Part 6

2.7K 338 13
                                    

26 Januari 2022

•••

Brendon kini masuk ke rumahnya dengan tenang, helaan napas ia keluarkan kala masuk rumah. Lelah, jelas. Namun senyumnya mengembang melihat kucing kesayangannya menghampiri seraya mengeong, mengeluskan kepala ke kakinya, dan dengan cepat Brendon menggendong kucing betina itu.

"Kangen Daddy, ya, Veronica?" Ia menciumi gemas kucing itu, dan Veronica tampak menolak dengan kedua tangan menghalangi wajah Brendon. "Iya iya, Daddy belum mandi, maaf."

Brendon tertawa dan menurunkan Veronica, kucing itu masih mengikutinya hingga ke ruang tengah sembari mulai melepaskan pakaian. Mata cokelat Brendon yang tajam memperhatikan sekitar, dan fokus ke makanan serta air minum Veronica, semuanya terisi baik tak seperti kemarin yang kosong karena dia tak sengaja melupakan itu. Selepas menanggalkan seluruh pakaiannya, pria itu pun membersihkan diri, dan memakai pakaian santai. Kaos oblong putih, celana pendek selutut, sederhana saja.

Rasa kantuk sudah hadir di wajah pria itu, ia berbaring di kasur, meski demikian ia tak langsung tidur. Brendon menyalakan televisi yang ada di depan matanya, mengisi waktu sebelum dia benar-benar dilelahkan oleh rasa kantuk. Berita malam isinya kebanyakan berita, hiburan sitkom, dan kemudian terhenti di berita selebriti pernikahan artis.

Sejenak, Brendon terdiam memperhatikan itu, dua sejoli yang menjalin kasih di depan awak media, entah apa yang dipikirkannya hingga demikian.

Seperdetik kemudian, Brendon menarik napas, mematikan televisi, dan mulai memejamkan mata. Tidur.

Tiba-tiba, perutnya menggerutu, bunyi keroncongan itu membangunkannya.

Oh, dia lupa makan malam. Ia tak bisa tidur jika keadaan perutnya kosong. Jadilah, Brendon bangkit berdiri, berjalan keluar siap ke dapur tetapi terhenti melihat Veronica tidur di samping pintunya.

"Astaga, gede-gede Daddy beliin kasur buat kamu dan kamu malah tidur di lantai." Brendon menggeleng miris, kucing memang aneh.

Dengan langkah berjinjit tak ingin membangunkan Veronica, Brendon pun menuju dapur, saat di dapur ia bingung. Hidangan apa yang bisa dia siapkan guna mengganjal perutnya? Ah, alakadarnya saja, Brendon pun memasak telur mata sapi, tahu tempe, dan nasi, dengan sayuran yang masih mentah. Tambahan sambal ulek instan.

Sederhana, tetapi menggugah selera.

Brendon makan dengan lahap makanan sederhananya itu meski rasanya bosan, ia ingin nasi kuning, tapi Laila jelas tak buka, dia memang tidak pandai memasak, jadi hanya ini yang bisa dia buat. Lumayan sehat. Ditambah susu putih. Empat sehat lima sempurna baginya, ditambah buah yang ada. Dirasa kenyang, Brendon membersihkan gigi dari sisa makanan, dan akhirnya bisa menghela napas lega kala masuk ke kamar. Berbaring dan menarik selimut hingga sedada.

Bunyi ngeongan mengalihkan perhatian Brendon sejenak, Veronica terlihat menghampiri dan naik ke kasur, ia lalu berbaring tepat di bawah dada bidang Brendon dan berbunyi khas, menatap pria itu dengan mata kuningnya yang bulatannya besar. Brendon tersenyum seraya mengelus wanitanya itu.

"Suami kamu gak cemburu tau kamu tidur sama Daddy?" Brendon bertanya, ia ingat Veronica birahi dan ada kucing pria yang juga birahi mendekatinya, kucing jingga milik Laila.

Tak ada jawaban, kini kucing itu hanya memejamkan mata, melihat betapa tenangnya saat ini Brendon tersenyum dan mulai memejam juga. Rasanya nyaman ditemani kucing, kesunyian hanya diisi dengkuran hangat yang menenangkan. Brendon mulai masuk ke alam mimpinya.

Pagi hari menjelang, Brendon membuka mata dengan tenang, pelan tetapi pasti sambil mengumpulkan nyawanya yang bertebaran ke mana-mana, sebelum akhirnya meregangkan badan dan menunggu reaksi alami para pria setiap pagi. Selama beberapa saat, pria itu akhirnya bangkit duduk, dan menghela napas panjang..

Veronica sudah pergi entah ke mana, dan saatnya Brendon memulai paginya. Menatap jam, syukurlah dia tak terlambat.

