BAB 17- CITRUS

937 103 100
                                    

HAPPY READING!

Kakinya menapak di tanah tempat ia pulang. Rumah yang menjadi tempat ia tinggal tidak benar-benar ia tinggal di dalamnya. Sampai kapan pun tidak akan ada yang mengharapkannya kembali jika ia sedang pergi. Tidak akan ada yang membuka pintu untuk menanyakan harinya. 17 tahun ia hidup hanya sebagai orang asing yang menumpang singgah untuk menjadi boneka. Rumah di hadapanya hanya sebagai tempat pulang yang di wajibkan bukan untuk kenyamanan.

Saat dia tengah menundukkan kepalanya pintu di hadapanya tiba-tiba terbuka. Menampilkan wajah seorang perempuan paruh baya yang membuat dia bertahan di sana sampai saat ini.

"Anak Mama sudah pulang?"

Untuk pertama kalinya Soka mendengar suara yang menyambutnya ketika ia pulang.

"Ma?" panggil Soka dengan lirih.

"Hm, kenapa sayang?" ujar Anggar seraya merapikan rambut sang anak.

"Ayo pergi!"

Anggar terdiam. Beberapa detik kemudian dia tersenyum simpul. "Soka mau ninggalin Mama?"

Soka menggeleng pelan. "Kita pergi bersama dari rumah ini," tuturnya lagi.

"Enggak bisa." jawab Anggar dengan lembut.

"Kenapa?"

"Gara gimana? dia kan juga butuh Mama," ucapan sang Mama membuat dada Soka seketika sesak. Ia melepas tangan Mamanya yang melekat di kepalanya dengan pelan. Tanpa berucap apapun Soka melewati sang Mama dan pergi dari sana. Anggar mengerti bahwa Soka kecewa padanya, tapi apa yang Anggar pilih merupakan untuk kebaikan semuanya.

Soka sudah bersiap untuk membuka pintu kamarnya. Namun, Gara tiba-tiba datang dengan tumpukan buku yang sedang dia bawa. Soka hanya bisa bernafas pasrah ketika dia juga mendapati Papanya yang sedang memperhatikan keduanya dengan mata tajam.

"Udah tau kan apa yang gue mau?" desis Gara seraya melempar buku yang ia bawa ke arah Soka. Sehingga menyebabkan beberapa buku yang ia lemparkan terjatuh mengenai kaki Soka.

"Kerjain yang bener. Sampe salah gue aduin lo sama Papa!" sarkas Gara lalu pergi dari sana.

Soka memasuki kamarnya dengan sangat lesuh. Saat dia sudah mengunci pintu kamarnya dia melempar buku yang ia bawa ke sembarang arah dengan amarah. Bahkan dia juga beberapa kali menendang pintu di hadapanya. Soka mengacak rambutnya dengan frustasi.

"AAGGHHHHHHHH!" teriaknya marah akan keadaan yang selalu harus ia terima dengan pasrah.

Pada saat itu ponselnya berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Segaris senyum terbentuk ketika ia membaca nama seseorang yang menghubungi dia ketika itu.

"Woy!"

Soka tersenyum ketika mendengar kalimat pertama yang Lava ucapkan di panggilan pertama mereka.

"Lo nggak tau sopan santun dalam etika teleponable gitu? salam kek,"

"Udah."

"Kapan?"

"Dalam hati. Gak boleh riya"

"Sialan!"

"Brengsek lo!" keduanya tiba-tiba tertawa.

"Lo jago juga ya," perkataan Lava membuat Soka menautkan alisnya bingung.

"Maksud lo?"

"Halah nggak usah pura-pura bego deh lo! dasar tukang nyosor!"

"Cie yang mau di sosor," goda Soka membuat Lava malu sendiri di sana.

DELAVA ( On Going )Where stories live. Discover now