Part 10

2.3K 294 9
                                    

1 Februari 2022

•••

"Papah hanya memastikan pekerjaanmu, kamu bekerja dengan baik, kan?" tanya pria itu.

Brendon sedikit menunduk. "Aku bekerja dengan baik, Pah."

"Ingat, misimu hanya satu ... kamu mengingatnya kan?" tanya ayahnya dengan nada serius di seberang sana.

"Membuat perusahaan yang kutangani saat ini meningkat seperti perusahaan utama. Iya, Pah, aku ingat." Brendon tersenyum hambar.

"Jangan terlalu banyak melakukan hal yang tidak penting, itu bisa menghancurkan kamu." Dada Brendon terasa sesak mendengar penuturan itu. "Mengerti?"

"Iya, Pah." Dan tanpa salam, tanpa mengatakan berharap putranya baik-baik saja, panggilan sudah dimatikan sepihak. Brendon menghela napas panjang, ia menatap ponselnya sendiri, dan pagi itu sudah ada pesan chat dari grup yang baru ia masuki.

Ia ingin memeriksanya, tetapi sesuatu di dadanya menghentikan itu. Brendon menghela napas, ia harus bekerja. Ia men-silent grup tersebut untuk sementara waktu dan fokus melakukan kegiatan paginya. Membersihkan diri, memakai jas terbaik, sebelum akhirnya menuju ke kedai nasi kuning Laila bersama mobilnya, Brendon ingin cepat ke kantor.

"Laila, bisa bungkus aja?" tanya Brendon.

"Bisa, Pak, bisa." Laila menjawab senang, meski ia berpikir, Brendon tak nimbrung di chat mereka, dan tampak buru-buru, sepertinya sibuk, ia juga tak menyempatkan diri sarapan seperti biasa.

Laila paham hal itu, jadi dia hanya tersenyum hangat dan memahami Brendon, tak ingin basa-basi terlalu banyak.

"Lauknya telor aja ya, Lai." Laila mengangguk, secepat yang ia bisa menyiapkan pesanan, sebelum akhirnya menyerahkannya ke Brendon.

Brendon membayar seperti biasa, uang merah, kalau dihitung seminggu saja Brendon selalu begini sudah hampir sejuta. Orang kaya memang beda.

"Makasih, Lai. Tukar, lah."

"Jual, Pak. Eh." Laila agak kaget karena akad jual beli yang sering dia dengar di tempatnya dahulu terdengar di sini, Brendon hanya tertawa pelan dan berlalu masuk mobilnya, dia memang pernah bilang sempat ke Samarinda jadi mungkin saja tahu sedikit-sedikit bahasanya.

Brendon pun menuju kantornya, memulai pekerjaannya sebaik mungkin yang mulai banyak. Ia rasa ini juga akan membuatnya tak bisa berjalan keluar untuk memberi cemilan pada teman-teman kecil berbulunya. Ia hanya bisa pasrah dan tetap fokus bekerja, selayaknya seharusnya, bekerja dan bekerja demi mendapatkan targetnya.

Kimberly memperhatikan Brendon yang kini bekerja, pria itu serius, sangat, tak seperti biasanya. Ia lebih banyak terpaku pada komputer kebanding menyapa ramah sekitar, meski senyum mengembang ramah kadang. Namun ia paham, sudah banyak pekerjaan yang masuk, pasti tak mudah. Jadi, Kimberly mengeluarkan skill terbaiknya guna cari perhatian dan diperhatikan oleh Brendon.

"Terima kasih, Kim. Kamu memang sangat bisa saya andalkan." Dan ya, Kimberly berhasil, ia wanita profesional yang tak hanya memakai perasaan, tetapi otak encer juga.

"Sudah tugas saya, Pak. Sama-sama." Kimberly tersenyum manis. "Pak, ini sudah waktunya istirahat, Bapak mau saya bawakan sesuatu?"

"Saya mau buat sandwich dan kopi susu saja di dapur, kalau kamu ingin makan siang di luar, silakan saja." Ah, atasannya ini benar-benar tak suka merepotkan orang lain.

"Biar saya buatkan, Pak. Bapak mau sandwich dan kopi susunya seperti apa?" tanya Kimberly, berbaik hati.

"Ah, terima kasih, Kim. Tapi apa kamu gak makan siang? Atau kamu mau bikin makan siang di dapur juga?" tanya Brendon, wajahnya terlihat tak enak.

"Bisa dibilang begitu, Pak. Jadi, mau saya bikinkan?"

Brendon tersenyum hangat. "Kalau kamu enggak keberatan. Saya mau sandwich biasa aja, dan kopi susunya, banyakin kopinya aja dan tanpa gula."

"Siap, Pak." Kimberly lega karena Brendon menerima keramahan hatinya dan Brendon benar-benar tersipu karena Kimberly sangat perhatian. Wanita itu mulai menyiapkan apa yang diinginkan Brendon, dan membuat miliknya sendiri, setelah selesai ia menuju tempat duduk, sofa dan meja yang tersedia di sana.

"Mari, Pak. Istirahat dulu." Kimberly mempersilakan atasannya itu yang asyik mengecek berkas-berkas yang ada.

"Sebentar." Brendon menuntaskan berkas terakhir meski bukan paling akhir, beberapa saat menunggu Brendon pun sedikit berberes dan berdiri, menghampiri Kimberly yang sudah duduk di sofa.

"Lho, kamu gak makan duluan?" Brendon duduk di samping Kimberly, sandwich wanita itu bahkan belum disentuhnya, hanya teh hangat yang dia sesap.

"Saya mau makan bareng sama Bapak aja." Brendon tersenyum.

"Baiklah, selamat makan." Brendon mengambil sandwich itu dan menggigitnya. "Enak." Brendon memuji seraya mengangguk.

Kimberly ikut makan bersama Brendon, dalam diam keduanya menikmati makan siang mereka, hingga akhirnya semuanya tandas. Kembali mereka pun bekerja, perut yang terisi membuat pikiran lebih nyaman untuk meneruskan pekerjaan. Hingga akhirnya, sore pun tiba, saatnya Brendon pulang.

Seperti biasa, ia berjalan bersamaan dengan Kimberly, hingga menuju ke parkiran, Brendon siap menuju mobilnya ketika ia lihat seseorang yang ia kenal ada di pos. Kimberly agak heran Brendon tiba-tiba, bersama senyuman hangat, menghampiri ke arah pos sebelum mengambil mobilnya. Wanita itu mau tak mau mengekori.

"Pak!" sapa Brendon ke pria di pos.

"Eh, Pak Brendon!" sapa sang sekuriti balik, ternyata itu ayah Laila, ia sedang melakukan shift malamnya. Kimberly mengenali pria itu juga. "Malam, Pak, Bu! Ada yang bisa saya bantu?" Ia juga menyapa Kimberly.

"Ah, gak papa, Pak. Saya hanya ingin menyapa." Brendon tertawa pelan. "Oh ya, apa Laila ada di rumah?"

Laila, cewek itu kan? Kimberly semakin bertanya-tanya dan curiga, apa hubungan Brendon dan Laila sebenarnya. Apa benar hanya tetangga?

"Oh, ada, Pak. Dia ada di rumah tadi, kalau enggak jalan sama temennya." Ayahnya menjawab seadanya. "Dengar-dengar, Bapak, Laila dan temen-temennya ada rencana ya, membuat shelter?"

Hm ... apa benar hanya itu? Kimberly terus menyelidiki.

"Benar, Pak. Memang ada. Saya ingin bicara empat mata sama Laila mungkin sepulang ini." Brendon tersenyum hangat.

"Baik Pak, nanti saya kabari anaknya." Pria itu mengangguk.

"Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu!"

"Iya, Pak. Sama-sama. Hati-hati di jalan, Pak, Bu."

Dan setelah itu pun, Brendon dan Kimberly berjalan berdampingan lagi menuju mobil.

"Eh, Kim. Kamu gak duluan?" tanya Brendon, jadi Brendon tak sadar ia sedari tadi mengekori? "Eh, mobil kamu masih di bengkel?"

Kimberly tersenyum kecut. "Iya, Pak. Masih." Kali ini, ia tak akan menolak jika ditawari Brendon pulang bersama.

"Kamu udah pesan taksi online?" tanya Brendon memastikan.

"Belum, sih, Pak."

"Ah, andai saya gak sibuk, mungkin saya bisa ngantar kamu. Maaf ya, Kim. Kamu ... gak papa mesan taksi lagi? Kamu bisa makai dana perusahaan buat itu."

Lah?!

Kimberly hanya bisa tersenyum hangat, kehangatan yang membara karena rasa miris dan kesal bukan main. "Ah, iya gak papa, Pak."

Gagal lagi, gagal lagi! Menyebalkan! Dia kalah dengan urusan Brendon, shelter, dan Laila itu. Pasti ada sesuatu di antara mereka, kenapa prioritas selalu tak berpihak padanya?

Cih! Menyebalkan!

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DADDY KUCING [Brendon Series - M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang