Part 17

1.6K 275 12
                                    

8 Februari 2022

•••

Brendon menggeleng pelan. "Maaf, Kak. Aku tetap sama Papah." Ia menghela napas panjang, penolakan ini berat, tetapi ia merasa ini pilihan tepat. Brendon nyaman saja di sini.

"Otak lu dicuci sama dia ya?" tanya David, menggoncang keras badan adiknya itu. "Hah? Gue gak salah denger?"

Brendon melepaskan tangan David dari bahunya. "Enggak, Kakak enggak salah dengar. Maaf, Kak."

"Ck, serah lu deh!" David mendengkus pelan. "Capek-capek gue ke sini, buat bebasin tahanan, ternyata lu masokis."

"Kak ...." Brendon menatap kakaknya dengan keseriusan. "Asal Kakak tau, Papah sebenernya gak rela Kakak pergi, aku sering liat dia rapuh karena sendirian, Papah punya trauma itu kenapa dia--"

"Dan lu nyuruh gue maklumin sifat egois dia terhadap anak-anaknya, gitu?" David memutus, ia tertawa miris. "Denger, Brendon. Jangan naif. Tu tua bangka cuman egois, itu aja, apa hubungannya sama trauma dia yang berlebihan? Gak ada, dia hancurin masa depan anaknya sendiri, dia hancurin keluarganya sendiri, dia sendiri yang ngehancurin dirinya sendiri. Kenapa gue pergi? Karena diusir. Dia gak rela gue pergi? Kok gue diusir? Kalau dia mau gue gak pergi, dari awal harusnya dia mikir pake otak dia yang kolot itu, liat lu sekarang yang dibikin babu sama dia, padahal lu punya bakat tersendiri. Orang tua apaan dia itu, gak pantes jadi orang tua, karena dia gak tau yang terbaik buat anaknya, cuman tau garis lurus, gak ada bentuk lain."

Brendon terdiam sementara David menghela napas.

"Lu gak usah belain dia, Brendon. Mamah meninggal gue yakin pun karena keegoisan dia. Gue bahkan dia bikin gak tahu menahu, nyokap gue sekarat sampe bertahun-tahun di liang lahat, gila gak tuh?" Brendon masih terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa. "Gue tour di sini, jadi untuk enam bulan ke depan gue bakalan tetep stay di sini. Gue tunggu lu berubah pikiran dan ikut sama gue."

David mulai memakai penyamarannya lagi, sentuhan terakhir ia memakai masker serta kacamata hitamnya, sebelum akhirnya tanpa sepatah kata pergi meninggalkan Brendon seorang diri. Brendon yang kini memikirkan soal perihal ayah dan kakaknya saat ini.

Tak lama setelah kepergian David, Kimberly dengan kikuk masuk kantor, ia terkejut melihat Brendon yang biasanya hangat dan senang melempar senyum kini terlihat sendu dan gelisah.

"Pak, sebenarnya tadi ada apa?" tanya Kimberly.

Dan Brendon menoleh ke sekretarisnya, wajahnya serius, meski demikian ia menyunggingkan senyum tipis di sana. "Gak ada, hanya masalah keluarga, mari kita kerja lagi."

Satu hal yang Kimberly tahu, Brendon tengah menyembunyikan sesuatu, iya kan?

"Oh, jadi Dave itu kakaknya Bapak?"

Kimberly tak tahu apa yang salah dengan ungkapannya, ekspresi Brendon seketika dingin sedingin es. Ia merasa sebal dengan mulutnya yang kadang suka sekali asal berkata. Baru sadar jika pasti ada masalah besar antar mereka, buktinya status itu disembunyikan.

"Kim, saya enggak mau membicarakan hal lain di sini, ayo kembali bekerja." Nada suaranya santai, tetapi mematikan.

Kimberly tak menyangka hawa kepemimpinan tirani milik Pak Manggala, juga menurun pada anaknya dengan baik. Hawa itu menekan sekitaran hingga setertekan-tertekannya, hawa yang ternyata disembunyikan Brendon dengan senyumnya, untuk orang yang kali pertama mendapatkan hawa itu ... Kimberly mati kutu dibuatnya.

Kimberly tahu ia sudah minus, ia harus memperbaikinya.

"Maaf, Pak." Dan untuk kali pertama, Brendon mendiamkannya, ia hanya fokus bekerja dan senyuman itu sudah pudar sedemikian rupa.

Kimberly merutuki diri, memaki diri sendiri akan kebodohannya saat ini. Terlebih hingga pulang, ia tak ada kesempatan memperbaiki apa pun, Brendon menarik dirinya--benar-benar menarik diri dari sosial dan memilih berinteraksi seadanya tak seperti biasa. Ke semua orang juga. Hingga mereka dibuat bertanya-tanya.

Apa ada hubungannya pertemuan dengan orang aneh itu?

Kimberly bahkan tak ditanyai soal pulangnya, Brendon langsung saja melengos tanpa babibu untuk pulang ke rumah. Siapa pun tahu dari wajahnya, yang dulu ramah kini bak tripleks, masalah tampak jelas di sana. Brendon pulang ke rumah, dan kala bertemu kucingnya, kucing itu berguling di lantai dengan menggemaskan.

Mood Brendon yang buruk seketika berubah, kucing hitam nan gempal dengan bola mata besar itu benar-benar imut, Brendon menggendongnya penuh kasih sayang dan menciuminya.

"Hah ... Daddy keknya galak banget di kantor, Daddy ngerasa jahat. Marah sama diri sendiri malah emosi ke orang lain." Brendon bergumam, kesal pada dirinya sendiri yang kesulitan membuat keputusan.

Kucing itu mengeong, entah apa arti sahutan itu, Brendon tertawa pelan. Ia pun mandi, membersihkan diri seperti biasa dan memakai pakaian terbaiknya. Hanya pakaian santai tetapi nyaman dan rapi, hari ini lumayan dingin jadi ia memakai sweater hijau lumut serta celana agak panjang, comfortable.

Sekarang, ia harus memasak.

Ada rasa malas untuk memasak, Brendon rasanya ingin memesan makanan saja, andai nasi kuning Laila buka dua puluh empat jam pasti menyenangkan.

Asyik-asyik memikirkan makanan apa untuk malam itu, ketukan di pintu terdengar. "Pak Brendon!" sapa suara di seberang sana.

Brendon mengenali suara itu, Laila. "Sebentar!" Brendon membukakan pintu, dan tampaklah cewek itu di hadapannya.

Brendon tersenyum hangat. "Ada apa, Laila?"

"Pak, Bapak sibuk? Saya ama temen-temen lagi pesta bakar-bakar di rumah." Laila tersenyum kikuk, ia agak khawatir Brendon sibuk, tetapi di satu sisi ia sangat ingin mengundangnya karena Brendon juga bagian dari komunitas.

Ia akan merasa bersalah pesta komunitas ini, malah ada anggota yang tak hadir.

"Whoa, pesta bakar-bakar? Boleh banget tuh!" Brendon tertawa pelan, rasanya pucuk dicinta ulam pun tiba. Perutnya yang kelaparan selalu saja diberi suguhan menakjubkan dari tetangga agak jauhnya ini.

Brendon bahagia.

Begitupun Laila. "Ya udah, ayo, Pak!" Brendon memakai sendal, langsung saja mengekori Laila karena dia rasa penampilannya tak sekuno itu. Kini si pria bersama Laila memasuki rumah, sebelum akhirnya ke bagian belakang rumah Laila yang lumayan luas dan dibatasi pagar lumayan tinggi, ramai pemuda pemudi seumuran Laila di sana di antara sepi senyapnya perumahan itu.

"Guys, ini Pak Brendon!" kata Laila menyapa teman-temannya dan fokus teman-teman Brendon seketika pada pria itu.

Brendon seketika agak gugup, ia jadi teringat kejadian memalukan di grup, melihat tatapan mereka begitu ia merasa terintimidasi. Apa dia sejelek itu?

"Pak Brendon!" Oh, Brendon terlalu paranoid, mereka menyapanya dengan ramah dan tetap sopan karena usianya memang di atas mereka. Ini kali pertama mereka bertemu secara real life, rasanya tak secanggung itu, mereka bercengkerama satu sama lain dan berpesta bakar-bakaran sederhana seperti sosis, ayam, jagung, dan lainnya.

Kemudian makan, bercanda satu sama lain, Brendon sangat bahagia setelah seharian tadi mood-nya hancur lebur.

Terima kasih untuk Laila.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DADDY KUCING [Brendon Series - M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang