Part 15

2K 271 17
                                    

6 Februari 2022

•••

Brendon bangun dari tidurnya di kala pagi menjelang, matanya mengerjap buka tutup berusaha menyesuaikan diri seraya mengumpulkan nyawa. Perlahan, dia meregangkan badan, bunyi khas otot-otot kaku dilenturkan disertai helaan napas lega, sebelum akhirnya pria itu bangkit duduk. Terasa tenang pagi itu, Brendon menikmati dunia pagi barunya.

Sekali lagi menghela napas, Brendon sebentar lagi siap.

Pria itu pun bangkit dari tidur, memulai aktivitas paginya seperti biasa. Mulai mandi, membersihkan diri, memakai pakaian berupa jas terbaiknya, dan mengemas sisa pakaian kotor dalam plastik. Tak lama, terdengar bunyi ketukan di pintu, Brendon keluar rumah dan seorang petugas laundry ada di sana, segera Brendon menyerahkan sekantong besar pakaian kotor itu padanya.

"Makasih, ya." Brendon berkata, menyerahkan uang lima puluh ribuan padanya. "Tip kamu."

"Makasih banyak, Pak." Pria itu sangat bahagia mendapatkan uang segitu dari Brendon. "Gue harus nganter terus ke sini!" katanya berbisik pelan.

Pagi Brendon berlanjut, ia memesan nasi kuning di tempat Laila, entah kenapa nasi kuning itu mempunyai nilai yang sangat plus dan enak dijadikan sarapan paginya. Jadi, Brendon sangat suka, terlebih praktis dan memanjakan lidah. Rasanya ia tak akan pernah bosan memesan di sini.

"Oh, ya, Pak. Ini." Laila memberikan kotak bekal pada Brendon, pria itu menerima bekalnya.

"Wah, makasih. Ini apa?" tanya Brendon, penasaran.

"Buka aja, Pak." Brendon dengan senang membukanya dan tampaklah kue bolu yang terlihat lembut berwarna hijau di sana.

"Whoa, enaknya." Brendon tertawa pelan.

"Bolu pandan, Pak." Laila memberitahu.

"Kamu bikin sendiri?" Laila mengangguk, cewek itu memang hobi sekali memasak. "Makasih banyak ya, Lai. Ini pasti enak banget." Brendon menyuap satu bolu penuh di mulutnya.

Laila jadi penasaran kenapa nafsu makan Brendon sangat tinggi.

"Nah, bener kata saya, enak banget, tangan kamu tangan ajaib!" Brendon memuji cewek itu, Laila hanya tertawa karena Brendon berkata dengan mulut penuh.

"Keknya luka Bapak udah lumayan kering." Laila mengomentari wajah Brendon yang hanya sedikit luka gores terlihat, memang luka kecil.

"Yah, berkat kamu juga. Makasih banyak sekali lagi, ya, Lai," kata Brendon, tersenyum hangat.

"Sama-sama, Pak. Jual ya."

"Tukar." Brendon mengedipkan sebelah mata dan jantung Laila tiba-tiba seraya lompat, ia kaget akan reaksi Brendon yang begitu entah apa maksudnya, pria itu lalu berjalan menjauh dan memasuki mobilnya. Pria tampan itu mengangkat tangan salam perpisahan ke Laila dan hilang dari pandangan.

Namun Laila masih terdiam, deg-degan dengan perasaan tak menentu.

Kenapa tadi, ya? Kenapa? Cewek itu bertanya-tanya.

"Acil, beli!" Dan Laila tersadar oleh suara anak kecil yang memanggilnya dengan suara melengking. Terkesiap cewek itu karenanya.

Brendon kini sampai di kantornya, memakirkan mobil, dan dengan santai berjalan menuju kantor sambil membawa bekal di tangan, kue dari Laila, serta tas kerjanya. Pria itu tersenyum pada semua karyawan yang menyapa, tanpa gengsi tanpa segan, ia begitu friendly dan disenangi banyak orang. Bahkan beberapa karyawan dan karyawati mengikuti Brendon.

Membawa bekal sendiri!

Brendon dijemput Kimberly seperti biasa, wanita itu menyapanya hangat dan disapa Brendon balik, ia berusaha tebar pesona ke pria itu meski Brendon tampak tak tergoyah. Ia seakan memang hidup di sifat humble tanpa membawa perasaan apa pun di dalamnya. Agak berbahaya.

