2

201 13 20
                                    

Paginya. Rivo sudah kembali ke rumah untuk menyiapkan peralatan sekolah. Dia ingin melakukannya dengan cepat agar tak terlambat datang ke sekolah dan tidak terlalu lama diam di rumah. Kalau nantinya bertemu mama, Rivo yakin dosanya akan bertambah, untuk itulah Rivo ingin sekali menghindarinya. Saat pintu kamar ia buka, sosok seorang ayah mampu ditangkap oleh mata. Dengan posisi membelakangi pintu, sebuah foto di atas meja Rivo-lah yang menjadi objek pandangnya.

"Pa!" sapa Rivo pelan.

Pria dewasa yang bernama Ramon itu memutar tubuh menatap Rivo yang berdiri di depan pintu. "Riv! Kamu udah pulang? Semalam ke mana?" tanya Ramon sedikit berbasa-basi. Ramon tentunya merasa sedikit bersalah karena tidak mempedulikan anaknya sebab masalahnya dengan Engla --mamanya Rivo--.

"Rumah Haikal, Pa." jawab Rivo sambil mengumpulkan buku-buku yang diperlukannya untuk pembelajaran hari ini.

"Oh. Ya, udah! Papa pergi ke kantor dulu, kamu belajar yang rajin, ya!" ujarnya sambil menepuk bahu Rivo pelan, "Uang yang papa kasih buat satu minggu itu masih ada?" tanyanya lagi.

"Masih!" jawab Rivo singkat.

"Ya, udah. Papa pergi." Ramon pun melangkah keluar dari kamar Rivo dengan segera.

Rivo tahu alasan Ramon masih bertahan di rumah ini lantaran dirinya. Kalau dia tidak mempedulikannya, mungkin sudah lama dia memecah keluarga kecil mereka. Rivo-lah yang menjadi alasan dibalik utuhnya keluarga mereka. Tetap menjalani hidup bersama, meski harmoni tak lagi pernah tercipta. Walaupun ada saja masalah yang datang tiba-tiba, kebersamaan tetap ia jaga.

Detik berikutnya, Rivo menggeleng dengan pikirannya yang sempat melayang. Rivo pun lanjut untuk berkemas, waktunya sudah banyak tersita, perjalan cukup jauh dari rumah Haikal ke rumahnya. Makanya, Rivo tak boleh lengah karena terlambat lima menit saja tidak akan ada arti dari perjuangannya. Tidak diizinkan masuk sekolah itulah resiko kalau saja ia terlambat lima menit saja.

Terlepas dari itu semua, Rivo bergegas ke luar kamar dengan segera. Dilihat dari waktu saat ini, sepertinya masih ada waktu untuk nanti sarapan di kantin sekolah. Bagaimanapun juga, sedari tadi Rivo belum sarapan apa-apa. Untuk sarapan di rumahnya tanpa Ramon, Rivo juga agak ragu.

"Rivo!" Sapaan seorang wanita itu bisa langsung Rivo kenali siapa pemiliknya, meski tubuhnya sekarang membelakangi pemilik suara itu.

Rivo tidak ingin menjawab, panggilan dari wanita yang sama sekali tidak ingin dipanggilnya mama itu membuat Rivo terdiam saja. Matanya sengaja ia tundukkan dengan tubuh menghadap Sang Mama. Bukannya Rivo ingin menjadi anak durhaka, hanya saja setiap kali melihat Engla, Rivo selalu ingin marah dengan kesalahan masa lalunya. Terlalu salah bagi Rivo dan sama sekali tidak ada kata maaf yang ingin didengarnya.

"Udah mau berangkat? Sarapan dulu, yuk!" ajak Engla lembut.

Rivo menggeleng kuat. "Udah sarapan tadi di rumah Haikal," jawab Rivo jelas berbohong, "udah, ya. Aku berangkat dulu," imbuh Rivo lagi.

Semenjak kejadian di masa lalu itu, Rivo bahkan tak sekali pun pernah memanggilnya dengan sebuan mama. Akan ada saja kata yang Rivo ucapkan tanpa harus memangginya dengan sebutan itu. Sekedar menjawab tanya tanpa ada kata hormat sering Rivo lakukan. Tentu Rivo tahu perbuatannya salah, tapi bagi Rivo perbuatan Englah lebih patut dipersalahkan.

Bergegas keluar rumah adalah caranya agar terhindar dari pertanyaan Engla selanjutnya. Berlama-lama di sini juga hanya akan menyita waktu dan akan semakin kecil waktu yang bisa dipakai untuk sarapan nanti di sekolah. Ya, begitulah hubungan Rivo dengan Engla, berbicara hanya sebagai bentuk sapa, sangat berbeda dengan hubungan Rivo dengan Ramon. Bagi Rivo, hanya Ramon orang tuanya dan Engla hanya pelengkap atas keluarga.

Duri (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang