Part 8

57 10 0
                                    

Istvan POV

Mereka keluar dari gudang terbengkalai tersebut. Edgar menghentikan sebuah truk dan meminta pada supirnya agar mengizinkan mereka naik. Istvan berpikir-pikir apakah kaum Zethis tidak mempunyai kendaraan mereka sendiri. Mungkin sebuah sapu yang bisa terbang dengan cepat.

Edgar sepertinya mengerti isi pikiran Istvan, dia berkata, "Kita punya pegasus dan griffin di Zethosiris. Tapi, mereka tidak suka dibawa keluar ke dunia manusia. Terlalu banyak polusi. Kita juga mempunyai batu teleportasi. Tapi, ada batas jarak tertentu sehingga tidak bisa digunakan dalam jarak kita sekarang. Nanti, setelah sampai di bandara Brazil, kita bisa menggunakan batunya untuk berteleportasi langsung ke hutan amazon."

Mereka sampai di stasiun kereta sekitar 10 menit kemudian. Matthew memesankan empat tiket menuju kota Tallin. Mereka sempat makan siang sebelum kereta itu berangkat. Makan siang hari itu tidak begitu enak, namun rasa lapar karena tidak sarapan pagi membuat mereka makan dengan lahab. Edgar membayar dengan empat uang koin emas yang sepertinya berasal dari Zethosiris. Alih-alih mengusir atau melapor polisi, sang pelayan menerima uang itu tanpa bertanya.

"Manusia tidak bisa melihat sesuatu yang berasal dari Darloth. Penglihatan mereka terbatas. Pelayan tadi pasti melihat uang tersebut seperti uang biasa," kata Edgar menjelaskan.

"Lalu kenapa mereka bisa melihat piramida giza atau stonehenge? Bukankah itu buatan Zethis dari Darloth juga?" tanya Istvan.

"Memang, tapi bahan bangunannya telah dicampur dengan bahan-bahan di dunia manusia. Karena itulah, bangunan-bangunan itu bisa mereka lihat."

Jadi, itulah mengapa tidak ada petugas yang menegur Edgar karena membawa pedang. Mereka tidak bisa melihat pedang tersebut.
Matthew memimpin mereka masuk ke gerbong kereta yang telah dipesan. Kereta itu melaju dengan cepat. Selama perjalanan, Istvan mencoba mengingat-ingat seperti apa Zethosiris itu. Kemudian dia bertanya pada Edgar.

"Jika ayah masih hidup, apa ibu juga...."

Wajah Edgar dipenuhi kesedihan. "Permaisuri Ratu... tidak selamat. Sama seperti selir-selir lain."

"Selir? Oh, tentu saja." Istvan ingat betapa banyaknya saudara yang ia miliki. Beberapa diantaranya hanya berbeda beberapa bulan. Tidak mungkin ayahnya hanya memiliki satu istri.

"Setelah membawa kalian ke dunia ini. Para penyihir membantu kami memindahkan kastil dan menyembunyikannya agar Halkseth tidak bisa menyerang. Raja, panglima, dan perdana menteri yang masih hidup ada disana. Berjuang untuk mengembalikan kejayaan Zethosiris," kata Edgar.

Istvan kecewa karena dia tidak bisa bertemu ibunya lagi. Dia sedikit ingat wajah ibunya. Wanita yang lembut namun juga tegas. Rambutnya hitam lebat seperti Ikarus, dan matanya biru cerah seperti mereka. Istvan ingat ketika dia dan Ikarus memberikan sebuah kado saat ibunya berulang tahun. Dia ingat kecupan terakhir ibunya sebelum pergi ke medan perang, menyertai ayahnya. Ingatan itu sangat menyesakkan.

"Dimana saudara-saudari kami yang lain? Apa mereka baik-baik saja?" tanya Istvan.

"Saya yakin mereka baik-baik saja. Mereka semua pasti juga menuju ke salah satu portal saat ini. Prajurit pelindung mereka pasti tahu bahwa inilah waktunya untuk kembali," jawab Edgar.

"Kenapa ini waktunya kembali?" tanya Ikarus.

"Karena segel itu telah terbuka,” jawab Matthew. “Selain itu, enam bulan lagi adalah malam festival Vtigeer. Dalam ramalan penyihir, dikatakan bahwa malam festival Vtigeer yang ke-10 setelah kehancuran Zethosiris, kalian akan kembali," jawab Matthew.

