Part 3

4.2K 440 12
                                    

23 Januari 2022

•••

"Bagus, Brendon. Ini hari pertama kamu dan kamu sudah terlambat," Kata Brendon, bergumam merutuki dirinya sendiri seraya menatap jam tangan. Mobilnya mulai ia tujukan ke area parkiran yang tersedia di sana. Sejenak ia berhenti di pos jaga untuk memperlihatkan identitasnya ke penjaga.

"Mm Pak Brendon Manggala?" Brendon menoleh ke penjaga pos itu.

"Ya, ada apa, Pak?" Brendon bertanya balik sambil tersenyum ramah, pria itu kelihatan agak grogi.

"Anu, untuk parkiran, biar saya antarkan Bapak. Ada parkir khusus direktur di sana." Ia berkata seraya keluar dari posnya.

"Oh baik, terima kasih." Brendon pun menurut, ia mengikuti sang penjaga pos parkir berpakaian sekuriti itu menuju ke parkiran yang dimaksud, parkiran biasa tampak agak sempit satu sama lain dengan garis putih sementara yang tertanda direktur agak lapang bersama garis kuningnya. Brendon pun berhasil memarkirkan mobilnya pun keluar dari mobil itu sambil membawa tas berisi barang dan kotak bekalnya.

"Terima kasih, ya, Pak." Brendon tersenyum hangat ke pria itu.

"Bukan masalah, Pak. Apa mau saya bawakan barang-barangnya?"

"Enggak usah, Pak. Terima kasih. Saya permisi dulu, ya. Saya keknya udah telat banget! Permisi!"

"Ah, iya, Pak." Brendon pun buru-buru pergi, sementara si pria sekuriti tampak senyam-senyum sendiri.

"Atasan baru tutur dan sifatnya baik sekali, sopan." Ia memuji pria tampan itu yang semakin jauh dari pandangan. Ia kembali menuju posnya dan menatap jam dinding yang tertera di sana. Wajahnya kelihatan seakan menunggui sesuatu.

Kini, Brendon sampai di depan bangunan tirani tersebut, di depan terlihat agak sepi tak banyak orang, ia rasa ia benar-benar terlambat. Pria itu tanpa pikir pun segera memasuki lobi utama melalui pintu yang bisa berputar. Pemandangan di depan matanya masih sepi, tetapi ada beberapa insan di sana, semua menatap ke arahnya dengan ekspresi beragam.

Beberapa karyawati ada takjub, memuji betapa tampannya pria itu sementara ada beberapa pria yang sulit diartikan.

Termasuk, seorang wanita dewasa seumuran Brendon yang duduk di sofa, melihat keberadaan Brendon ia segera berdiri dan menghampiri pria itu. Ada gaya agak tebar pesona di sana.

"Pak Brendon Manggala, selamat datang!" sapa wanita itu hangat.

Brendon tersenyum kikuk. "Ah ... sepertinya saya sangat telat, ya?" tanya Brendon, agak malu menatap mereka semua. "Maaf, maaf sekali."

"Enggak, Pak. Tidak perlu minta maaf. Omong-omong, saya Kimberly Kaiden, sekretaris Bapak." Ia mengulurkan tangan dan Brendon menjabatnya.

"Ah, iya, terima kasih, Kimberly. Sepertinya kamu menunggu saya ya sedari tadi? Maaf sekali saya terlambat." Sekali lagi, Brendon meminta maaf.

"Pak, tidak usah meminta maaf, memang sudah tugas saya kok. Silakan, Pak, ikut saya. Biar saya tunjukkan ruangan kerja Bapak."

"Oh um ... baiklah." Brendon pun mengekori Kimberly menuju ke arah pintu lift yang tersedia, beberapa orang menyapa dan memberikan salam dan dengan begitu ramah Brendon membalasnya. Semua takjub akan hal itu, betapa murah senyumnya Brendon kepada semua orang bahkan sangat sopan seakan jabatan mereka setara.

Semua kagum.

Keduanya pun memasuki lift yang tertanda khusus di sana dan mulai naik ke lantai teratas, tempat di mana katanya kantor Brendon berada.

"Meski ini cabang, tapi suasananya ternyata hampir sama dengan perusahaan utama," kata Brendon menanggapi keadaan bangunan ini.

"Iya, Pak. Arsitektur memang benar-benar mengikuti perusahaan utama, meski kapasitas lebih kecil." Brendon mengangguk paham.

"Yah, ayah saya sudah menjelaskan semuanya soal ini."

"Semoga Anda betah di sini, Pak."

