Kedua pipi Laila mulai memerah karena tatapan intens itu tepat di wajahnya, rasanya ada sengatan demi sengatan yang membuat badannya terasa aneh. Kharisma pria ini, punya tingkatan berbeda, ditambah pernyataannya tadi.
"Ah, astaga, saya ngomong apa. Pasti sulit mendirikan shelter, ada pendidikan yang harus kamu tempuh, kamu punya kehidupan, dan saya ... jelas akan masuk ke dalam kesibukan banyak." Brendon menarik napas, ada rasa kecewa di sana, dan itu menyadarkan Laila.
Brendon sebenarnya benar, Laila punya pendidikan yang harus ia tekuni, sementara Brendon punya pekerjaan bertanggung jawab yang berat. Jadi, dari sini sebenarnya sudah terlihat ....
"Tapi tempat ini, kucing-kucing ini, mereka ... ada PR yang harus dikerjakan." Brendon menatap sekitaran.
"Mm ... Pak. Boleh saya menyampaikan pendapat saya?" Laila bersuara.
"Apa, Laila? Katakan saja." Brendon mempersilakan.
"Kebanding dua tangan kita, banyak lagi orang-orang yang memiliki passion seperti kita, maksud saya tuh ... mungkin kita bisa mengumpulkan orang-orang, membentuk komunitas, dan mewujudkan cita-cita sama-sama. Saling bahu membahu, gitu Pak." Entah saran Laila berguna atau tidak, ia tak tahu, tapi setidaknya dia sudah mengutarakannya.
Ia memikirkan kondisi para kucing malang ini dan tentu kekecewaan Brendon juga.
"Ah ... kamu benar juga, kamu punya teman pencinta kucing juga? Saya enggak punya banyak teman, mereka pun rata-rata sibuk sama pekerjaan, jadi saya agak sulit." Laila kaget, tidak punya banyak teman?
Dengan sifat se-humble itu, apa Brendon tipe yang sulit berteman? Atau dia hanya pilih-pilih berteman. Laila sadar bukan haknya bertanya begitu. Mungkin temannya banyak, tapi yang ia anggap dekat sedikit, dan kebanyakan mereka sibuk. Yap, Laila juga begitu kadang.
"Saya punya teman sekomunitas pencinta kucing, saya rasa mereka bisa membantu. Kami punya cita-cita sama, membuat rumah, tapi kami terkendala biaya karena kebanyakan dari kami pun hanya mahasiswa."
"Bagus, saya ikut komunitas kamu boleh, kita wujudin cita-cita kita sama-sama. Gimana menurut kamu?" Penawaran yang menggiurkan! Sangat!
"Sebagai pencinta kucing, tentu saya setuju!" Brendon tertawa, mengulurkan tangannya siap menjabat tangan Laila.
Laila terdiam sesaat memandang tangan Brendon, oh betapa tangan itu punya kharisma juga, bahkan di kuku jarinya pun. Urat-urat ala rahim anget kata mereka, meski demikian Laila menjabatnya dan yah dia agak normal tanpa berubah jadi overreacting.
"Boleh minta nomor ponsel kamu?"
"Tentu, Pak." Mereka bertukar ponsel.
"Pak Brendon, ternyata Bapak di sini." Usai bertukar nomor telepon, keduanya menoleh ke sumber suara, ternyata itu Kimberly sekretaris Brendon yang kewalahan mencari pria itu, ia tak sendiri dan bersama dua karyawan lain, menjemput Brendon.
"Astaga, maafkan saya, apa saya pergi terlalu lama? Maaf tidak pamit!" Brendon membungkuk hormat, reaksi mengagetkan bagi Laila karena Brendon itu atasan, bahkan karyawan serta sekretarisnya pun kaget.
"Pa-Pak, tenang aja, bukan maksud kami begitu, kami hanya takut kehilangan jejak Bapak." Kimberly menenangkan suasana canggung itu.
Kemudian, matanya menatap ke arah Laila, ia sudah bisa menebak dari penampilannya, Laila anak kuliahan, begitu ia teliti. Dan di tangan, ada makanan kucing, sesama pencinta kucing seperti Brendon.
Apa mereka saling kenal? Siapanya Brendon cewek imut ini? Apa Brendon tipe Sugar Daddy? Laila yang sadar ditatap merasa aneh, wanita itu benar-benar mengintimidasinya seakan ia kepergok berduaan dengan Brendon dan melakukan hal ....
KAMU SEDANG MEMBACA
DADDY KUCING [Brendon Series - M]
Romance18+ Om-om cogan kalem, murah senyum, ditambah dia penyayang kucing ... damage-nya gak ngotak!