12. Tahun Baru Pulang Kampung

249 86 58
                                    

Tepat di hari ini adalah tanggal 1 januari, besok aku akan pulang ke kampung tempat lahirku juga bertemu dengan keluargaku di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tepat di hari ini adalah tanggal 1 januari, besok aku akan pulang ke kampung tempat lahirku juga bertemu dengan keluargaku di sana. Namun ada sedikit kendala, aku tidak tahu harus menaiki apa untuk pulang ke sana, aku tidak memiliki kenalan yang bisa aku sewa rental mobilnya. Tetapi keajaiban selalu saja terjadi, Wira datang mengajakku untuk pergi berlibur tahun baru.

"Assalamualaikum Nara, wii ada yang masih sibuk tugas kuliah ni," ujar Wira berdiri di depan pintu.

"Waalaikumussalam, eh Wir, ayo masuk!" kataku yang langsung menutup layar laptop.

"Tumben banget ke sini, ada apa? Eh Kia mana, enggak di ajak?" ucapku bertanya-tanya.

"Enggak ada apa-apa sih, mm.. Kia enggak aku ajak soalnya cuma bentar doang ke sini nya," jawab Wira terlihat girang.

"Idih senyum-senyum enggak jelas, kayak orang gila tahu. Kenapa?" tanyaku yang heran dengan perilakunya.

"Jadi gini-" kata Wira yang belum selesai.

"Apaa sih?" kataku memotong pembicaraan Wira.

"Iya sabar, ini mau ngomong tapi kamu potong.. Jadi gini, kan sekarang tahun baru, kamu ada rencana mau liburan enggak?" tanya Wira penasaran.

"Ada sih, aku mau pulang kampung. Lumayan dapat libur seminggu dari kantor, kalau kuliah aku kan bisa online aja," jawabku dengan penuh semangat.

"Bagus, aku ikut ya? Biar aku anter sekalian deh," tawar Wira yang kuharapkan.

"Soalnya aku bosan, pengen jalan-jalan haha, boleh ya aku ikut, yaa" ujar Wira mendesakku untuk mengajaknya.

"Yaudah boleh, tapi kamu harus nganterin aku baik waktu mau pergi atau pun mau pulang," syarat yang terlontar dari mulutku.

"Yes, oke gampang itu, makasih ya Nar," kata Wira.

"Tapi Kia gimana? Di ajak juga kan?" tanyaku khawatir.

"Enggak tahu sih, nanti aku tanyain ke dia mau ikut apa enggak, soalnya enggak bisa di paksa juga kan," jawab Wira.

"Ya udah itu aja, aku pulang dulu ya takutnya Kia nyariin," lanjut Wira langsung keluar berpamit.

"Hati-hati ya Wira, jangan ngebut," kataku yang menunggunya pergi.

Setelah Wira pulang, aku pun langsung melanjutkan tugasku selagi masih ada waktu luang, tapi tenggorokanku merasa sedikit serak, jadi aku masuk ke dapur untuk mengambil segelas air.

Saat berada di dapur, kembali aku melihat hantu wanita yang sebelumnya aku lihat sedang bermain dengan anak kecil, yap itu adalah hantu wanita yang satu tangan dan kakinya terpotong dan bergeletak di lantai juga di penuhi darah. Namun aku mengacuhkannya dan segera mengambil air, walau dia melihatiku terus selama di dapur, aku tetap tenang dan tidak panik.

Aku hanya sedikit takut jika nantinya Kia datang dan melihatnya, jangan sampai. Karena aku juga tidak bisa sengaja menakuti Kia dengan berkata banyak hantu yang bisa di lihatnya, karena Kia memang tidak takut sama sekali.

***

Ke esokannya Wira dan Kia berada di rumahku dengan memakai pakaian rapi, mereka sudah bersiap untuk pergi bersamaku. Aku senang karena Kia ikut dengan kami, jadi suasana tidak begitu sepi ketika di perjalanan nanti.

"Alo kak Nala, liat deh baju Kia bagus kan?" tutur kata lembut dari Kia.

"Wah, bagus banget cantik bajunya, apa lagi yang pakai juga cantik," ucapku sambil memuji Kia.

"Ah kak Nala bisa aja, emang sih dari lahil Kia udah cantik,"

"Ahahaha pede kamu," kata Wira dengan sikap jahilnya.

"Ya udah kita berangkat sekarang aja yuk, nanti macet di jalan," kataku memasukkan beberapa tas ke dalam mobil.