Brendon hanya tersenyum membalas Kimberly yang bersemu malu-malu, pria ini memiliki kharisma yang keterlaluan sampai wanita itu terkena siraman bahagia seketika. Bunyi lentingan terdengar bertepatan pintu lift terbuka, keduanya pun keluar bersama menyururi lorong sepi hingga akhirnya sampai ke ruangan yang di depannya bertuliskan Direktur Utama di sana.

Kimberly membukakan pintu untuk Brendon dan pria itu masuk ke sana, suasana ruangannya mewah, perabotannya rapi dan lengkap bahkan ada ruang tamu pribadi, ruang dapur, toilet, ini lebih mirip kamar hotel kebanding kantor--sangat nyaman seperti di rumah. Bedanya, tidak ada kasur saja.

"Ini ruangan Bapak."

"Yah, I see." Brendon pun duduk di kursi kebesarannya dan menghela napas lega. "Baiklah, saatnya kita bekerja." Ia meletakkan barang-barang di meja.

"Langsung saja Pak? Apa tidak perlu istirahat dulu? Oh ya, Bapak membawa bekal dari rumah?" Ia melihat dua kotak bekal yang baru disadarinya dibawa Brendon, ia terlalu fokus akan ketampanan pria itu, dan ia merutuki diri tak membantu membawakan barang-barangnya.

"Yap, bekal saya untuk makan siang." Ia agak kikuk mendengar jawaban Brendon, padahal ada dapur di sini dan ia siap memasakkan apa saja untuk pria ini, atau kantin khusus kalau-kalau Brendon malas memasak, tapi tampaknya ... yah Brendon mungkin lebih suka handmade food. Pemikirannya itu membuat Kimberly tersenyum, bangga akan pria mandiri ini.

Tapi kemudian ia berpikir ....

Apa bekal ini buat seseorang spesial Brendon? Meski dengar-dengar ia belum menikah, bukan berarti dia single, informasi pribadi Brendon banyak tertutup. Wajah Kimberly kembali sedih.

Namun, dipikir lagi, masih pacaran bukan menikah kan? Masih ada kesempatan.

Usaha saja dulu, sekaligus lihat keadaan, jika sudah punya Kimberly akan mundur. Ia bukan tipe pelakor, meski wajahnya sering dikatai judes. Ia akan cari tahu sendiri soal itu.

Brendon lalu berdiri bersama dua kotak bekalnya, siap berjalan ke dapur, tetapi Kimberly menahannya. "Pak, Bapak mau meletakkan itu ke dapur? Biar saya aja."

"Saya bisa sendiri, kok. Kamu sekretaris saya, bukan pembantu saya." Kedua pipi Kimberly bersemu lagi, gila saja kenapa pria ini begitu ngalus, sopan, dan sangat menghargai orang sekitar.

Kimberly jadi membeku di tempat, membiarkan Brendon melakukan kegiatannya sendiri. Memasukkan makanannya ke lemari dan kembali lagi ke hadapan Kimberly.

"Dapurnya ternyata lengkap, ya. Sepertinya saya bisa masak sendiri nanti." Masih diam, Kimberly tak tahu harus menjawab pria ini, ia hanya bisa senyum. "Ya udah, kembali kerja."

Barulah, Kimberly tersadar, ia mulai menyadari kesalahannya dan kembali tebar pesona lagi. Ia mencari perhatian Brendon dengan bekerja sebaik mungkin, dan nyatanya Brendon memang memuji kinerjanya.

"Kamu sangat cekatan dan telaten ya, memang benar kata Ayah kamu sekretaris berbakat."

Astaga ....

Kimberly berbunga-bunga.

"Terima kasih, Pak. Memang sudah tugas saya."

Namun, bunga-bunga itu agak layu, karena melihat Brendon tampak tak menunjukkan wajah ketertarikan, seperti ... ini hal baik yang sering dia lakukan sebagai perangai mendarah dagingnya saja. Kimberly tahu, ia harus punya ekstra untuk itu. Ia akan mengerahkan segala pesona yang ia punya.

"Oh ya, apa saya punya waktu luang setelah ini? Saya ... pengen jalan-jalan ke setiap lantai, boleh gak?" tanya Brendon, wajahnya agak memelas.

Kimberly agak kaget dengan permintaan tak biasa Brendon ini, meski demikian ia tak menolak. "Ada, Pak. Cukup banyak. Nanti saya temani jalan-jalannya."

"Baik, terima kasih, Kim. Nama kamu agak panjang, saya panggil Kim saja ya?" Aduh, Kimberly semakin baper, Kim adalah nama kecil dari orang tersayangnya, keluarganya!

"I-iya, Pak. Tak masalah."

Damage-nya oh damage-nya.

Brendon murah senyum, hangat, tak gengsi bilang maaf, terima kasih, minta tolong. Ras yang wajib disuamikan!

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DADDY KUCING [Brendon Series - M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang