CHAPTER 14 : Deep Talk with Ersa

165 14 0
                                    

Terdakwa Ersa Hagia Abraham dinyatakan tidak bersalah.

Tok... Tok... Tok...

Ersa berjengit, sedikit mengerang tangannya kebas akibat tumpuan kepalanya. Tidak sadar sudah terlelap nyaris sejam. Memonitor sekeliling sambil menahan denyutan pada dahi-lantaran tak sengaja terantuk meja-ternyata ruang rapat.

Bepuluh menit yang lalu disini, tepatnya bersama Lee Soo Man dan CEO agensi membahas mengenai Elsa yang direncanakan bergabung pada girl grup Ae setahun setelah debut, demi mematangkan potensinya.

Sejauh ini perkembangan girl group Ae lancar, meski diterpa segelintir skandal, agensi cepat turun tangan. Melalui akun resmi dua member telah diperkenalkan, tersisa dua lagi yang dijadwalkan minggu ini dan minggu berikutnya.

Menyangkut adiknya Ersa jelas menentang keras. Melihat adiknya yang dibebani tugas perkuliahan ditambah hal-hal seperti latihan bakat, menurutnya itu bisa membuat fokus terbelah dan tidak efektif.

Namun di sisi lain Lee Soo Man tetap pada pendiriannya. Jadi di penghujung rapat dibuatlah kesimpulan bahwa semua keputusan mutlak berada pada tangan Elsa sendiri.

Drrt... Drrt...

Lamunan Ersa buyar, teralihkan pada id caller ponsel. Mark.

***

Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam saat Zanya tiba di dorm. Ia baru saja pulang dari kafe, tempatnya bekerja sebagai penyanyi kafe. Bayarannya lumayan. Ia melepaskan mantel, menyangkutkannya pada stand hanger samping pintu.

"Peraturan dorm nomor 7, dilarang pulang diatas jam dua belas malam terkait keperluan pribadi."

"Belum ada jam dua belas."

Haechan mengalihkan wajah dari serial favoritnya, menatap remeh Zanya dari bawah ke atas. "Tahu diri sedikit kau sedang tinggal dimana. Habis clubbing ? Atau kerja disana sebagai-"

"Jalang? Kalau aku bekerja di club jadi jalang memangnya kenapa? Bukan urusanmu."

"Nggak beda jauh dari sampah. Pantas tidak bisa diandalkan."

Langkah Zanya terhenti di anak tangga, menengok, netranya menghunus tajam. "Kau punya keluarga? Adik? Ibu? Ayah?"

Haechan mengangguk ketus, menjawabnya, dan menggeleng di akhir kalimat.

"Sudah mati, eoh?? Jadi kau merasa kaulah sosok yang paling diandalkan???! Cih! Apa ayahmu itu tidak pernah mengajarkan--"

PLAKK

Wajah Zanya tertoleh kesamping, meludah, asin seperti besi, memang benar tamparan laki-laki bukan main sakitnya.

Luapan emosi Haechan tak terbendung, belum puas, ia maju mendorong bahu Zanya yang tak takut. Dia justru melempar tatapan kemenangan sebelum tanpa aba-aba tungkainya yang masih berbalut heels wedges menerjang perut Haechan.

Haechan meringis.

Datang Mark menuruni tangga. Sebenarnya pria itu sudah lama berada disana, terduduk di tangga paling atas, menelaah seluruh percakapan, karena ia juga masih setengah sadar.

"Sakit banget ya? Perkataanku. Memang harusnya begitu. Karena kau tidak tahu, seberapa menyakitkan juga ucapanmu. Kita impas."

"Mau kemana?"

Zanya menghempaskan tangan Mark. "Ganti dress jalang ini," ujarnya sarkastik. Padahal dressnya tergolong biasa, panjang menutupi lutut dan bagian lengannya bergelombang.

"Sekalian ambilkan ponsel diatas ranjangku."

Di lantai dua dorm adalah kamar utama yang ditempati Mark, dan disebelahnya, gudang yang disulap jadi kamar kecil buat Zanya. Selebihnya tidak ada, hanya satu wc dan balkon kecil.

Senja ufuk Barat SeoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang