Izora POV
Izora menatap dirinya di depan cermin. Dia telah mengenakan setelan pakaian serba hitam. Serta jubah besar yang hitam pula. Entah kapan Marfic mengisi lemarinya dengan berbagai pakaian. Kemarin hanya ada lima pasang, sekarang berbagai macam model memenuhi lemarinya. Salah satunya adalah pakaian serba hitam ini. Marfic menyuruh mereka semua mengenakannya di acara pemakaman Raja.
Izora mengepalkan tangannya. Ayah sudah pergi. Secepat itu.
Izora hanya menghabiskan dua tahun masa kecilnya bersama ayah. Sebagian besar kenangan itu tentu saja tidak dia ingat. Kemudian saat Izora berpikir dia akan bertemu keluarganya, sosok yang dipanggil ayah, pikiran itu kandas sudah.
Dia memegang bahunya. Tatonya tidak menghilang saat ayah meninggal. Mungkin tato itu akan menjadi pengingat untuk mereka. Bahwa ayah telah menyerahkan hidupnya. Demi anak-anak bodoh yang tidak tahu apa-apa. Dia jadi ingat sebuah pepatah. 'Terkadang hidup itu seperti lelucon.' Izora mengerti maknanya.
Pintu kamarnya terbuka, Izora tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.
"Kau sudah siap?" tanya Aretha.
Izora memakai topeng hitam yang terletak di atas meja. Dia memandang cermin. Memperhatikan sosok yang sama sekali tidak terlihat identitasnya. Meskipun ada musuh yang menyusup di acara pemakaman, mereka tidak akan tahu bagaimana wajah para pewaris.
"Aku siap," jawab Izora.
Dia bersama Aretha pergi ke lobi kastil. Disana, saudara-saudarinya yang lain telah menunggu. Semuanya memakai pakaian dan jubah hitam besar. Orang lain tidak akan tahu apakah mereka laki-laki atau perempuan, apakah mereka kurus atau gemuk.
Mereka melewati pintu emas yang merupakan satu-satunya jalan terbuka dari seluruh pelindung kastil. Para prajurit telah menyiapkan dua kereta kuda. Mereka menaiki kereta itu untuk pergi ke prefektur Diamond. Tempat upacara pemakaman dilaksanakan.
Banyak yang sudah berkumpul disana. Para tetua klan, prefek, walikota, kepala desa, serta rakyat biasa. Lapangan luas bekas kastil dulu berada dipenuhi berbagai klan makhluk bumi Darloth. Namun, Izora tidak sempat merasa antusias. Suasana sore itupun juga muram.
Ketika jasad Raja diletakkan dalam tumpukan kayu. Wajah-wajah sedih mulai menangis pilu. Mereka menyeru-nyeru nama pemimpin mereka yang telah pergi. Langit sore itu mendung. Seolah ikut merasa sedih.
Marfic maju ke tengah khalayak sambil membawa obor.
"Wahai, rakyat Zethosiris! Hari ini kita menyaksikan seorang pemimpin! Yang telah berjuang demi negeri ini. Kita menyaksikan seorang Raja! Yang telah berjasa pada kerajaan ini—"
Izora tidak sepenuhnya mendengarkan. Pikirannya melayang ke pesan yang disampaikan ayahnya sebelum meninggal.
Sesuatu tidak akan terbentuk tanpa tujuan.
Mengapa ayah seolah meninggalkan teka-teki untuk mereka semua? Bukankah pada umumnya orang akan mengucapkan salam perpisahan atau ucapan cinta?
Izora melirik ke arah Kayson yang berdiri diantara Hertha dan Harv. Kakak kandungnya itu berbeda dua tahun darinya. Waktu pertama kali bertemu, Kayson mengatakan bahwa dia mirip dengan ibu. Izora samar-samar ingat wajah ibu. Dia memiliki rambut cokelat gelombang yang sama dengan ibu. Juga mata abu-abunya.
Izora tidak yakin bagaimana perasaannya yang sebenarnya dengan keluarga ini. Dia tidak ingat banyak. Sebagian Cuma firasat. Kadang-kadang dia merasa seperti orang asing saat saudara-saudaranya saling menceritakan masa lalu mereka.
Izora sadar bahwa Aretha juga seperti itu. Aretha mungkin lebih banyak memiliki beban pikiran dalam dirinya. Dia sama sekali tidak ingat apapun. Izora mengerti itu.
"—Kita lepas kepergian Raja kita! Yang datang sebagai anugerah bagi Zethosiris, seperti Vtigeer sebagai anugerah bumi Darloth!”
Marfic menoleh pada mereka. Ikarus melangkah maju, mengambil alih obor dari tangan Marfic. Kemudian, Izora dan yang lain berbaris di kanan-kirinya, sesuai urutan kelahiran. Saling memegang bahu orang disampingnya. Marfic telah mengajarkan tata cara pemakaman ini sebelum berangkat. Izora menyentuh bahu Vidar, Aretha menyentuh bahunya. Kemudian Ikarus mendekatkan obor itu pada jasad ayah. Api menyala terang.
Kembang api diletuskan ke atas. Itu bukan kembang api biasa. Cahayanya membentuk ilustrasi yang menceritakan perjuangan sang Raja. Menghiasi langit yang ditutupi awan kelabu.
Di kolam besar yang tak jauh dari sana, para duyung menyanyikan lagu sedih. Suara mereka teramat indah sekaligus pilu.
Semua orang melakukan penghormatan ala Zethosiris dalam keheningan panjang. Hingga api membakar semua jasad sang Raja.
"Terbekatilah Baginda Raja Yevgeni Seerkha!" seru Marfic.
"Terbekatilah Raja!" sahut semua orang parau.
Bersambung...
Kritik dan saran sangat diperlukan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kingdom of Zethosiris {I}
FantasiSeries I (satu) dari The Darloth World Fantasy - Portal - Kingdom - Academy - Family - Romance - Another World - Series "Pernahkah anda berpikir darimana asalnya cerita-cerita legenda tentang makhluk mitologi? Seperti kuda bersayap yang disebut pega...