ㅤJeongyeon sibuk mengetuk-ngetukkan jemarinya diatas meja yang berhiaskan satu gelas iced americano dan juga sepotong cheesecake yang sudah habis, menyisakan garpu juga piringan kecil bekas kue itu diletakkan beberapa saat lalu. Pikirannya melayang tepat saat Jimin mengatakan hal tidak masuk akal perihal menyukainya dan mendeklarasikan akan menjadikan dirinya sebagai kepemilikan pemuda tersebut.
"Tidak, tidak! Dia hanyalah bocah belasan tahun, tahu apa dia tentang menyukai seseorang? Pasti aku tidak akan mendapat masalah meskipun aku tidak membalas perasaannya." Jeongyeon bergumam pelan. Entah sudah berapa kali gadis ini mendengus sebal.
"Tetapi Jimin bahkan pernah mengenalkanku sebagai kekasihnya di ulang tahun Kim.. Kim siapalah itu, 'kan? Apa suatu saat aku akan benar-benar terseret ke dalam masalah karena bocah ini? Ah, aku hanya ingin mengumpulkan uang untuk aku habiskan dimasa tua ku. Tidak untuk mengurusi hal semacam ini,"
"Hm? Mengurusi hal apa, Jeongyeon?" Sebuah suara berat membuat gadis itu mendongakkan kepalanya lantas tersenyum saat melihat sosok Seokjin tengah menatap ke arahnya. "Aku boleh mengisi kursi ini?" Lanjutnya lagi dengan tawa renyah sembari menunjuk sebuah kursi di depan Jeongyeon, gadis itu mengangguk senang.
"Jadi, kau sedang memikirkan sesuatu yang rumit ya?" Tanya Seokjin hati-hati setelah mendaratkan tubuhnya, didepan sana Jeongyeon terdiam. Tidak membalas pertanyaannya namun Seokjin mengangguk paham. Dirinya membiarkan si gadis lantas beralih memesan makanan.
"Seokjin, menurutmu apa yang lebih penting daripada uang di dunia ini?"
"Hmm.. Apa ya," Seokjin menatap Jeongyeon, gadis itu terlihat menunggu jawaban nya dengan ekspresi serius. Ah, Jeongyeon terlihat menggemaskan disaat seperti ini, namun Seokjin tahu jika gadis itu bukanlah seseorang yang mudah jatuh hati kepada orang lain. Apalagi kepadanya.
"Kasih sayang, mungkin?"
"Ck, jawabanmu sangat klise,"
Gadis itu kembali menenggak iced americano miliknya. Sejujurnya, Jeongyeon memang tidak mengharapkan jawaban seperti apa yang Seokjin berikan. Jawaban itu mudah ditebak dan jika Jeongyeon menurut saja, itu artinya dia harus menerima perasaan Jimin kepadanya? Ah, memikirkan hal berbau romantisme seperti ini saja sudah membuat sekujur tubuh Jeongyeon merinding.
"Kau tahu jawabannya itu dari dirimu sendiri, Jeongyeon. Setiap orang mempunyai jawabannya masing-masing, setiap manusia mempunyai hal penting yang mereka perjuangan diatas dunia ini, seperti halnya aku. Dan apa yang aku katakan adalah jawabanku, mengapa kau tidak mencoba mencari jawabanmu sendiri?"
"Kau pernah mencintai seseorang ya?"
Seokjin terdiam. Jelas sekali Jeongyeon melontarkan pertanyaan tersebut tanpa maksud apapun, tanpa berniat melukainya, dan pertanyaan itu hanya pertanyaan biasa saja dibenak Jeongyeon. Seokjin mengerti. Namun dirinya tidak dapat menahan saat sekelebat bayangan muncul di otaknya setelah mendengar pertanyaan Jeongyeon.
"Tentu, tetapi apa yang aku cintai tidak bisa lagi diperjuangkan,"
"Karena?"
"Karena seseorang yang aku cintai sudah menjadi milik bumi lima tahun yang lalu, Yoo Jeongyeon. Bumi lebih mencintainya daripada aku."
"Seokjin.."
"Menyedihkan ya? Saat rival-mu tidak lagi sesama manusia, melainkan ajal."
Jeongyeon membeku. Merasakan atmosfer yang tiba-tiba saja berubah menjadi tidak mengenakkan lantaran pertanyaan yang sebelumnya dia lontarkan kepada Seokjin. "Seokjin, maafkan aku. Aku tidak-" Perkataan Jeongyeon terpotong saat sebuah tawa lolos diudara, tawa menyenangkan yang kembali menguar dari ranum cherry milik seorang Kim Seokjin.
"Tidak perlu meminta maaf, aku baik. Lagipula, kau pernah mendengar ini? Setiap pertemuan pasti ada perpisahan dan yah, aku percaya itu." Pemuda itu menatap Jeongyeon yang tengah menyembunyikan wajahnya sembari tak henti menghela nafas.
"Aku tebak semua yang aku katakan tadi tidak membantumu ya?"
"Oh, tidak-tidak! Kau sudah cukup membantu, Seokjin. Sungguh!" Seru Jeongyeon panik. Sedangkan Seokjin justru memandangnya dengan ekspresi serius, pemuda itu mendekatkan wajahnya lantas meletakkan telunjuk tepat di depan ranumnya.
"Shht, Jeongyeon. Aku mempunyai mantra yang dapat meredakan semua kekhawatiran di dunia ini. Tetapi ini rahasia."
"Oh, ayolah Seokjin. Aku bukan lagi anak-anak berumur lima tahun, mencoba menghiburku dengan hal seperti ini tentu tidak akan berhasil." Gadis itu tertawa, namun setelah melihat bagaimana Seokjin menekuk wajahnya dengan menggembungkan kedua pipinya—merajuk—akhirnya membuat Jeongyeon menyerah.
"Baiklah, baiklah. Aku tertarik dengan mantramu itu, bisa tunjukkan kepadaku? Tetapi kau harus memberikan garansi jika mantra milikmu tidak berhasil ya?"
"Tentu! Aku memberi jaminan dengan seluruh ketampananku! Sekarang tutup matamu, aku akan memulainya." Menurut saja, dia menutup maniknya sembari menunggu hal apa yang akan Seokjin lakukan kepadanya. Tidak beberapa lama, Jeongyeon merasakan tepukan pelan di puncak kepalanya dan bisikan lembut memasuki indra pendengarannya.
"Dengan ini aku, Kim Seokjin, memerintahkan kepada semua rasa khawatir dan cemas yang berani menganggu Yoo Jeongyeon untuk segera angkat kaki! Hush, hush."
"Pfftt! Haha, kau menggemaskan sekali. Jadi, itu tadi mantra yang kau maksud? Apa aku sudah boleh membuka mataku?"
"Sudah! Bagaimana? Berhasil bukan?" Tanya Seokjin dengan penuh percaya diri, Jeongyeon mengangguk. Keduanya tenggelam dalam tawa masing-masing, bahkan Jeongyeon lupa semua hal rumit yang sempat menguasainya.
— • —
Ggukie Jeon 🐇
Noona, apakah Jimin menyatakan perasaannya kepadamu?
![](https://img.wattpad.com/cover/177738467-288-k206478.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Ecstasy
Fanfiction[Warn : Usia karakter di dalam cerita ini tidak menyesuaikan usia mereka di kehidupan nyata, pengubahan usia karakter disesuaikan dengan alur cerita.] Highest rank #7 in Jeongmin - 23/05/21 ▪ "Kau hanya bodyguard ku jadi berhenti mengurusi hidupku,"...