Brendon memilih sarapan kue di kantor dulu, dan menyimpan nasi kuning untuk siang nanti. Ia menawarkan kue bolu itu pada Kimberly dan Kimberly senang hati menerimanya.

Kue yang sangat enak!

"Enak banget, ya, Pak." Kimberly memuji.

"Yap, sangat enak!" Pria itu mengakui.

"Bapak ... beli atau bikin sendiri?"

"Oh, ini kek biasa, dikasih tetangga saya. Kamu ingat Laila kemarin?" Oh, anak itu, Kimberly ingat.

Apa memang benar ada hubungan? Namun kelihatannya tidak ada? Atau backstreet?

Namun, yang jelas, Kimberly harus mengambil start bagus--karena hubungan mereka sepertinya bukan jenjang serius. Kimberly sadar tampaknya Brendon pria dengan selera makan tinggi, apa dia harus belajar memasak untuk menarik perhatiannya lebih tinggi lagi? Oke, Kimberly akan melakukan apa pun. Bahkan menyukai kucing, hewan yang sebenarnya agak membuatnya geli.

Harus dicatat.

Sarapan berjalan mulus, saatnya jam kerja, Brendon dan Kimberly bekerja sama dengan baik dalam pekerjaan masing-masing. Mereka profesional dan bisa menempatkan diri, bahkan saat meeting mereka seakan-akan partner terkuat yang bisa mengguncangkan dunia dengan ragam ungkapan mereka. Selesai pertemuan itu, mereka bersalaman dengan para petinggi lain, dan seorang wanita cantik seumuran Brendon tampak menjabat tangan Brendon paling akhir, sekaligus paling lama.

Kimberly risi, tetapi tak bisa berbuat banyak.

"Senang berbinis dengan Anda, Pak Manggala." Wanita itu berkata dengan nada manis, agak menyebalkan di telinga Kimberly.

"Iya, Bu. Senang juga berbisnis dengan Anda." Brendon menjawab seramah mungkin.

Jabatan pun terlepas.

"Oh ya, Pak. Apa setelah ini Anda ada waktu? Apa Anda ingin ke restoran sebentar, makan siang?" Kimberly membulatkan mata sempurna, ia meringis kesal diam-diam akan ajakan itu, wanita itu seketika terbakar api cemburu yang tak bisa dia padamkan.

Sementara Brendon, ia agak kikuk, ada nasi kuning yang harus ia santap, ia tak sabar untuk itu.

Terjebak di antara pilihan sulit, Brendon terdiam selama beberapa saat, dan setelah menentukan pilihan berat ia siap buka suara, tetapi suara panggilan mengagetkannya. Itu suara telepon dari si wanita di hadapannya.

"Bu, ini Tuan ...." Pria asisten si wanita berkata.

"Oh ...." Si wanita tampak kesal, meski ia menghela napas. "Maaf, ya, Pak. Sepertinya saya ada urusan mendadak."

Brendon lega, ia pikir ia tak akan bisa keluar dari situasi ini dengan pilihan sulit. "Ah, iya, Bu. Tidak masalah."

Kimberly girang bukan main mengetahui hal ini.

"Mungkin lain kali, bisa Pak?" Ia tersenyum hangat. Brendon mengangguk menanggapi sedang Kimberly memutar bola mata malas.

"Iya, Bu."

"Saya pergi dulu, Pak Manggala." Dan usai berpamitan, wanita itu pun beranjak pergi meninggalkan Brendon serta Kimberly yang agak dongkol, mereka segera menuju ke ruang kerja Brendon dan Brendon segera mengambil nasi kuningnya.

Pria itu memeluk penuh rindu kotak bekalnya. "Ah, kupikir kita gak akan bertemu lagi." Kimberly terheran, ia kaget dengan apa yang dilakukan Brendon saat ini, apa dia lupa ada Kimberly di sini?

Dengan makanan segitunya? Dan apa Brendon bersyukur ia tak jadi makan bareng petinggi tadi? Baguslah tapi kenapa segitunya ya?

Jujur saja, tingkahnya ... sangat manis.

Kimberly jadi senyam-senyum sendiri memperhatikan Brendon yang seakan tak terusik dan malu telah melakukan hal itu. Kini ia pun makan siang dengan tenang, bersama Kimberly yang ikut memakan bekal makan siangnya sendiri. Dan asyik-asyik makan siang tenang, panggilan telepon kantor mengagetkan keduanya.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DADDY KUCING [Brendon Series - M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang