21 Februari 2022
•••
"Maaf, Pah." Brendon hanya bisa berkata pelan dengan nada sepenuhnya menyesali perbuatannya. Ia meletakkan belanjaan di samping mereka.
"Kamu habis sama dia?" tanya ayahnya akhirnya, Brendon sedikit bingung dengan pertanyaan itu tetapi ia mengerti.
"Enggak, aku enggak sama dia." Jika benar yang dimaksud ayahnya dia adalah kakaknya, Brendon jujur soal itu. Ia menunjuk belanjaannya sekalian bermaksud dalihnya adalah berbelanja.
"Papah baru liat di depan kamu sama cewek itu." Brendon terkejut, cewek itu ... ah Laila? Brendon kaget ternyata ayahnya mengintip tadi di luar, siapa sangka.
"Oh, kupikir soal ... Dave ...." Brendon tak mau menyebut David kakak di depan sang ayah, ia khawatir emosi ayahnya semakin meledak.
"Kamu suka sama dia?" tanya ayahnya tiba-tiba, mengagetkan Brendon akan pertanyaan itu.
Seketika pria itu pun merasa malu, apa dia jujur saja? Yah, ia memang merasa demikian. Brendon memegang dadanya selama beberapa saat. "Ya, aku suka sama dia."
Hening.
Ia tak bisa berbohong pada ayahnya, tetapi dari arah pembicaraan ini Brendon rasa ia harus mengambil keputusan. "Papah tenang aja, aku akan pindah segera, dan lanjutin misiku sesuai permintaan Papah. Maaf." Ia rasa arah pembicaraan ini pasti soal perasaan Brendon yang harus ia bendung, karena dari awal memang perasaan ini tak seharusnya ada ya kan?
"Papah gak minta demikian." Ayahnya menghela napas panjang, dan Brendon sedikit bingung dengan ungkapannya.
Apanya?
"Jika kamu ingin melanjutkan ke jenjang lebih serius, lebih baik secepatnya, karena sepertinya kalian punya rasa satu sama lain." Tunggu, Brendon salah dengar? Apa perkataan ayahnya ini ada bahasa ngawur atau ....
"Pah?" Brendon memastikan di hadapannya memang ayahnya.
"Papah sadar kamu perlu sosok seperti Mamah kamu, Papah memang ayah yang payah, tapi setidaknya jika kamu mendapatkan sosok seperti Mamah kamu, jangan melakukan hal seperti Papah." Pria itu melanjutkan ungkapannya, matanya masih menatap Brendon, tetapi ada siratan kesenduan yang kentara di sana di antara wajah datarnya. "Papah orang tua yang gagal."
"Pah, jangan bilang gitu ...." Brendon berusaha menghiburnya. "Papah melakukan itu semua juga demi kebaikan kita semua kan?"
Pria itu hanya menghela napas. "Hanya demi kebaikan Papah, itu saja. Papah sebenarnya sadar Papah udah sangat egois, tepat setelah kematian Mamah kamu, tapi Papah nyatanya terlalu keras kepala. Papah sebenarnya dari dulu selalu ingin menemui Kakak kamu, tapi jauh di dalam diri Papah ada rasa malu, malu yang sangat kentara yang Papah tutupi hingga Papah gak sanggup bertemu dia. Alasan Papah menutup akses komunikasi dia dan semua orang. Papah masih takut, Papah takut."
Brendon terdiam ... pengakuan ini mengejutkannya.
"Brendon, selama ini kamu selalu menutupi banyak hal dari Papah, gak pernah ungkapin perasaan kamu ke Papah, itu kenapa Papah ngerasa semua yang Papah lakukan punya alasan mendasar dan Papah semakin egois akan hal itu. Tapi saat itu, saat kedatangan kakak kamu di kantor kamu, Papah liat semuanya ... ya Papah meletakkan kamera dan mikrofon tersembunyi di sana demi melihat segala kegiatan kamu. Dan Papah gak menyangka, ungkapan kamu saat itu benar-benar menampar Papah, betapa kamu setiap sama pria tua yang bahkan jadiin kamu budak dia. Papah teringat kembali tentang mendiang Mamah kamu, Papah melihatnya dari diri kamu, dan Papah sadar ... Papah tertampar ungkapan kamu. Dan lucunya, setelah memakan bolu buatan Laila, Papah nangis di mobil saat itu. Itu kali pertama Papah bisa merasakan perasaan Papah hancur berkeping-keping, hati Papah yang membatu hancur dan mulai sadar segala kesalahan yang Papah buat."
