Part 22

1.6K 270 23
                                    

13 Februari 2022

•••

"Bapak gak papa?" Namun ternyata, Laila malah menanyainya dengan khawatir, orang tua Laila pun malah menatapnya khawatir.

Padahal, ia membuat kesalahan.

Brendon terdiam, beda sekali dengan keluarganya, tepatnya ayahnya. Saat ia berbuat kesalahan ... maka akan ada sindiran pedas, meski bukan kekerasan fisik, tetap merusak mentalnya. Keluarga sederhana Laila benar-benar ... ia inginkan.

Laila memberikan lap baru pada Brendon, dan Brendon tersenyum kecut menerimanya. "Maaf, ya. Laila, Bu, Pak. Jadi kurang terigunya karena saya."

"Gak papa, kok, Pak. Masih banyak terigunya." Mereka menjawab santai, kemudian tertawa pelan.

Brendon tersenyum hangat, betapa kehangatan bersama keluarga kecil ini memberikannya tenaga untuk terus bangkit. Brendon pun berusaha melakukan yang terbaik yang ia bisa, sungguh.

"Pak, jangan dipegang tangan kosong, masih panas!" tegur Laila kala Brendon lupa memakai sarung tangan dan menyentuh loyang yang masih panas. Alhasil, Brendon belum sempat mengangkatnya, ia sudah menarik tangannya seraya berdesis kesakitan.

Brendon merasa tangannya terbakar panas.

Laila segera mengambil kotak P3K, mengambil semprotan khusus dan menyemprotkan luka bakar Brendon. Terasa lebih lega dan kemudian Laila langsung memerban tangan Brendon, wajahnya sangat dipenuhi kekhawatiran.

"Bapak gak papa?" tanya Laila, ia menatap Brendon yang tersenyum hangat.

"Gak papa, Lai. Makasih banyak udah perhatian sama saya yang ceroboh ini." Brendon terharu, kalau ini keluarganya sendiri, dan di depan ini adalah ayahnya ... mungkin ada ungkapan penyayat hati.

"Pak, keknya Bapak capek, Bapak bisa istirahat aja dulu, kue bolunya tinggal dikit kok." Laila tersenyum memberikan saran.

Brendon menggeleng. "Sepuluh loyang itu banyak, Laila. Saya gak papa, kok. Saya tetep bakal bantu kamu."

"Dengan kondisi tangan begitu? Jangan dipaksain, Pak. Bapak jangan memaksa diri, saya khawatir sama Bapak." Ucapan itu ... Brendon sudah lupa kapan terakhir kali mendengarnya. Ucapan klise sebenarnya, tetapi jarang ia dengar dari orang lain padanya ... ah, sebelum ibunya meninggal.

Jangan paksakan diri, jika diri tak sanggup ... itu membuat mereka khawatir.

"Istirahat aja dulu, Pak." Brendon sadar, ia memang tak bisa memaksakan diri dengan kondisi begini, selain nanti lukanya bisa saja parah, yang ada dia mungkin hanya mengacau.

Pria itu pun mengangguk. "Maaf gak bisa bantu kamu banyak, ya, Lai."

Keduanya hanya saling melemparkan senyum hangat satu sama lain, dada keduanya berdebar kencang, tatapan itu seakan saling masuk ke relung masing-masing dan menyentuhnya dengan desiran lembut yang aneh. Setelahnya, mereka saling membuang wajah ke sana kemari, salah tingkah.

"Gak masalah, kok, Pak." Laila menjawab pernyataan Brendon tadi. "Oh ya, Bapak ... kami sebentar lagi makan siang, Bapak makan siang di rumah aja."

"Ah, jangan, saya ... menyusahkan nanti." Brendon benar-benar tak enak dengan kebaikan keluarga Laila saat ini.

"Gak papa, kok. Kami justru suka kalau ada tamu nambah. Soalnya rame." Laila menyengir malu-malu.

Mendengar itu, Brendon rasanya tak bisa menolak. "Baiklah, makasih banyak ya Laila."

"Sama-sama, Pak. Gak masalah, hehe." Laila cengengesan, dan keduanya kembali bersitatap dengan pandangan terpaku.

"Aduuuh, diem-dieman kayak patung! Tu liat bolunya bukannya jadi bolu kukus malah jadi bolu asap!" kata sang ibu, menyadarkan keduanya yang entah kenapa meski malu-malu suka sekali bertemu mata.

Bolu kukusnya lupa dikeluarkan!

Haduh, parah-parah.