Pertama, jelas membersihkan diri, kemudian berpakaian kerja. Kali ini ia memakai setelan serba abu-abu gelap, dengan dasi hitam. Menambah kesan keren dan serasi dengan dirinya, membentuk badannya yang memang begitu bagus serta berisi otot-otot. Pun kemudian, keluar rumah untuk sarapan.

Sarapan terdekat, nasi kuning Laila.

Akhirnya ia bisa mencicipi nasi kuning terenak itu lagi!

"Bu! Laila!" sapa Brendon, bahagia.

"Eh, Nak Brendon!" sapa balik sang ibu, Laila juga menyapa meski agak canggung, Brendon rasa karena ia atasan ayahnya. Brendon memaklumi itu, ia harap sifatnya tak membuat canggung lagi nanti.

"Pesen satu ya, Bu ... eh haruan tuh apa, Bu?" tanya Brendon melihat papan menu, ia penasaran dengan lauk haruan.

"Ikan gabus, Nak. Enak banget lho itu, paling favorit." Ah, ikan gabus, snake head. "Mau nyoba, Nak? Enak banget lho."

"Boleh, Bu, boleh." Brendon tersenyum hangat, duduk di kursi yang tersedia kemudian, agak jauh dari pelanggan lain.

"Siap, Nak." Laila masih saja diam, astaga.

Brendon tersenyum hangat ke arah Laila, berharap ia sadar jika Brendon tak seseram itu, tapi yah pasti sulit. Ia lalu menatap ke arah lain, ke pelanggan yang terlihat seumuran Laila, mereka para wanita yang asyik berbincang sambil makan, entah apa tetapi saat Brendon menoleh mereka agak hening.

Brendon mengangguk sopan, tersenyum menyapa mereka. Mereka pun balik melakukan hal sama, dan kala Brendon mengalihkan pandangan nyatanya mereka langsung menghembukan napas, memegang dada juga, bak tadi menahan napas karena ketampanan pria itu ber-damage amat tinggi. Rambut rapi, mata cokelat memikat, serta rahang tegas dan alis tebal, tak lupa hidung lancip.

Ngeri-ngeri sedap.

Tak lama, pesanan Brendon datang, dan Brendon mulai makan. Satu suapan, dan rasa itu pecah di mulutnya.

"Enak sekali ikan ini ya, Bu." Brendon memuji.

"Makasih, Nak." Ibu Laila tertawa pelan. "Oh ya, Nak. Apa benar kamu atasannya Bapak, suami Ibu?" tanya ibu Laila, basa basi, tetapi dada Laila entah kenapa jadi jedag-jedug. Perasaannya agak tak enak meski fokus menerima pesanan.

Brendon terdiam sejenak. "Mm iya, Bu." Ada rasa canggung.

"Astaga, dia atasan dong, bos nih!" Para cewek di meja lain merumpi.

"Wah, hebat kamu, Nak. Di kantor ada lowongan gak, Nak? Kali aja ada yang cocok buat Laila anak gadis Ibu?" tanya ibu Laila tanpa segan, Laila melotot menatap ibunya.

Tuh, kan!

Malu abis, kedua pipi Laila jadi memerah. Sangat merah. Tidak sopan dan tidak santai sama sekali memang!

"Ah, nanti saya tanyakan, ya, Bu. Soalnya saya baru juga ditempatkan ayah saya di sana." Laila semakin malu bukan main.

"Wah, makasih banyak ya, Nak. Laila, dengerin, Sayang. Belajar yang pinter jangan lupa!"

"Ibu!" Laila berdesis kesal.

"Ibu mau ke dalam dulu sebentar!" Ibunya malah pergi begitu saja meninggalkan Laila yang malu bukan main, sangat malu. Ia jadi tak sanggup menatap Brendon sama sekali, tetapi akhirnya ia sadar tak seharusnya begini.

"Ma-maaf, ya, atas Ibu saya, Pak Brendon ...." Akhirnya, Laila bersuara, tak ingin kesalahpahaman ini mengganggu perasaannya. Siapa yang tahu isi kepala Brendon, senyuman itu dan ungkapan manis itu ... menjawab ucapan ibunya yang rada-rada, bisa saja membahayakan.

"Buat apa minta maaf, Laila? Gak masalah kok." Brendon tertawa pelan. "Kami pasti perlu wanita mandiri, pekerja keras, dan sangat berbakat seperti kamu. Jangan merasa rendah diri, you can do it!" Brendon menyemangati dan Laila akui, senyum Brendon manis banget banget banget.

Namun, ia tak harusnya bahagia terlalu cepat. "Ma-makasih, Pak."

"Oh ya, satu lagi Laila."

Jantung Laila mencelus, apa itu?

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DADDY KUCING [Brendon Series - M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang