CHAPTER 01

16K 1.5K 211
                                    

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari, jangankan esok hari, lima menit setelah inipun kau mungkin tak akan tahu apa yang bisa terjadi. Menolak juga tiada guna, takdirnya telah diputuskan tanpa mendapat pilihan, hanya patuh tanpa suara. Entah sampai kapan takdir akan mempermainkan.

──────⊹⊱✫⊰⊹──────

"APA?!" Pekik seorang submisive paruh baya sambil memegangi kepala yang tiba-tiba terasa pening. Beliau terhuyung lemas sebelum sang suami menuntun menuju kursi yang berada tak jauh di belakangnya.

"Apa yang baru saja kau katakan?! Tidak mungkin! Omong kosong apa ini?!" teriaknya tak percaya dengan informasi yang begitu saja meremas hati. Hari ini harusnya menjadi hari yang membahagiakan, sebab akhirnya anak mereka akan menikah dengan sang pangeran. Setiap saat selalu tak sabar menunggu hari pernikahan, namun mengapa dia malah kabur bahkan sebelum janji suci terucapkan.

"Ini surat yang tuan muda Jaemin tinggalkan, anda bisa membacanya sendiri jika tidak percaya."

Tangan langsung menyambar secarik kertas dari pelayan. Dibukanya dengan kasar sebelum mata kian membola besar. Amarah menghantarkan nyeri di setiap kalimat yang tertera gamblang. Lantas, harus bagaimana sekarang? Pernikahan sudah di depan mata, para tamu sudah hadir menunggu pemberkatan. Dimana muka harus diletakan jika tamu dan calon besan tahu bahwa anaknya kabur meninggalkan acara pernikahan. Malu pasti tak tertahankan.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya si istri pada sang suami yang juga syok dengan berita kaburnya sang anak.

"Bagaimana ini? Pernikahan ini tidak boleh batal, bukan hanya karena malu tapi ini juga bisa menjadi penghinaan besar untuk kerjaan Brittania, persahabatan antara dua negeri yang terjalin lama juga bisa hancur. Taeyong, lakukan sesuatu, jangan hanya diam." ucapnya seraya menarik jas yang dipakai sang suami, menyadarkan dari lamunan panjang dan kebingungan.

"Yang mulia, upacara pernikahan akan segera dimulai." salah satu pelayan tiba-tiba masuk untuk mengingatkan. Kepala semakin pening bukan kepalang. Air asin sudah di pelupuk mata. Mengapa Jaemin pergi begitu saja tanpa mendiskusikan persoalan. Ini bukan soal materi, tapi tentang harga diri. Bagaimana bisa orang tua tak sakit hati.

Di saat kebingungan dan tak tahu harus bagaimana, pintu ruangan terbuka. Di sana berdiri sosok submisive manis dengan setelan jas berwarna gelap, rambutnya yang berwarna pink di sisir ke atas, mempertontonkan dahinya yang lebar. Semua orang langsung memusatkan pandang.

"Ibunda, semua orang sudah menunggu." tuturnya lembut.

Suami isteri itu bertukar pandang, seolah pemikiran mereka berkaitan hanya dengan saling menatap mata. Sebuah anggukan kecil terasa berat selanjutnya. Seorang pelayan setia yang mengerti maksud majikannya menarik tangan si submisive yang bahkan tak mengerti apa yang terjadi.

Lima belas menit kemudian setelan di badan sudah berubah. Gelap berganti terang. Putih, yang seharusnya dipakai oleh calon mempelai sang pangeran.

"Ibunda mengapa aku harus memakai pakaian ini? sebenarnya apa yang terjadi? Dimana Jaemin?" si Submisive tentu saja bingung, tiba-tiba dipaksa untuk memakai baju pernikahan dan didandani seolah dialah pengantin yang akan menikah hari ini. Semua tidaklah benar. Dia butuh penjelasan.

"Renjun, kau sangat menyayangi Ibunda, bukan? Kau juga sangat menyayangi Jaemin, kan?" Renjun mengangguk. Tentu saja dia sangat menyayangi keluarganya. "Bantulah ibunda, Renjun, hanya kau yang bisa membantu ibunda saat ini."

Black Swan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang