12 Februari 2022
•••
Laila tahu, ia tak bisa menolak pertolongan Brendon, karena memang ia tak bisa melakukannya sendiri. Lagi, sepertinya menyenangkan jika memasak bersama Brendon, entah kenapa Laila bisa melihat keantusiasan di matanya. Terlebih, ibu dan ayahnya bilang mereka juga akan membantu, Laila jadi tak bisa tidak setuju dengan keputusan itu.
Jadi, di pagi Minggu yang cerah, usai Brendon olahraga pagi dan makan di kedai Laila, ia menunggu hingga tutup dan Brendon serta Laila pun siap-siap pergi. Pertama-tama, mereka akan menuju ke pasar.
"Apa ... kamu gak istirahat dulu, Lai? Kamu kan baru selesai jaga warung," kata Brendon, matanya terlihat khawatir.
"Gak papa, kok, Pak." Laila memang bersemangat, terlebih membantu pria yang murah hati ini. Kali pertama memasuki mobil Brendon, rasanya terasa segar dan bersih, aroma pria itu nan maskulin memenuhi sekitarnya. Whoa, Laila bersyukur tak ada aroma aneh karena sesuatu yang menggantung di bawah kaca mobil dan membuat semua orang puyeng.
Aroma yang cocok untuk mobil kasual begini.
Ia duduk di samping Brendon, memakai sabuk pengaman, begitupun Brendon, lalu tiba-tiba ada sesuatu di dadanya yang menggelitik. Duduk, di samping Brendon, kok rasanya seperti duduk di pelaminan--
Eh astaga apa yang Laila pikirkan, ugh kedua pipinya memerah, ia malu sendiri.
"Jadi, kita ke pasar dulu kan? Daftar belanjanya ada?" tanya Brendon, ada nada gugup di sana. Entah kenapa perasaan pria itu dag dig dug duduk di sampingnya ... argh hanya mimpi.
Brendon berusaha fokus normal, Laila pun demikian.
Laila menunjuk kepalanya sendiri. "Ada di kepala, Pak. Nanti pas sampai nanti saya tunjukkin."
"Ah, baik." Brendon mengangguk paham dan mulai menjalankan mobil, sesekali pria itu menatap wajah Laila di kaca spion.
Kalau dilihat-lihat, Laila memang sedewasa yang di mimpinya ... astaga Brendon mikir apa! Kampret sekali!
Sementara Laila, ia juga ikut memperhatikan di kaca spion ... Brendon seperti suami yang sedang mengantar-antar istri ... eh astaga otak dia kenapa, sih?
Masing-masing benar-benar beradu pikir soal ekspektasi dan realita di depan mata, benar-benar situasi canggung yang membagongkan. Namun akhirnya, mereka bisa meredakan ketidakstabilan emosi dan normal lagi, seperti biasa.
Lokasi yang mereka kunjungi, adalah pasar sederhana. Laila sebenarnya sempat berpikir, karena bersama Brendon, sesuai style pria itu, apa harus ke swalayan saja? Nyatanya, ibunya menyarankan di sini, dan ibunya punya alasan bagus kenapa lebih memilih di sini karena Brendon juga orang yang sederhana. Simpel sekali. Brendon memang sama sekali tak mempermasalahkannya, saat memarkirkan mobil di area yang berupa tanah kecokelatan, dan turun berjalan dengan sendal jepit ....
Eh baru Laila sadari, Brendon hanya memakai sendal jepit.
Saat turun, tak ada rasa ragu di diri Brendon, pria dengan gaya yang juga amat sederhana karena pakaian serba polos--celana panjang hitam dan kaos oblong biru navy--menjadi pusat perhatian banyak orang. Pria tampan, memakai mobil, ke pasar, Laila rasa tak sejarang itu ditemui tapi yah Brendon yang agak bule mungkin jadi penyebabnya.
"Jadi kita ke mana?" tanya Brendon, wajahnya kelihatan lumayan antusias.
"Ke langganan saya, Pak. Ayo." Laila pun mengajak Brendon pergi menuju langganan cewek itu, mereka melewati suasana pasar yang ternyata lumayan ramai, mungkin karena hari Minggu. Mereka cukup kesulitan berjalan dan berdesakan, hingga tanpa sadar Brendon memegang tangan Laila, ia takut kehilangan pemudi itu yang tubuhnya seakan tenggelam di kerumunan.
Laila terperanjat pelan karena pegangan tiba-tiba itu, ia sadar pemilik tangannya siapa, tetapi dengan pipi memerah cewek itu berusaha terus berjalan menerobos orang-orang. Brendon tak bermaksud mesra, hanya takut mereka terpisah, itu saja!
Itu saja!
Hingga akhirnya, mereka sampai di lokasi yang dimaksud, Brendon baru tersadar dengan ketidaksengajaannya hingga melepaskan tangan tiba-tiba. "Maaf, Lai."