Mata pria itu berkaca-kaca, dan Brendon ingat terakhir kali pria ini melakukannya adalah saat kematian ibunya. Hanya itu. Dan kali ini, ini pertama kalinya melihat ayahnya menangis lagi.
"Kala kamu bilang Laila seperti Mamah kamu, Papah rasa inilah saatnya kamu memberikan kasih sayang yang sepantasnya dan enggak mengulangi kesalahan yang sama seperti Papah ke Mamah kamu, dan anak-anak kalian ... jangan sampai didikannya seperti Papah."
"Pah ...." Brendon duduk di hadapan pria itu, membungkuk di hadapannya berharap bisa menghiburnya.
"Jangan sampai jadi pria egois, jangan sampai ... jangan sampai ...."
"Pah, udah Pah, aku ngerti perasaan Papah. Mamah udah lama memaafkan Papah, aku pun gak pernah sekali pun membenci Papah, aku cuman benci perbuatan Papah jadi kalau Papah berubah, aku akan makin sayang sama Papah." Brendon tersenyum hangat ke pria itu yang menangis tersedu. "Masih ada waktu untuk berusaha berubah, aku pun yakin Papah bisa mendapatkan maaf dari Papah, aku mohon turunkan ego Papah. Kakak ... Kakak cuman perlu pengakuan, dan dia cuman perlu permintaan maaf dari Papah. Aku yakin di lubuk hatinya pun, ada secercah rasa sayang kayak aku ke Papah."
"Papah ragu akan hal itu ...."
"Kita gak akan tahu kalau belum nyoba, Pah. Dan ya, mungkin akan perlu banyak waktu buat mendapatkan maaf sepenuhnya, jadi ... memang baiknya secepatnya kita melakukan tindakan. Karena Kakak bakalan pergi lagi nanti buat tour, Papah masih punya banyak waktu ... Papah harus bisa melepas ego itu, Papah ingin berubah kan? Maka sekaranglah waktu yang paling tepat, Pah."
Selama beberapa saat, pria itu diam memikirkan ungkapan putranya, hingga akhirnya ia mengangguk. Brendon tersenyum sambil memeluk kakinya.
"Baiklah." Ayahnya mengangguk, menyeka air mata lagi.
"Pah, sering-sering juga senyum, jangan terlalu datar, muka Papah serem. Mamah pernah bilang, kalau aku niru ekspresi Papah, aku juga keliatan seserem Papah karena mukaku agak mirip sama Papah."
Mendengar ungkapan itu, si pria tertawa pelan, tetapi kemudian menangis lagi.
"Eh, kok nangis?"
"Ya Tuhan, berapa waktuku yang kusempatkan pada putraku ...." Ia berkata, membuat Brendon bingung maksudnya, padahal ayah Brendon menyesali betapa Brendon kehilangan masa kecilnya dan menjadi pria dewasa di awal. Padahal di hatinya, masih tersimpan jiwa kanak-kanak yang begitu lugu dan polos.
Ia kejam sebagai orang tua.
"Pah, udah jangan nangis Pah."
Pria itu hanya memeluk erat Brendon kemudian, seakan takut kehilangan. "Iya, Papah gak akan ... gak akan nangis." Pria itu berkata dengan agak tersendat.
Brendon memeluk balik seraya menepuk bahunya. Ia bersyukur ayahnya sudah menunjukkan sisi rapuh padanya, sangat. Ia harap setelah ini, hubungan keluarganya membaik, dan sekarang mereka tinggal mencari keberadaan kakaknya.
"Boleh Papah minta satu permintaan lagi?" tanya ayahnya tiba-tiba.
Brendon melepaskan pelukan dan menatap pria itu hangat. "Apa, Pah?"
"Pesenin kue bolu lagi."
Brendon yang mendengarnya tertawa. "Udah abis yang tadi ya?" Ayahnya ikut tertawa pelan dan mengangguk. "Waduh, aku gak kebagian, besok aku tanya bisa enggaknya. Aku pesenin dua nanti."
Kembali, keduanya tertawa, sampai Brendon menatap dengan serius ayahnya.
"Pah, soal aku dan Laila ... Papah ... beneran soal itu?"
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
DADDY KUCING [Brendon Series - M]
Romance18+ Om-om cogan kalem, murah senyum, ditambah dia penyayang kucing ... damage-nya gak ngotak!