Meski demikian, orang tua Laila diam-diam tersenyum, mereka dari tadi ada di sana dan memilih jadi figuran yang enggan mengganggu hubungan kedua insan itu. Biar dunia serasa milik berdua.

Bisa banget.

Laila meneruskan pekerjaannya bersama orang tuanya, sementara Brendon istirahat duduk di kursi meja dapur yang ada di sana. Ia memperhatikan tiap gerakan Laila, serta mertua--eh orang tua Laila yang juga sibuk. Mereka kelihatan sibuk dan Brendon masih menyesali diri tak melakukan apa pun.

Tangannya, memang masih agak sakit, ia menatap perban yang membalut luka bakarnya karena coba mengangkat loyang panas.

Teringat bagaimana Laila memerbannya lembut setelah memberikan pertolongan pertama, ah ia jadi nostalgia saat di masa lalu terluka karena dicakar kucing yang ia pelihara, Brendon nangis, dia memang cengeng dan manja sejak kecil, hingga akhirnya bisa terdiam karena ibunya yang melakukan ini padanya.

Tangan lembut itu terasa lagi, meski pemiliknya berbeda ....

Brendon jadi teringat soal ungkapannya tentang cinta, hm ....

Suara ngeongan mengalihkan perhatian Brendon begitupun tiga insan yang sibuk memasak, saat menoleh ke sumbernya ternyata ada seekor kucing hitam majestik yang melenggang tanpa permisi mengeluskan kepala ke kaki Brendon.

"Eh, Veronica, kamu masuk rumah orang tanpa izin, ya!" Brendon berkata kesal pada kucingnya itu, masuk tanpa permisi ke rumah Laila.

Veronica hanya mengeong cuek, ia naik ke badan Brendon dan duduk di pangkuannya.

"Haduh, ni anak. Maaf ya, Pak, Bu, Laila." Ia siap membawa Veronica pergi, tetapi suara ibu Laila menahannya.

"Udah, Nak. Gak papa dibawa ke dalem. Keknya kucing Bapak rinduin Bapak." Ibu Laila berkata penuh keyakinan. "Gak masalah, Nak."

Brendon merasa tak enak, tetapi tahu tak bisa berlaku banyak, Veronica memang sangat tak enak jika diusir. Terlebih, pasti Veronica merindukannya yang tidak pulang sedari pagi.

"Maaf, ya, Veronica." Brendon menghela napas lembut seraya mengusap kepala Veronica.

Keluarga Laila tersenyum melihatnya.

"Kucing aja dia perlakuin lembut, apalagi kamu," goda ibunda Laila pada putri semata wayangnya.

"Ish, Ibu!" Laila menatap kesal kedua orang tuanya yang malah cekikikan.

Ia kembali menatap ke arah Brendon, ternyata pria itu sudah tak ada di tempatnya. "Eh, Pak Brendon ke mana?" tanya Laila, mengalihkan perhatian kedua orang tuanya.

"Di sini, Lai." Nyatanya, Brendon sudah ada di samping mereka, mereka kaget. "Saya mau bantu lagi." Ia mencuci tangan dan mengelapnya agar kering.

"Eh, apa Bapak udah baikan?" Memang sudah lumayan lama Brendon istirahat, tapi tetap saja ia terluka tadi.

"Kucing tuh spirit animal saya, jadi tenaga saya keisi lagi, dan yah tangan saya udah baikan." Brendon melepaskan tangannya yang diperban, tampak baik-baik saja. "Tuh kan?"

"Oh syukurlah, Nak Brendon."

Mereka pun kembali bekerja bersama hingga sepuluh loyang ada di depan mata, setelah itu Laila dan ibunya mulai memasak untuk makan siang.

"Jadi, masak apa? Boleh saya bantu?" tanya Brendon penasaran, ia penasaran dengan bagaimana Laila memasak sampai seenak itu.

"Oseng pare jagung, sambal goreng hati, sama ayam goreng, sesuai menunya aja sih, Pak."

Brendon mengangguk paham. "Eh, pare pahit kan? Emang ... enak ya?" tanya Brendon, wajahnya terlihat tak nyaman.

Laila tertawa pelan. "Itu salah satu sayur favorit saya, sih, Pak. Emang pahit, tapi kalau diolah, enak."

"Saya penasaran." Laila tertawa pelan lagi, Brendon seperti anak kecil yang banyak tanya dan selalu merasa penasaran, menggemaskan. "Saya bantu, ya!"

Dan memang, dengan penampilan dan karakter dewasa itu, masih tersimpan sifat kekanakan yang manis ....

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DADDY KUCING [Brendon Series - M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang