22

38 4 3
                                    

Awan putih dengan bentuknya yang selalu berubah itu sudah menjadi pemandangan yang biasa untukku. Aku menatap datar keluar kaca jendela dan lautan awan yang cukup damai itu sebagai pemandangan yang dominan. Separuh dari diriku kembali memikirkan hal yang telah lama aku tinggalkan. Lalu yang separuh lagi, atau dapat dikatakan jika sebagian besar dari diriku tak dapat untuk melupakan kejadian serta hal yang aku lakukan saat hendak pergi untuk sesaat ini.

"hyung, apa yang kau pikirkan?" sapaan Son Dino mengalihkan perhatianku dari awan-awan itu.

"tidak ada, aku hanya mengingat apa yang harus aku lakukan disana!" jawabku penuh alasan klise.

"benarkah? Atau kau sedang memikirkan Noonaku?" aku menatap Dino dengan mataku yang membulat sempurna. Bagaimana ia bisa menerka dengan sangat tepat? Sebuah pola pikir manusia yang membuatku terus bertanya tanya.

"kenapa kau diam, apa tebakanku benar?" lalu sikap percaya diri mereka yang terkadang berada ditaraf yang berbeda.

"eoh, ceukum!" aku mulai tahu bagaimana manusia merasa gugup saat mereka berada disituasi yang tidak mereka inginkan. Aku, aku tak ingin Son Dino tahu namun, aku juga tak bisa untuk terus menutupinya.

"jadi tebakanku benar, kau menyukai Noonaku!" pernyataan yang sama saat aku dan ia berjalan beriringan dengannya dilapangan kuda kemarin. Lalu, aku hanya  diam.

"sejak kapan?" Sejak aku menatap mata Noonamu dan perasaan itu terus bertambah setiap kali manik kami saling bertemu.

"hah, kau benar-benar jatuh hati padanya. Lalu, apa yang harus aku lakukan?" aku menatap Son Dino datar. Ia dengan ekspresi keterkejutannya yang sedikit berlebihan itu. Tentu ia sedang meledekku saat ini.

"kau tak akan memberi tahu noonamu, kan?" Son Dino memicingkan matanya.

"hemm, entahlah... tapi aku akan memikirkannya!"

"Yaa, Son Dino!" Yup, Son Dino tertawa cukup puas karena kekonyolanku.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Seujaa, bagaimana bisa dia masih ada hingga saat ini?" Guncah tanya yang tak terjawab itu sejak tadi memenuhi isi kepala dari Zhu Que. Rasa gelisah sejak matanya bertatapan dengan mata Jeongbogja yang ia sebutkan itu belum bisa hilang hingga ia kembali.

Ingatannya menerawang jauh kepuluhan tahun lalu, tepat saat langit sedang dalam masa yang tak baik. Seujaa yang ia pikirkan itu adalah penyebabnya. Bahkan ia menjadi salah satu saksi bagaimana langit menghukum Sang Jeongbogja hingga membuang dan memusnahkannya dari muka bumi. Tak akan ada Jeongbogja yang mampu untuk bertahan hidup lebih dari satu hari setelah langit tak lagi menerima mereka.

"setelah ia, lalu Seujaa?" Ya, ia yang Zhu Que maksud adalah jeongbogja yang tak memiliki nama itu. Yang keberadaannya masih tak mampu untuk mereka temukan. Seketika, raut Zhu Que berubah datar lalu tersenyum sinis.

"tentu, aku harus mencari dan menemukan jawabannya" tukasnya yang seperti sedang menemukan tumpukan puzzle. Lalu untuk melihat gambar yang
terbentuk, ia harus menyusun satu persatu potongan puzzle tersebut.

"bumi sungguh tempat yang sangat pas untuk bermain!" ucapnya lagi dengan penuh arti.

Langkah mundur dengan hati yang dipenuhi oleh begitu banyak pertanyaan dilakukan jeongbogja lain. Wajah datar lain ia perlihatkan guna menutupi perasaan cemasnya. Kutukan
demi kutukan atas kebodohan yang ia lakukan tergumam kasar.

Fallin'BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang