14

39 6 20
                                    

Memang beruntung Haikal bisa lolos saat pergi membeli makanan, tapi sayangnya pulang dari sana bukanlah suatu keberuntungan. Para gadis lantai bawah terlihat berkumpul di sekitar jenjang yang menjadi satu-satunya jalan bagi Haikal menuju kamar. Mau tidak mau, Haikal tetap harus menerobosnya agar perutnya bisa segera diisi. Jangan sampai gara-gara tidak jadi gantung diri, Haikal malah mati karena kelaparan.

"Misi! Misi!" ucap Haikal dengan pelan agar dia tidak dicap sombong.

Semua mata tertuju padanya, binaran dari mata mereka bisa Haikal simpulkan kalau kedatangannya membawa keberkahan. Tetapi, Haikal tidak ingin bersombong diri karena sudah membuat para gadis itu berbunga hati. Daripada bersombong diri, lebih penting lagi perutnya yang minta diisi.

"Haikaaaaallllll! Eh, bawa apaan tuh? Chicken? Bagi donggg!" Bisa langsung dikenali kalau itu suara Ningsih. Bukannya Haikal mengingat suara itu di memorinya, hanya saja suara Ningsih membekas paksa dalam benak bekunya.

"Enggak, enggak. Ini buat gue sama Rivo. Minggir dulu ya, kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik yang seperjuangan dengan saya yang saya muliakan. Pertama, marilah kita panjatkan rasa syukur kita terhadap kehadirat Allah Subhanahu wa taallah!" Bukannya menyelamatkan diri, mulutnya malah melontarkan kata pengantar seperti seorang MC.

Haikal berdekhem singkat karena ucapannya yang tidak sesuai pada tempatnya. "Gue tau gue manis, tapi jangan dikerumunin semut merah juga, dong!" rengeknya kemudian saat satu dari mereka menempel padanya.

Tak butuh banyak waktu, Haikal bisa lolos dengan segera dengan cara mengelabuhinya. "Gue mau kentut," ucap Haikal yang membuat siapa saja menjauh. Berikutnya, Haikal lari ke kamarnya dengan tertawa puas setelahnya.

Di dalam kamar sana, Haikal bisa melihat Rivo tengah memijat tangan kanannya itu. Wajahnya jelas menahan rasa nyeri yang timbul akibat pijatannya sendiri. Itu bukan lagi hal yang baru bagi Rivo, tapi bagi Haikal setiap Rivo kesakitan itu membuatnya ikut merasakan. Bukannya terbiasa melihat luka dan kesakitan yang sering Rivo perlihatkan, Haikal malah selalu mengasihaninya dan tidak bisa berbuat apa-apa selain memarahinya. Padahal, Haikal benar dalam mengkhawatirkannya, tapi Rivo sendiri bahkan tak peduli dan akan terus berkelahi. Paling tidak satu minggu sekali.

"Gimana tangan lo?" tanya Haikal yang menahan diri agar tak memarahi Rivo saat ini.

"Masih ada, kok!" jawab Rivo dengan memamerkan kedua tangannya.

Haikal mengembuskan napas lega mendengar jawaban Rivo. "Oh, syukur, deh! Eh ... maksud gue udah mendingan apa belum? Ya, Allah gini amat punya peliharaan!" gerutu Haikal dengan jawaban Rivo yang melenceng dari pertanyaan.

"Iya, udah mendingan kok. Mana makanannya? Lo beli apa?" Rivo menjulurkan tangan kirinya yang baik-baik saja.

Haikal berniat menyerahkan kresek berisi chicken yang baru saja dibelinya. "Eh, cuci dulu tangan lo. Minyakan!" ujar Haikal yang tidak jadi menyerahkan kreseknya melihat tangan Rivo yang berlumuran minyak urut.

Rivo sendiri lupa dengan tangannya yang berminyak, setelah terlebih dahulu menyengir, barulah dia pergi mencuci tangan. Sementara Rivo mencuci tangannya, Haikal sudah terlebih dahulu menyantap makanan. Tentu saja karena kelarapan yang sangat luar biasa. Haikal tampak makan dengan lahapnya, terlihat seperti orang yang tidak pernah makan selama lima hari. Walau nyatanya dia baru lima jam belum makan.

🌹🌹🌹

Baru sampai Rivo dan Haikal di pintu depan kelas, di dalam sana sudah ada Rindu, Zaka, dan Azura yang tertawa bersama. Juga ada anak lain pastinya, tapi tidak seluruhnya. Kehadiran mereka cukup menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di dalam kelas sana. Kali ini bukan karena ketampanan Haikal yang luar biasa, tapi karena suara Rivo yang menggema di seluruh ruangan kelas.

Duri (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang