XIX

214 27 0
                                    

Setelah menerima kabar kepergian Ijekiel menyebar, Athanasia menggiatkan belajarnya. Katanya dia ga mau kalah dari anaknya Roger. Entah temuan menarik apa yang membuat ia semakin hari semakin banyak membaca buku. Melihatnya membuatku mual.

Penyihir cilik itu? Oh, Lucas. Dia, aku lihat dia sering melamun. Bukan hanya setelah Ijekiel pergi sih, dia memang suka melamun kok sejak datang ke sini.

Hahaha, kerjanya cuman bernafas, tapi dia berguna, sungguh! Bagaimana dengan Ijekiel? Kau tau kabarnya? maksudku dia mengirimi mu surat kan? Atau hubungan kalian tidak sebaik itu.. ?

Tidak ..? oh, ayo mulai cerita!

Anak itu, sepertinya dia senang di sana.

Itu saja? Payah. Aku sudah cerita panjang lebar dan kau hanya mengatakan... Berapa tadi? Aku tak sempat hitung. Kemarikan! Hm... Uhhm.. oke, dia senang di sana. Dia punya banyak teman. Dia... Dia apa? Kalian ini merencanakan apa sih?!

"Bukan begitu Tuan Putri... saya yakin ceritanya tidak seperti itu...!"

"Cih, mengelak heh..?" Naleta menyeringai senang.

"Tuan Putri!" Roger dengan kesal tak tertahankan mengeraskan wajahnya, menahan malu yang membingungkan.

"Ahahahaha! Bagaimana dengan keponakan Perempuan mu? Dia tinggal disini kan?" Naleta membalas lagi. Menoleh ke kanan lalu ke kiri, seperti mencari seseorang.

"Ah, iya. Dia lebih sering mengurung diri di kamar. Ijekiel, sudah seperti kakak baginya. Hanya dia teman yang dia punya-"

"Kenapa tidak beri dia teman?"

"Ah... Anak itu kurang dalam sosialisasi," Roger memutar matanya, menghindari tatapan menyelidik Naleta.

Step step step, tep, sebuah kepala muncul dari tembok, pintu masuk ruangan yang sedang diisi Naleta dan Roger. "Paman?" Rasa penasaran yang membara membuat pemilik kepala mengeluarkan suaranya.

Satu yang ia lihat. Tatapan baru dari anak seumurannya dengan rambut pirang terang yang menyala. Seperti sosok yang mungkin ia kenal.

Setelah mendengar suara, Naleta segera menoleh. Melihat anak berambut cokelat sepantarannya berdiri malu-malu di balik dinding. Hanya perlu sepersekian detik untuk menebak siapa anak itu. Jennette, Jennette Margarita. Naleta kembali menatap Roger, seolah mengerti (padahal tidak) Roger memanggil Jennette masuk.

"Jennette, beri salam pada Tuan Putri Naleta. Naleta de Alger Obelia." Jennette menganga menatap tidak percaya ke arah Naleta dan Roger berulang kali. "Berhenti bertindak tidak sopan dan ucapkan salam."

"Se-segala be..be, berkat dan kemakmuran menyertai Bintang Obelia." Suaranya bergetar. Salam Jennette hanya dibalas tatapan tidak minat dari Naleta. "Senang bertemu dengan Tuan Putri...!" Senyumnya merekah. Sayang, Naleta tidak punya kesan baik sejak pertama sekali ia menatap Jennette.

"Sudah cukup basa-basinya, aku akan kembali." Naleta berdiri dan tersenyum. Melihat perlakuan Naleta setelah ia datang membuat Jennette tertegun, tapi sesegera mungkin ia mengulas senyum.

"Perlu saya antar Tuan Putri?" Roger hendak berdiri jika saja Naleta tidak mulai bicara--

"Tidak, tidak.. tidak perlu, aku sudah cukup ingat jalan keluar;) daah! Aku akan menunggu undangan darimu lagi." Naleta berjalan keluar, melewati Jennette begitu saja.

"... Paman .."

"Cepat masuk, aku akan menyusul Tuan Putri."

"A, ah..."

·
·

"Tuan Putri!" Roger berlari, mendapati Naleta yang sedang berjalan santai sesekali berhenti hanya untuk melihat bunga.

still looking for someoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang