"Gue akan bunuh dia dengan tangan gue sendiri!" Delava Angkara.
Bagaimana jadinya jika gadis yang terkenal nerd dilingkungan sekolahnya ternyata gadis yang paling di takuti di lingkup yang mengenal sosok kedua dari dirinya. Dia juga, mempunyai satu...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Pemakaman, suatu tempat yang menyimpan banyak luka di dalamnya. Banyak air mata yang tertoreh disana, banyak duka yang menyelimuti setiap keluarga yang singgah. Tempat perpisahan yang paling di takutkan banyak orang karena perpisahan yang terjalin hanya untuk sekedar merelakan.
Seorang perempuan tengah duduk lesu di tengah-tengah makam yang berada di sampingnya. Matanya sembab, badannya gemetar, menerima kenyataan bahwa kedua orang yang paling dia sayangi benar-benar telah meninggalkannya sendiri.
Pemakaman tersebut di penuhi oleh Anggota Magma yang juga ikut serta dalam mengantarkan Ayah Lava pagi ini. Mereka semua sangat terpukul melihat pendiri Magma harus pergi secepat ini.
Semua anggota Magma beserta inti memberikan hormat terakhir untuk Ayah Lava. "Selamat jalan pendiri terbaik, kami akan jaga Magma seperti rumah kita sendiri." lantang Deo dengan lirih.
Lava mengusap sebuah makam yang berada di samping kirinya. "Shilpa Angkara" nama perempuan yang telah melahirkannya di dunia ini.
"Bunda pasti seneng, ya. Akhirnya Ayah nyusul Bunda, bahagia ya kalian di sana." ujar Lava mencoba untuk tegar.
Lava beralih menatap makam Sang Ayah yang membuat dadanya semakin sesak. "Ayah pembohong, Ayah udah ingkari janji yang udah kita buat." lanjutnya dengan wajah yang sangat datar. Mungkin, Lava sudah sangat lelah untuk menangis. Perempuan itu hanya menatap kosong gundukan tanah yang di penuhi oleh mawar itu. Memainkan beberapa bunga yang kadang terjatuh di kakinya.
Deo menghampiri Lava, mengelus pundak perempuan itu dengan lembut. "Pulang yuk, mereka pasti sedih kalo liat lo kayak gini," tutur Deo pelan berupaya untuk membujuk Lava.
Lava menggelengkan kepalanya lemah. "Gue mau sendiri, bisa nggak kalian tinggalin gue sendiri disini?"
Disaat yang seperti ini Deo tidak bisa mendebat setiap perkataan yang Lava ucapkan. Apapun yang Lava inginkan itulah yang menurutnya mampu membuat Lava tenang. Akhirnya Deo mengisyaratkan untuk semua anggota Magma tak terkecuali inti untuk meninggalkan Lava sendirian disana.
Lava menumpu kedua kakinya dengan erat. Menatap lesu kedua makam di depannya. Rasanya dia tidak sanggup untuk menjalani hidup yang berada di depannya saat ini. Tiba-tiba ada satu sosok lelaki yang datang, lelaki itu menabur bunga yang ia bawa di kedua makam orang tuanya. Lava juga melihat lelaki itu berdoa disana.
"Om, gimana bidadari disana? cantik ya? tapi masih cantikan istri om kan?" Soka beralih menatap ke arah Lava yang juga menatapnya. "Sama seperti perempuan di depan Soka saat ini, cantiknya nggak pudar akan air mata yang terus membasahinya." tambahnya dengan tulus.
"Maaf komandan, saya sok akrab. Biar lebih akrab gimana kalo saya perkenalan diri. Oke," Soka terdengar berdehem sebentar. "Nama saya Soka Afgasan, sering di panggil Soka. Eh salah, penunggu kelas lebih tepatnya. Embb... terus apa lagi ya?"