Kedua pipi keduanya bak kepiting rebus, memejam selama beberapa saat untuk menyadarkan diri, hingga akhirnya keduanya menghela napas panjang. Normal, normal.
"Eh, Cil Laila, tumben pagian datengnya," kata wanita penjaga kedai. Wanita itu tampak berjualan beragam sayur yang beberapa lainnya masih diairi, juga perlengkapan dapur lain, semua terlihat segar, juga beragam ikan hidup ada di sana, tak lupa ada kulkas besar transparan yang terlihat di dalamnya banyak daging serta ayam. "Eh, sama siapa ini?" Dia langsung agak bersolek melihat sosok pria bersama Laila, meski kemudian berbisik tanpa suara ke arah Laila.
"Laki ikam, kah?" Suami kamu, kah? Begitu dia bertanya.
Laila terperanjat pelan, menggeleng. "Bukan. Bukan. Cuman tetangga saya." Laila menjelaskan dengan berbisik juga.
Sedang Brendon heran, apa percakapan para perempuan di hadapannya? Ternyata benar mereka punya bahasa yang sulit dipahami lelaki.
"Mau beli apa, Pak, Laila?" tanyanya dengan bersolek cantik, mengetahui Laila menjelaskan siapa pria di sampingnya.
Brendon menatap Laila. "Jadi, beli apa?"
"Beli bahan buat bolu aja, Cil beli ini, ya." Laila mulai mengambil banyak bahan, telur banyak, tepung, soda kue, mentega, dan masih banyak lagi bahan lainnya. Seorang pria yang memang bekerja sebagai pembawa barang membantu mereka dengan banyaknya bahan yang diperlukan. Juga tak lupa, karena hiasan kue tak dijual di sana, Laila dan Brendon perlu ke toko lain untuk mencarinya.
Cukup lama di pasar, akhirnya semuanya beres.
Pria pengangkat barang, Brendon, dan Laila membawa barang-barang belian mereka dengan hati-hati ke bagasi mobil, sebelum akhirnya Brendon membayar pria itu dan mereka pun bersiap pulang. Keduanya memasuki mobil dengan perasaan lega satu sama lain.
"Kamu gak sekalian beli bahan buat nasi kuning, Laila?" tanya Brendon.
"Itu nanti Pak pas udah rada sorean, biasanya itu jam kiriman ayam potong baru, sama segernya kayak ayam pagi." Brendon mengangguk paham, meski ia agak tak paham.
"Baiklah, mari kita buat kue bolunya sama-sama!"
Mereka pun pulang ke rumah, disambut ibu dan ayah Laila yang membantu memasukkan bahan-bahan banyak ke dapur. Brendon memasuki dapur Laila yang begitu lengkap dan sangat rapi, ini bukan kali pertama ia melihatnya tetapi Brendon kagum dengan betapa cintanya Laila pada kesukaannya. Memasak.
"Jadi, saya lakuin apa?" tanya Brendon, Laila tak menjawab karena terlihat cewek itu mulai menyusun satu persatu bahan dengan jumlah serupa sebanyak dua puluh. Brendon memperhatikannya. "Oh, ditakar dulu gitu, ya?"
"Iya, Pak. Biar gak susah nentuinnya."
"Oh ...." Brendon berohria panjang seraya mengangguk, dan mulailah mereka bekerja. Satu persatu mulai dari lima bolu pertama. Laila hanya punya lima loyang dan beberapa kompor, jadi mereka akan membuatnya secara bertahap. Bolu pandan yang hijaunya dibuat alami dengan pandan sungguhan, meski harus ada tambahan pewarna makanan agar lebih memikat, tapi tak masalah. Hiasannya pun sederhana, hanya bola kecil bintik.
Untuk lima bolu pertama, lumayan menyenangkan, bolu itu pun disimpan dengan baik setelah matang. Laila punya lemari khusus yang membuat kondisi tetap terjaga, dan ia punya lumayan banyak nampan menyimpannya.
Untuk bolu keenam hingga ke sepuluh, sudah terasa ada lelahnya, waktu berjalan dan Brendon terus berusaha kuat melanjutkan pekerjaan. Ia melihat Laila saja dan orang tuanya sangat telaten, ia harus bisa seperti mereka.
Namun, kala ingin memasukan terigu ke pengaduk, tanpa sengaja Brendon menjatuhkannya, jatuhnya pun entah kenapa tidak etis, karena entah kenapa bisa melompat di badannya sendiri. Kini, baju navy Brendon berbercak putih tepung.
"Ouh, astaga, maaf ...." Brendon benar-benar menyesali keteledorannya. Karena ini ... astaga dia merusak segalanya.
Apa mereka akan marah?
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
DADDY KUCING [Brendon Series - M]
Romantizm18+ Om-om cogan kalem, murah senyum, ditambah dia penyayang kucing ... damage-nya gak ngotak!