Saat di jalan, Kia begitu menikmati pemandangan yang terpapar nyata. Dengan udara segar yang mamasuki jendela mobil, dan di tambah pemandangan alam, bebagunan, semakin menambah kesejukan. Kampung halamanku berada di pedesaan yang cukup jauh, karena kini aku tinggal di kota untuk kuliah dan mencari kerja jadi sangat jarang pulang k. Senang rasanya bisa pulang setelah bertahun-tahun tidak pernah bertemu keluarga.

Setelah memakan waktu yang begitu lama akhirnya kamu bertiga sampai di tempat tujuan, segeralah kami turun dan memasukkan tas bawaan ke dalam rumah nenek.

"Assalamualaikum nek, permisi," ucapku sambil mengetok pintu.

"Beneran di sini kan, enggak salah?" tanya Wira yang sedang memperhatikan sekitar.

"Iya bener kok orang ini tempat lahir aku," jawabku yang terus mengetok pintu.

"Keluarga kamu beluk pindah kan? Kok sepi banget?!" desuh Wira yang begitu bising.

"Waalaikumussalam, aaa?! Nara? Ini beneran Nara, cucu nenek?" tanya seorang wanita parubaya yang terkejut.

"I-iya nek, ini Nara kangen banget sama nenek," ucapku langsung mencium tangan nenek dan memeluknya.

"Nenek juga kangen banget sama kamu, apa kabar? Baik kan?" tanya nenek langsung mempersilahkanku masuk ke dalam rumah.

"Baik nek, oh iya kenalin ini teman Nara, namanya Wira, yang ini adiknya namanya Kia," kataku memperkenalkan mereka berdua.

"Waah cantik sekali Kia, eh sepertinya om sama tante kamu belum tahu, nenek ke sebelah dulu ya mau ngasih tahu mereka kalau kamu pulang," ujar nenek yang terlihat begitu kegirangan.

"Nenek kamu heboh juga ya, pasti dulu dia yang bikin ramai rumah ini," cetus Wira yang bawel itu.

"Iya terserah kamu mau ngomong apaan,"

Kemudian om dan tanteku masuk ke dalam rumah dan menyapaku dengan hangat. Nenek dan om tidak tinggal di satu rumah yang sama, karena om dan tente memiliki rumah tersendiri di samping rumah nenekku ini.

"Kamu udah lama nyampenya? Gimana perjalanan, cape enggak?" tanya om Juki - saudara ayah.

"Ya lumayan lah om, tapi sampai di sini langsung seger lagi nih hehe," jawabku dengan menebarkan senyuman.

"Ini siapa? Pacar kamu ya, wah pulang-pulang udah bawa pacar aja nih," ledek om Juki.

"Eh bukan om, dia Wira teman aku. Kita satu tempat kerja," ucapku dengan cepat.

"Nara, Wira sama Kia, kita makan dulu ya kebetulan baru aja tantr sama nenek abis masak," ajakan tante Dina - istri om Juki.

~Meja Makan

Kami semua berkumpul di satu meja yang sama, sambil makan sambil mengobrol. Aku begitu rindu dengan suasana di desa ini, tapi tiba-tiba nenek mengingatkanku perihal masa lalu yang keluargaku alami.

"Jadi malam ini mau tidur di mana? Atau mau tidur di rumah ayahmu saja?" tanya nenek yang membuat senyap.

"E-enggak nek, aku tidur di sini aja, aku enggak mau tidur di sebelah," tolakku.

"Kenapa rumahnya enggak kamu jual aja Nar?, siapa tahu ada teman om yang mau beli. Lumayan loh uangnya buat biaya kuliah kamu," kata om Juki membujuk halus.

"Enggak om, rumah itu enggak boleh di jual. Biarin aja kaya gitu, kalau di jual nanti pemilik barunya kena hal yang sama kayak aku," kataku tetap menolak untuk menjual rumah ayah.

"Ya sudah, itu adalah keputusan kamu, mau di jual atau tidak semuanya adalah hakmu," ujar tante Dina.

"Emangnya kenapa enggak mau di jual Nar?" tanya Wira mulai masuk pembahasan.

"Sudah-sudah kalian makan saja, nanti kita lanjut bahas itu ya," kata nenek memberhentikan pembicaraan.

Semuanya fokus untuk menghabiskan nasi yang terdapat di piring masing-masing, sebenarnya aku tidak ingin membahas lagi soal ini. Tapi mungkin aku memang perlu untuk mengingatnya kembali, agar aku tetap ingat tentang kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan di dalam hidupku.

• • • • • 🌻Bersambung🌻 • • • • •

Putri IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang