"
"Yang menyamakan kita adalah, orang tua kita sama-sama pergi"
Entah berapa lama Reza terus berbicara kepada action figur itu. Baiknya, ia mendengarkan segala keluh kesah yang Reza sampaikan, ia tidak berusaha menyela, mengadu nasib, atau mengejek Reza. Ia terus memasang telinga, mendengarkan setiap bait yang Reza sampaikan, dengan senyuman yang terpahat di wajahnya.
Reza sangat lelah, tapi ia tidak berani menyalahkan Tuhan atas hidupnya ini. Memangnya Reza punya hak apa, sedari awal ia sudah setuju untuk menjalani hidup ini.
Tapi Reza tidak akan menyerah begitu saja, seperti Boboiboy yang dengan berani mengalahkan musuhnya, seperti itu pula Reza akan mengalahkan segala masalah yang ia alami. Reza akan membuktikan kepada Tuhan, bahwa ia tidak akan lagi berdiam diri. Sekuat apapun angin yang menyuruhnya mundur, Reza akan tetap maju. Sebagai pembuktian kepada Tuhan bahwa ia juga berhak untuk pulang. (Karena sejatinya hanya orang-orang yang berhasil menjalani hidupnya dengan baik, yang akan mendapat tempat istimewa bersama Tuhan)
*****
Sudah satu jam Wanda duduk di bangku dibawah pohon oak. Satu-satunya pohon besar yang ada universitas ini, dan umurnya pun sudah puluhan tahun, bahkan lebih tua daripada umur Wanda.
Selesai jam kuliah pertama, laki-laki itu langsung ngacir kesini sembari menenteng selembar kertas berwarna silver. Wanda ragu, apakah ia harus membuang kertas itu atau tidak. Tapi, menurutnya itu terlalu bagus untuk dibuang begitu saja.
"Misha" entah sudah berapa kali ia menyebut nama yang tercetak dikertas itu.
"Kemaren gue santai aja, bahkan ngga perduli. Tapi kenapa sekarang malah sakit banget, ya?"
"Rasanya, gue belum siap atau bahkan ngga siap. Tapi... anak mana sih yang siap ditinggal nikah lagi?"
Wanda menundukkan kepalanya, ia kembali menatap kertas undangan itu. Wanda tersenyum miris, hatinya tak karuan. Meskipun ia benci setengah mati dengan Misha, kenapa ia masih merasakan sakit?
Pikirannya jadi tidak tenang. Perasaan benci yang ia ucapkan dengan percaya diri, kini goyah. Apakah Wanda memang benar-benar membenci mamahnya?
"Engga. Gue beneran benci sama mamah!"
Bedanya Wanda yang sekarang lebih tenang. Laki-laki itu tidak mudah tersulut emosi. Yah, walaupun hampir 30% senyumnya menghilang.
"Harusnya dia ngga perlu memperpanjang urusan. Lagian ngapain sih nikah harus ngundang gue sama Reza? nikah ya nikah aja"
"Apa mungkin..."
Dia merencanakan sesuatu?
"Dia orangnya sangat ambisius, ngga mungkin nyerah gitu aja buat dapetin Reza"
Siang itu kepala Wanda terasa penuh, otaknya dipaksa berpikir sedalam mungkin. Terpaksa ia harus menggeser memori otaknya yang digunakan untuk menghafal materi-materi kuliahnya.
Sekaleng minuman soda yang baru saja ia tenggak, bahkan tidak membantunya berpikir dengan jernih. Satu-satunya hal yang membuatnya bimbang adalah, apakah ia harus mengajak Reza atau tidak?
"Bro! sebagai mahasiswa semester akhir yang satu bulan lagi sidang, ngga usah coba-coba cari masalah deh"
Luki datang dengan wajah kusut, tas yang tadinya ia selempangkan kini ia taruh di sebelahnya. Tangan sebelah kanannya memegang botol air mineral.
Kata-katanya tadi malah membuat kepala Wanda semakin tertekan.
"Sidangnya bisa di tunda aja ngga sih?" Wanda menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal.
"Anak dari raja mana lo? bisa-bisanya minta sidangnya di tunda. Harusnya lo seneng bentar lagi selesai kuliah, seenggaknya otak lo bisa istirahat"
"Mana bisa istirahat gue, anjing!"
Wanda menyodorkan undangan itu kepada Luki, lantas saja langsung di sambar oleh jari-jari kekar laki-laki itu. Luki sempat terkejut sampai menutup mulutnya menggunakan tangan. Ia begitu fokus membaca setiap baris kalimat yang tertulis didalam, seolah tak mau terlewat walau satu huruf.
"S-SERIUS BESOK?? KOK GUE NGGA DI UNDANG NJING!"
"Ngapain juga ngundang lo?"
Luki membuang asal undangan itu, matanya melotot menatap Wanda. Ia sangat tidak terima jika dilupakan seperti itu.
"Selama bertahun-tahun gue menjalin hubungan keluarga sama mamih, dan dengan gampangnya gue dilupakan? memang sih gue ngga pernah melakukan hal besar di kehidupan mamih. Tapi seenggaknya, gue selalu berhasil naikin mood mamih, gue rela kok disuruh-suruh sama mamih, bahkan gue sering nganterin mamih kemanapun selagi lo ngga dirumah–"
"Gue sering nemenin mamih belanja bulanan, alih-alih lo sebagai anaknya. Atau nemenin mamih beli baju kalau papih lagi sibuk. Gue juga sering bantuin mamih masak. Ibaratkan sebuah novel, kontribusi gue di hidup mamih bisa di tulis sampai berlembar-lembar–"
"Dengan kenangan sebanyak itu, apa gue pantes buat di lupakan?"
Wanda menarik napas panjang, mendengarkan semua keluh kesah Luki membuat kepalanya ingin meledak saja. Tapi betul juga apa yang di katakan Luki, dengan kenangan sebanyak itu saja dia masih dilupakan. Apalagi yang hanya sekedar lewat.
"Terus gue bisa apa, Ki? harusnya lo protes langsung sama dia"
"Iya juga sih. Tapi gue kesel banget anjing!"
Wanda tak perduli, ia merampas botol mineral dari genggaman Luki dan langsung menenggaknya.
"Atau...." – Luki.
"Atau?" –Wanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISASTER || Renjun
Teen Fiction[ sedang dalam tahap revisi] Ini adalah karya pertama saya yang mengangkat isu Mental Health dan Bullying, dimana itu sering kali terjadi bahkan di sekitar kita. Melalui karya ini saya hanya ingin menyadarkan betapa pentingnya menghargai dan meman...