"Tunggu, ramalan? Ramalan apa?" tanya Istvan.

Kereta berbunyi. Mereka sudah sampai di Kota Tallin.

"Ayo, kita harus pergi ke bandara," ajak Matthew.

Mereka keluar berdesak-desakkan dengan para penumpang lainnya. Matthew menyewa sebuah mobil untuk mengantar mereka ke bandara.

Istvan tidak pernah pergi ke bandara seumur hidupnya. Oleh karena itu, dia kagum ketika melihat betapa besarnya Bandara Internasional tersebut. Edgar pergi untuk memesan tiket. Entah bagaimana dia bisa memesan tiket tepat sebelum keberangkatan. Istvan memilih untuk menunggu bersama Ikarus dan Matthew. Matthew sedari tadi mengernyit kecil sambil memegang perutnya. Sadarlah Istvan bahwa luka pria itu belum sembuh.

"Apa kau tidak punya ramuan obat ajaib?" tanya Istvan. Dia ingat cairan hijau kental yang diberikan Edgar kemarin di sekolahnya. Lukanya langsung sembuh secara ajaib.

"Maksud anda Farmacho?" tanya Matthew. "Kami kehabisan itu. Kita akan mendapatkannya lagi di wilayah Zethis.”

"Apa itu Farmacho?" tanya Ikarus. Istvan lalu menjelaskan dengan semangat tentang obat ajaib dari bumi Darloth tersebut.

Edgar kembali sambil membawa empat tiket pesawat. "Pesawatnya berangkat dua jam lagi. Kita bisa istirahat dulu."

Ikarus lalu duduk di kursi bandara di samping Matthew. Dia menatap pamannya itu dengan khawatir.
"Saya baik-baik saja, pangeran," kata Matthew.

Ikarus mengernyit. "Bertahun-tahun kau memanggilku Ikarus, sekarang tiba-tiba pangeran. Aneh rasanya."
"Maafkan saya,"

"Aku tidak menyalahkanmu. Tetap panggil aku Ikarus seperti biasa. Jangan seolah-olah kau membuat jarak denganku."

Matthew menurut dengan sopan. Istvan ingin duduk juga ketika bunyi putus-putus seperti radio muncul di kepalanya. Istvan refleks memegang kepalanya. Edgar yang melihat gelagat itu langsung bertanya, "Ada apa?"

Istvan baru akan membuka mulutnya ketika suara putus-putus itu muncul lagi. Kali ini lebih jelas. Suaranya seperti anak perempuan.

Ist—
Istvan!
Tolong!

"Kalian dengar itu?" tanya Istvan.
Edgar mengernyit. Ikarus dan Matthew bertatapan bingung

Siapa saja!
Tolong kami!
Istvan!

"Suara itu!" pekik Istvan.

"Apa maksud anda? Suara apa?" tanya Edgar.

"Ada yang meminta tolong...." Istvan memejamkan matanya untuk berkonsentrasi. Dia merasakan dirinya terhubung dengan seseorang.

Halo?
Siapa disana?

Beberapa detik tidak ada jawaban, sehingga Istvan mengira dia hanya berkhayal. Kemudian suara anak perempuan itu muncul lagi.

Istvan? Kau mendengarku?

Ya, ini aku. Siapa...

Aku Izora, kak!

Terdengar suara gemeresak seperti radio lagi. Istvan merasa dadanya bergemuruh mendengar nama perempuan itu. Dia mengingatnya. Izora Danica Seerkha. Putri ke-9, anak bungsu dari selir Nova Magaera.

Aku dan Ar—
Tolong!—

Kemudian, suara itu tidak terdengar lagi.

"Izora! Izora!" Istvan memanggilnya dengan kalut sambil menekankan tangan ke pelipis.

Ikarus serta merta berdiri. "Izora? Apa maksudmu?"

"Izora menghubungiku. Halo? Izora?" Namun, Istvan merasa sambungan mereka telah terputus.

"Sepertinya dia dalam bahaya. Kita harus ke kesana!"

Bersambung...

Kritik dan saran sangat diperlukan!

Kingdom of Zethosiris {I}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang