35

38 4 0
                                    

Semalam, kodisi Rivo tidak baik-baik saja. Semakin hari, pemuda itu semakin terlihat lemah. Untuk itu, Haikal melarangnya pergi sekolah. Takut pastinya kalau saja Rivo kenapa-kenapa. Awalnya Rivo memang mengajukan penolakan, tapi Haikal bisa mengatasinya. Tentu dengan sedikit ancaman bahwa Haikal akan mengabari Ramon di seberang sana. Pastinya hal itu berhasil karena sejatinya Rivo masih setia menyembunyikannya.

Semalam, Haikal sampai tidak bisa memejamkan mata. Meski Rivo sudah memberitahu bahwa dia baik-baik saja, tapi Haikal tidak lagi mudah percaya. Sudah cukup rasanya Haikal dibohongi dan Haikal tidak ingin lagi masuk ke lubang yang sama. Padahal, Rivo jelas-jelas menggigil di sebelahnya, tapi tetap saja lelaki itu berpura-pura. Sudah bersedia pula Haikal menyumbangkan selimutnya agar dingin yang Rivo rasa bisa mereda.

Di malam itu, dua selimut sepertinya tidak cukup untuk membuat Rivo kehilangan getaran tubuhnya yang mulai melemas. Untuk itu, Haikal sampai rela turun ke lantai bawah hanya untuk mengambil segelas air sedikit panas. Mengendap ke dapur dengan hanya bantuan senter ponsel, itu dilakukannya agar tak ada yang terganggu dari tidur mereka yang pulas. Cahaya senternya juga Haikal atur agar tak terlalu kontras.

Hari ini, Haikal baru pulang sekolah dengan Rindu yang ikut pulang bersama. Karena tidak ada Rivo, akan lebih baik jika Zaka tak usah mengantar Rindu segala. Itu pun juga Rindu sendiri yang meminta untuk pulang bersama Haikal saja. Selain untuk mempermudah Zaka, Rindu juga sudah mempersiapkan tanya buat Haikal tentang kondisi kakaknya.

"Kal, Kak Rivo sakit apa sih, sebenarnya?" tanya Rindu dengan suara sedikit tinggi. Agar Haikal mendengar ucapannya dengan jelas.

Mendapat pertanyaan serupa itu lagi dari Rindu, membuat Haikal sedikit ragu. Laju motornya sampai memelan karena memikirkan jawaban dari pertanyaan Rindu. Salalu saja begitu, tiap kali kondisi Rivo ditanyai, Haikal langsung merasa pilu. Ada dentuman takut pada dadanya yang datang memicu. Membuat pernapasannya merasa terganggu. Seolah jantungnya bisa hancur dengan dentuman itu.

"Kal, dengar enggak, sih?" teriak Rindu lagi.

"Ng ... cuma demam biasa, kok." Hanya jawaban serupa itu yang bisa Haikal beri. Karena Rivo tak ingin keluargannya tahu, maka Rindu juga tak terkecuali.

"Serius? Aku takut dia kenapa-napa, soalnya kemaren hidungnya 'kan sampai berdarah!" sahut Rindu ketakutan sendiri.

"Biasa lah, demamnya agak tinggi. Gue juga gitu kalau demam tinggi, suka mimisan." Tentu saja itu hanya bohongan karena sejatinya Haikal tak pernah sekali pun mimisan.

Rindu tampak terdiam sesaat sebelum memberi bantahan. "Bohong, nih pasti! Kemaren 'kan kak Rivo tubuhnya dingin, bukan panas!" bantah Rindu.

"Terserah deh, Ndu! Enggak percayaan banget jadi orang," ketus Haikal karena dia tidak bisa lagi memberi jawaban.

Kemudian Rindu hanya bisa membisu. Meski dia terlihat biasa dalam bertanya, tapi nyatanya Rindu masih canggung dengan semua itu. Rindu masih seperti dulu, dia tidak begitu dekat dengan orang lain karena masa lalu. Di mana Rindu hanya bisa diam kala orang-orang menidasnya dulu. Itulah kenapa Rindu tak biasa bergaul dengan orang-orang selain Zaka dan Azura. Rindu takut kalau nantinya hal serupa menimpanya.

Tak lama setelah itu, mereka sampai di kosan dengan hanya ditemankan sedikit obrolan. Itu juga Haikal lakukan agar canggung tak terlalu dominan. Juga karena Haikal tak suka berdiaman. Jika dengan Rivo, akan ada saja pembicaraan yang akan menjadi pembahasan. Tak peduli itu di atas kedaraan ataupun di dalam kamar kosan. Waktu diam mereka biasanya hanya diisi kala mereka sama-sama asyik dengan ponsel dalam genggaman.

Duri (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang